menelisik kabbalah
Kabbalah atau Qibil dalam bahasa Ibrani awalnya
adalah istilah yang netral, yang secara harfiah memiliki arti sebagai ‘lisan'.
Namun belakangan, ketika kaum Yahudi menggunakan istilah ini untuk
menyembunyikan dan memelihara kepercayaan mistis-esoteris kelompok mereka, maka
istilah ini menjadi sangat politis.
Encarta Encyclopedia (2005) menuliskan bahwa
istilah Kabbalah berasal dari bahasa Ibrani yang memiliki pengertian luas
sebagai ilmu kebatinan Yahudi atau Judaism dalam bentuk dan rupa yang amat
beragam dan hanya dimengerti oleh sedikit orang.
Kabbalah ini mempelajari arti tersembunyi dari
Taurat dan naskah-naskah kuno Judaisme. Walau demikian, diyakini bahwa Kabbalah
sesungguhnya memiliki akar yang lebih panjang dan merujuk pada ilmu-ilmu sihir
kuno di zaman Fir'aun yang biasa dikerjakan dan menjadi alat kekuasaan para
pendeta tinggi di sekitar Fir'aun.
Kabbalah ini sarat dengan berbagai filsafat
esoteris dan ritual penyembahan serta pemujaan berhala, bahkan penyembahan
iblis, yang telah ada jauh sebelum Taurat-Musa dan telah menyebar luas bersama
Judaisme, yang seluruhnya berurat-berakar pada praktek-praktek kebatinan serta
penyembahan dewa-dewi di zaman Mesir Kuno.
Hal tersebut diutarakan pakar sejarah Yahudi Fabre
d'Olivet. "Kabbalah merupakan suatu tradisi yang dipelajari oleh sebagian
pemimpin Bani Israil di Mesir Kuno, dan diteruskan sebagai tradisi dari mulut
ke mulut, dari generasi ke generasi, " jelas d'Olivet. Banyak kalangan
percaya, Kabbalah adalah induk dari segala induk ilmu sihir yang ada di dunia
hingga hari ini.
Dianutnya Kabbalah oleh orang-orang Yahudi
mengundang tanda tanya besar pada diri seorang Harun Yahya. "Ini sungguh
aneh. Jika kita memandang Yahudi sebagai sebuah agama monoteistik, yang diawali
dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa a. S. Tapi kenyataannya, di dalam agama
ini ada sebentuk sistem yang disebut Kabbalah, yang mengadopsi praktik-praktik
dasar sihir yang sebenarnya bertentangan dengan Taurat. Hal ini memperkuat apa
yang telah disebutkan sebelumnya, dan menunjukkan bahwa Kabbalah sebenarnya
merupakan elemen jahat dari luar yang menyusup ke dalam Yudaisme. "
Merunut akar Kabbalah bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Para sejarawan Barat menyepakati bahwa Kabbalah merupakan kepercayaan
inti dari kelompok mistis tertua dunia yang dikenal dengan sebutan Broterhood
of the Snake (Kelompok Persaudaraan Ular). Rezim Raja Namrudz di Babilonia dan
Firaun di Mesir merupakan tonggak-tonggak awal yang amat penting bagi
perjalanan kepercayaan ini.
Di masa-masa pra dan awal Perang Salib, sekitar
abad ke-11 Masehi, Kabbalah mulai menampakkan diri di daerah Perancis Selatan.
Peneliti Kabalah Barat, Olivia Prince dan Lynn Picknet, yang kemudian menulis
The Templar Revelation, menyatakan bahwa pembawa ajaran ini salah satunya
adalah kedatangan sepasukan ksatria Yohanit dari Calabria, Belgia, ke sebuah
wilayah yang dikuasai Mathilda de Tuscany dan Godfroi de Boullion.
Ksatria-ksatria Yohanit ini tidak lama tinggal di
Perancis. Mereka pergi dan meninggalkan Peter si Pertapa (Peter The Hermit)
yang kemudian menjadi "murabbi" bagi Godfroi de Bouillon. Peter ini
kemudian menyusup ke Vatikan dan menjadi provokator bagi Paus Urbanus II yang
kemudian mengobarkan perang salib guna merebut Yerusalem dari kekuasaan umat
Islam.
Dalam serangan Tentara Salib pertama di tahun 1099,
baik Peter maupun Godfroi menjadi panglima bagi pasukannya masing-masing. Di
hari kejatuhan Yerusalem, Godfroi mendirikan Ordo Biarawan Sion dan 20 tahun
kemudian membentuk ordo militer Knights Templar, yang kemudian pada 1307 di
Skotlandia mengganti namanya menjadi Freemasonry.
Terusir Dari Yerusalem
Tahun 1188 Salahuddin Al-Ayyubi berhasil
membebaskan Yerusalem dan mengusir pasukan Salib dari seluruh wilayah
Palestina. Semua tentara Salib kembali ke Eropa. Walau tidak ada catatan
tertulis, sebagian besar Ksatria Templar dan Ordo Sion diyakini sejumlah
peneliti-antara lain Picknett dan Prince-memilih Perancis Selatan sebagai rumah
baru mereka.
Seperti yang telah disinggung di atas, di wilayah ini
telah berdiri banyak gereja yang didedikasikan kepada Santo Yohanes dan Maria
Magdalena. Gereja-gereja ini tidak menginduk kepada Vatikan, tetapi memiliki
kultur dan keyakinannya sendiri yang secara mendasar bertentangan dengan Tahta
Suci Vatikan. Mereka juga dikenal sebagai Kaum Yohanit.
Salah satu keyakinan kaum Yohanit adalah gereja
warisan Yesus itu sendiri. Vatikan meyakini bahwa Yesus mewariskan gerejanya
kepada Santo Petrus yang kemudian menjadikan Tahta Suci Vatikan-sebuah pusat
kerajaan Roma Paganistis-sebagai pusat religi bagi umat Kristen dunia.
Namun klaim Vatikan ini ditolak oleh kaum Yohanit
yang meyakini Yesus tidak mewariskan gerejanya kepada Santo Petrus, melainkan
kepada Maria Magdalena, seorang perempuan yang setia mengikuti Yesus hingga
diperisterinya dalam satu pesta perkawinan di Qana, sebuah wilayah yang kini
masuk dalam wilayah Lebanon.
Kaum Yohanit juga tidak menganggap Yesus sebagai
Tuhan, melainkan Rasul biasa yang hanya meneruskan ajaran Tuhan yang tidak
tampak. Dan di akhir zaman, Sang Messiah (The Christ) yang akan turun ke bumi
bukanlah Yesus, melainkan Yohannes The Christ. Ini menurut keyakinan kaum
Yohanit asli.
Hanya saja, kaum yang semula Unitarian ini menjadi
tercampur-aduk dengan ajaran paganis-mistis Kabbalah. Sesungguhnya ini suatu
perpaduan yang aneh. Namun benar-benar terjadi. Harun Yahya dan pengkaji
masalah Kabbalah meyakini, awal pembelokkan ajaran Unitarian menjadi Kabbalis
terjadi ketika Samiri-salah seorang tokoh Broterhood of the Snake-menipu Bani
Israil ketika mereka ditinggalkan Musa saat Musa pergi ke Bukit Thursina.
Samiri membuat sebuah patung sapi betina yang
dibuat sedemikian rupa sehingga bisa mengeluarkan suara ketika angin bertiup
mengenainya. Patung sapi itu pun disembah Bani Israil dan mengacuhkan Nabi Musa a. S.
Bermillenium
tahun berjalan, ajaran Kabbalah berkembang dan merasuk ke dalam Yudaisme dan
juga Taurat. Para pendeta Kabbalis bahkan membuat ayat-ayat palsu yang membuat
Talmud-sebuah kitab yang awalnya sebagai penafsir Taurat dianggap lebih suci
ketimbang Taurat.
Dan sebagian
besar kaum Yahudi pun menjadi kaum yang mendewakan Talmud. Mereka menjadi kaum
yang begitu gandrung dengan Kabbalah dan merasa menjadi bangsa terpilih dengan
adanya Kabbalah yang diwariskan secara turun-temurun dengan lisan. Dan ketika
mereka berkumpul di Perancis Selatan di abad ke-12 inilah, ajaran Kabbalah
dibukukan. Ini terjadi di Aix en Provence.
Rennes Le Chateau

Tidak
terlalu sulit jika suatu waktu Anda ingin berkunjung ke desa ini. Sejak
histeria novel The Da Vinci Code, di Paris dan juga di beberapa negara Eropa
dan juga Amerika, sejumlah biro perjalanan wisata telah memasukkan nama desa
ini menjadi satu tujuan wisata unggulan. Tak heran jika desa ini yang
sebelumnya sepi, kini menjadi sebuah desa yang begitu ramai dipenuhi turis.
Jika Anda ingin bepergian sendiri, maka terbanglah
ke Bandara Charles de Gaulle di Paris. Dari The City of The Light Paris,
tataplah matahari yang bersinar pada siang hari bolong. Ambillah jalan lurus ke
selatan, menyusuri garis bujur, melewati Burgundy, Saint Philibert de Tournus,
Sungai Rheine, Vienne dan katedralnya di mana pada tahun 1312 di tempat itu
berawal gerakan penumpasan terhadap Ksatria Templar, lewat Carcassonne, terus
berjalan ke selatan hingga Limoux dan Lembah Aude.
Di lembah ini Anda akan menjumpai Kastil Kathari
yang terkenal dalam peristiwa Perang Salib Albigensian (Pembantaian yang
dilakukan pasukan Paus terhadap orang-orang Kristen Kathar di Albi), lalu
menyusuri jalan yang diapit pegunungan Pyrennes, dan tibalah di sebuah dataran
tinggi, maka sampailah Anda di Rennes Le Château.
Perjalanan dari Paris ke desa ini bagaikan sebuah
perjalanan sejarah, napak tilas dari sejarah Eropa di abad pertengahan. Semua
kisah dan misteri berawal dari desa ini, namun entah mengapa, Dan Brown sama
sekali tidak menyinggung nama desa ini secuil pun dalam novel The Da Vinci
Code. (1

Beberapa mil di tenggara Rennes-le-Château, berdiri
sebuah puncak gunung yang dikenal sebagai Bézu. Di puncaknya, berserakan
puing-puing benteng abad pertengahan. Di lokasi tersebut pernah berdiri salah
satu kuil Ksatria Templar yang menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Phillipe
le Bel dan Paus Clement V.
Satu mil ke timur laut, pada puncak lainnya berdiri
sisa-sisa puri Blanchefort, sebuah rumah leluhur Bertrand de Blanchefort, Grand
Master ke-4 Ksatria Templar. Sejak dahulu, daerah itu sudah menjadi rute perjalanan
para peziarah yang terbentang dari Eropa Timur hingga Santiago de Compastela di
Spanyol. Sebuah wilayah yang dipenuhi aroma mistis, legenda, mitos, dan juga bau
darah. Para peziarah Eropa Utara dan Timur sejak dulu selalu melalui wilayah
ini sebelum mereka berlayar menuju Jaffa, kota pelabuhan di tanah Palestina,
setelah melintasi Laut Tengah melewati perairan utara Tunisia, Pulau Sardinia
dan Sisilia di selatan Itali, dan Malta, menuju Kota Suci Yerusalem.
Kisah
tentang desa kecil nan misterius ini berawal dari kedatangan Pastur Francois
Bérenger Sauniére (1852-1917). Sauniere (33) berasal dari Desa Montazels, dekat
Rennes le Château.
Pastor
Sauniere
Di tahun
1850, ayah Sauniere bekerja sebagai pengurus Marques de Castel Majou, sebuah
kastil besar di ujung desa. Ibunya berasal dari keluarga terpandang. Dua
bersaudara Afred dan Berenger, yang pintar dan ambisius, disekolahkan ke
Seminari Carcassonne agar kelak menjadi pastur dan meneruskan tradisi
kehormatan bagi keluarganya.
Setelah
lulus, Berenger jadi pastur di Desa Le Clat, yang berada agak jauh dari
Montazels, namun masih berada di sekitar Rennes le Château. Tanah Desa Le Clat
dimiliki oleh keluarga Hautpoul-Fellines. Setelah tiga tahun mengabdi di Le
Clat, Berenger dipindahkan oleh atasannya, Uskup Carcassonne, ke Rennes le
Château.
Awal Juni
1885, Pastur Bérenger Sauniére datang di Rennes le Château dan tinggal di rumah
keluarga Denarnaud. Sang puteri, Marie Denarnaud dipekerjakan menjadi Sang
Pastur. Kehidupan pastur itu amat sederhana. Pendapatannya hanya enam
poundsterling tiap tahun ditambah dengan kolekte sukarela dari jemaat
gerejanya. Pastur Berenger Sauniére bersahabat dengan Pastur Henri Boudet dari
desa tetangga, Rennes-le-Bains.
Beberapa
bulan kemudian Sauniére mendapat masalah besar ketika dalam salah satu misa
yang dipimpinnya, Pastur muda itu mengkhotbahkan suatu ajaran yang sangat
anti-Republikan, padahal pada waktu itu pemilihan umum tengah berlangsung.
Untuk
sementara waktu Sauniére dibebastugaskan dari jabatannya. Ketika akhirnya dia
dikembalikan kepada posisinya pada musim panas 1886, dia menerima hadiah
sebesar 3. 000 franc dari Countess de Chambord, janda seseorang yang mengklaim
sebagai raja Perancis, King Henry de Bourbon yang mengaku bergelar Henry V,
yang merasa berhutang budi karena Sauniére membela kaum monarkis. Pastur itu
kemudian menggunakan uang tersebut untuk merenovasi gereja kecilnya yang sudah
rusak di sana-sini. Pada saat inilah pastur itu menemukan sejumlah perkamen
yang memuat kode rahasia.
Di bagian
atas sebuah pilar dekat mimbar, ia menemukan sebuah laci rahasia yang menyimpan
sebuah dokumen. Dokumen itu menuntunnya menemukan sebuah pot besar yang sarat
dengan koin emas. Konon, koin emas itu sangat cukup untuk membangun seluruh
desa menjadi makmur.
Setelah itu,
Sauniére kembali menemukan empat lembar perkamen dari sebuah pilar bergaya
Visigoth di dekat altar yang rencananya hendak dipindahkan. Perkamen-perkamen
tersebut amat sulit dibaca karena susunan huruf-hurufnya tidak beraturan dan
sekilas tidak ada arti. Tapi pendeta muda tersebut seorang yang cukup kritis.
Ia meyakini, apa pun itu, temuannya itu pasti barang yang sangat berharga,
sehingga membuat orang-orang menyimpannya rapat di sebuah tempat yang
dirahasiakan.
Sejak awal,
Sauniére curiga, naskah yang berisi tulisan yang kacau itu sebenarnya merupakan
sebuah sandi atau kode, yang harus dipecahkan dengan mempergunakan kunci atau
teknik tertentu, sebelum arti sesungguhnya diketahui. Jelas, batin Sauniére,
ada sesuatu yang sangat berharga di balik kode-kode yang begitu rumit ini.
Sauniére
tidak mampu memahami apa yang sesungguhnya dimaksud oleh naskah-naskah itu.
Akhirnya pastur itu mengunjungi beberapa kenalannya, salah satunya Uskup
Carcassonne, Felix-Arsène Billard, untuk dimintai pendapatnya. Oleh Billard,
Sauniére dinasehati agar menemui seorang ahli pemecah kode bernama Émile
Hoffet, yang ketika itu merupakan seorang pemuda yang tengah belajar untuk jadi
imam, namun memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai okultisme dan dunia
kelompok-kelompok rahasia.
Sekembalinya
dari perjalanan mengunjungi beberapa kenalannya, kehidupan Sauniére yang semula
pas-pasan berubah total. Dalam waktu yang tidak lama pendeta itu diketahui
sering bertindak aneh. Terkadang menyusuri jalanan desa bersama pembantunya,
terkadang mengurung diri di rumahnya, atau berjalan ke sana-kemari tiada arah
tujuan. Selain merenovasi gereja, dia juga mampu membangun menara Magdala
(Magdalena) yang mewah dan bahkan sebuah bangunan vila yang dinamakannya Vila
Bethania lengkap dengan taman yang indah serta rumah kaca.

Adakah
penempatan patung Asmodeus ini oleh Sauniére dimaksudkan bahwa di dalam gereja
tersebut terdapat sesuatu rahasia yang sungguh-sungguh penting dan berharga?
Selain itu, Sauniére juga sering mengadakan perjamuan mewah kepada penduduk
desa. Seluruh warga desa tersebut, besar kecil, seluruhnya sering dijamu oleh
sang pendeta dalam acara jamuan yang mewah.
Bahkan
sejumlah tamu penting dari berbagai desa dan negeri juga sering berdatangan
mengunjungi pendeta itu. Sauniére telah hidup dalam gaya para raja. Pernah
dalam beberapa malam, penduduk memergoki pastur muda itu bersama pelayannya
tengah membongkar makam Marquise d'Hautpoul de Blanchefort. Dan ketika ditanya,
maka jawaban yang diperoleh pun terkesan menutupi sesuatu.
Anehnya,
terhadap perubahan yang sangat menyolok tersebut, Vatikan tidak mau ambil
pusing. Entah mengapa Gereja seolah menutup mata bahkan terkesan enggan untuk
sekadar bertanya tentang penyebab perubahan itu. Takutkah Gereja pada Sauniére?
Gerangan apa yang diketemukan Sauniére di dalam rongga salah satu pilar Gereja
Magdalena? Yang jelas, sesuatu itu telah menjadikannya kaya raya dan berkuasa.
Pertanyaan-pertanyaan ini terus terkunci dan menjadi salah satu rahasia sejarah
Gereja Vatikan yang paling gelap hingga kini.
Ketika
Sauniére terus hidup dalam segala kekayaan dan pengaruhnya, tiba-tiba Uskup
Carcassonne meninggal dunia. Seorang uskup ditunjuk Vatikan menggantikan yang
lama. Uskup baru ini merasa ada sesuatu yang janggal dengan kehidupan Sauniére.
Dari mana pendeta bawahannya itu bisa bergaya hidup mewah dan mendapatkan harta
kekayaan serta uang yang berlimpah, padahal wilayah gembalaannya hanya di
sebuah kampung kecil bernama Rennes-le-Château?
Uskup baru
itu rupanya tidak mendapat pengarahan terlebih dahulu dari Gereja, sehingga ia
dengan sangat biasa dan tanpa perasaan apa pun menulis surat kepada Sauniére
agar bisa secepatnya menghadap dirinya untuk menjelaskan segala asal-muasal
harta kekayaan yang diperolehnya.
Tindakan Uskup Carcassonne yang baru itu amat
menyinggung perasaan Sauniére. Dengan berani, Sauniére
menentangnya. Uskup Carcassonne terkejut dengan keberanian Sauniere. Sang uskup
pun tidak mau kehilangan kewibawaannya. Ia dengan kasar menuduh Sauniére telah
melakukan jual-beli hal-hal yang bersifat rohani. Uskup pun mengadukannya ke
pengadilan daerah untuk mengusut bawahannya itu. Atas desakan uskup, pengadilan
daerah kemudian mengambil keputusan untuk menahan Sauniére.
Dengan
menahan amarah, Sauniére mengadukan kejadian ini ke Vatikan. Setelah menerima
surat pengaduan Sauniére, dengan cepat Vatikan segera membuat surat perintah
yang ditujukan pada Uskup Carcassonne yang baru dan juga pengadilan daerah.
Perintahnya satu: Bebaskan Sauniére secepatnya dan bebaskan dia dari segala
tuduhan serta pulihkan nama baiknya.
Dengan masih
dilanda rasa heran, Uskup Carcassonne kemudian segera membebaskan Sauniére dan
tidak pernah lagi mengusiknya. Sejak itu Sauniére bisa hidup tenang dan
meneruskan gaya hidup para rajanya yang mewah. Entah mengapa, setelah peristiwa
itu Sauniére mengundurkan diri sebagai pastur desa. Gereja kemudian mengangkat
Pastur Marty sebagai pastur baru di desa tersebut, namun warga desa
mengacuhkannya.
Bersama
warga desa dan Marie Denarnaud, Sauniére terus hidup dalam kemewahan. Selain
Sauniére, Marie Denarnaud sering terlihat mengenakan model pakaian paling anyar
dan mahal dari Paris. Sebab itulah Marie juga sering disebut sebagai "La
Madonne". Selama hidupnya, dari tahun 1896 hingga 1917, pastur muda
tersebut diketahui telah membelanjakan uangnya tidak kurang dari 23 juta franc.
Tiap bulan ia sekurangnya mengeluarkan 160. 000 franc.
Sauniére juga memiliki rekening bank di Paris,
Perpignan, Toulousse, dan Budapest. Belum cukup dengan itu, pastur
ini juga berinvestasi dalam jumlah yang besar di bursa, saham perusahaan, dan
sekuritas, suatu tindakan yang tidak lazim dilakukan oleh seorang imam Katolik.
Kematian Yang Aneh
Rabu, 17 Januari 1917, Sauniére yang telah berusia
65 tahun tiba-tiba terserang penyakit yang mirip dengan stroke. Anehnya, lima
hari sebelumnya, para jemaat desa mengatakan bahwa Sauniére tampak sangat sehat
dan prima untuk lelaki seusianya. Dan yang juga aneh, di tanggal 12 Januari
itu, pembantu Sauniére, Marie Denarnaud, diketahui telah memesan sebuah peti
mati bagi majikannya.
Apakah Marie Denarnaud memiliki insting keenam yang
mengatakan bahwa majikannya itu akan segera meninggal dunia? Ataukah Marie
terlibat dalam suatu persekongkolan jahat yang entah siapa yang melancarkannya
untuk menghabisi Sauniére, disebabkan majikannya itu memegang sebuah rahasia
yang membuat Vatikan gentar? Di pihak mana Marie Denarnaud?
Bukan itu saja, tanggal 17 Januari ini sebenarnya
juga bukan tanggal yang biasa. Nisan makam Marquise d'Hautpoul de Blanchefort
yang dibuat Sauniére ternyata juga bertanggal 17 Januari. Selain itu, hari
perayaan pembangunan Gereja Saint Sulpice yang terkait dengan rahasia Da Vinci
juga dilakukan tiap tanggal 17 Januari. Ini terlalu naïf jika dianggap hanya
suatu kebetulan.
Setelah
terserang stroke yang misterius, kondisi kesehatan Sauniére turun drastis. Ia terus berbaring dan sekarat.
Seorang pastur desa tetangga, Imam dari Espéraza, dipanggil untuk mendengarkan
pengakuan terakhirnya dan melaksanakan ritual peminyakan terakhir. Imam itu
segera datang. Ia sendirian masuk ke kamar di mana Sauniére terbaring lemah.
Tak lama kemudian, Espéraza tersebut keluar dari
kamar. Badannya gemetaran. Mukanya pucat-pasi. Kedua matanya kosong seakan
habis melihat hantu. Menurut René Descadeillas, "...sejak hari itu, imam
tua tersebut tidak lagi menjadi orang yang sama; ia jelas-jelas telah mengalami
suatu kejutan. Dan sampai akhir hayatnya ia tidak pernah terlihat tertawa lagi.
"
Imam itu juga menolak memberikan upacara terakhir
menurut tradisi Katolik Roma untuk Sauniére. Senin, 22 Januari 1917, Sauniére
meninggal dunia. Pendeta kaya raya itu tidak meninggalkan apa-apa selain
misteri yang tetap dalam kegelapan (2).

Rahasia itu, ujar Marie, siapa pun yang memegangnya
akan bisa membuatnya kaya-raya dan berkuasa. Pada hari Kamis, 29 Januari 1953,
seperti majikannya dulu, tiba-tiba Marie terserang penyakit stroke yang
membuatnya tidak bisa bicara dan meninggal, tanpa sempat mewarisi sebuah
rahasia yang dipegangnya sampai ke liang lahat.
Banyak kalangan percaya, rahasia yang ikut terkubur
bersama jasad Sauniére dan Marie lebih dari sekadar harta karun berupa emas
atau pun batu permata. Jika demikian, apakah ini tentang suatu pengetahuan yang
selama ini dikubkulasi bahwa harta karun yang dimaksud sesungguhur dalam-dalam?
Oleh siapa? Mengapa Vatikan sepertinya sangat takut dan tidak berani
terhadap Sauniére?
Richard Andrews dan Paul Schellenberger (The Tomb
of God, 1996) berspenya adalah makam Yesus Kristus. Pertanyaan-pertanyaan ini
mengemuka dan akhirnya mengerucut menjadi satu dugaan bahwa sesungguhnya
rahasia itu memang lebih dari sekadar harta-benda, namun juga meliputi suatu
pengetahuan rahasia yang selama ini ditutup rapat oleh Vatikan. Sebab itu,
Vatikan terkesan sangat permisif dan segan pada Sauniére. Dan tidak cukup
dengan itu, bisa jadi Vatikan malah secara kontinyu mengucurkan uang kepada
Sauniére, sekadar sebagai tutup mulut. Dan yang terakhir mungkin saja
menghabisinya.
"Kami yakin bahwa ia telah menerima uang dari
Johann von Habsburg. Pada saat bersamaan, ‘rahasia' pendeta itu, apa pun itu,
tampak lebih bersifat religius daripada politik, " demikian The Holy Blood
and the Holy Grail.
Dugaan
Michael Baigent dan kawan-kawan dibenarkan seorang mantan pendeta Gereja
Anglikan Inggris. Usai
penayangan film "The Lost Treasure of Jerusalem" pada Februari 1972,
mantan pendeta itu mengirim surat, "'Harta karun' itu tidak terkait dengan
emas atau batu-batu mulia yang berharga. Sebaliknya, harta tersebut berupa
‘bukti yang tidak dapat dibantah' bahwa penyaliban adalah peristiwa tipuan dan
bahwa Yesus masih hidup hingga akhir tahun 45 Masehi. "
Keyakinan bahwa Yesus tidak mati di tiang salib
sebenarnya juga banyak dianut oleh sekte-sekte kekristenan awal yang lazim
disebut sebagai kelompok Unitarian. Mereka ini menganggap Yesus hanyalah utusan
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
Jika Yesus memang tidak mati di tiang salib,
mungkinkah Yesus telah diselamatkan oleh Yusuf Arimathea, seorang murid
rahasianya yang kaya dan berpengaruh, seperti yang selama ini diyakini sebagian
umat Kristen awal seperti Sekte Essenes dan gulungan Nag Hammadi?
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa Yesus tidaklah mati
di tiang salib. Yang mati di tiang salib adalah orang yang ditampakkan Allah
SWT menyerupai Yesus. Al-Qur'an menginformasikan bahwa Yesus atau Nabi Isa a.
S. "diselamatkan" oleh Allah SWT dengan cara diangkat ke jannah.
Bagi kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan
Vatikan, Yesus diyakini meninggal dunia di dekat Laut Mati yang dipenuhi dengan
gua-gua batu, dekat dengan tempat tinggal kelompok Esenes. Maria Magdalena
sendiri dipercaya meninggal di Marseilles, Selatan Perancis. Di Aux en Provence
yang juga berada di selatan Perancis, di daerah ini dikenal sebagai pusat
Magdalenaisme. Di sini pula tradisi lisan Kabbalah dibukukan. Selain
Magdalenaisme, di sini juga merupakan pusat pemujaan terhadap Yohanes
Pembaptis. Banyak gereja yang didedikasikan kepada Maria Magdalena dan Yohaes
Pembaptis yang bertebaran di sini.
Legenda di Languedoc-Rousilon
Daerah Selatan Perancis, yang lazim disebut wilayah
Languedoc-Roussillon, para penduduknya memang tidak begitu patuh pada Vatikan. Tiap 22 Juli, mereka menggelar hari pesta Maria Magdalena secara
besar-besaran dan meriah. Lynn Picknett dan Olive Prince menyebut wilayah ini sebagai jantung
heresy Eropa. Selain pemujaan terhadap Maria Magdalena dan Yohanes Pembaptis,
di daerah ini juga terkenal dengan ajaran paganisme dan okultisme dengan segala
legenda dan mitosnya. Salah satu kegenda yang masih hidup di masyarakat sekitar
adalah tentang legenda "Ratu dari Selatan" (Reine du midi) yang
sebenarnya merupakan gelar dari para countess dari Toulouse.
Fakta tunggal inilah yang
menyebabkan adanya pemiskinan sistematis atas wilayah selatan Perancis
tersebut.
Languedoc adalah "rumah besar" para
Templar di Eropa hingga mereka diburu oleh Phillipe le Bel. Lebih dari 30 persen benteng dan markas Templar yang tersebar di Eropa,
terletak di sini. Bukan itu saja, di selatan Perancis ini pula, banyak kalangan
meyakini, para Templar telah menguburkan dan menyembunyikan harta karunnya yang
dibawa lari dari Yerusalem.
Prof.
Mariano Bizari daam film dokumenter "The Da Vinci Project: Seeking The
Truth" menyatakan bahwa desa ini dengan segala riwayatnya memiliki jejak
sejarah yang amat panjang. "Kisah mengenai Rennes-le-Château dimulai pada
tahun 1200 SM dengan campur tangan orang Beaker, juga Celts, jadi ini merupakan
kisah yang panjang! Di sana terdapat jaringan saluran bawah tanah, juga goa,
goa di mana beberapa ritual dilakukan, goa yang membuka jalan ke tempat lain,
misalnya tempat yang memungkinkan pelaksanaan upacara tertentu, dan Pendeta
Boudet, teman sekaligus penasehat Sauniére, menulis buku berkode untuk
mengidentifikasi jalan masuk ke rute-rute ini. "
"The Da Vinci Project:
Seeking the Truth" juga membuat daftar pertanyaan yang mengusik
keingintahuan orang tentang pendeta dan desa yang penuh misteri ini: Mengapa
Sauniére menulis "ini tempat yang buruk (sebenarnya
"Menyeramkan" atau "mengerikan", pen) di atas pintu masuk
gereja itu?
Mengapa
Sauniére menghabiskan hari-harinya di Museum Louvre, di depan lukisan Poussin
tahun 1640 yang berjudul "Arcadian Sheperds", yang nampaknya
menggambarkan daerah sekeliling Rennes-le-Château dan sebuah nisan bertuliskan
"Et In Arcadia Ego"? Mengapa penjaga rumah Sauniére, Marié Denarnaud,
selalu mengatakan, "Di sini orang berjalan di atas emas, namun mereka tak
mengetahuinya!"
Mengapa kota
ini memiliki peraturan khusus yang melarang penggalian tanah, walau hanya untuk
menanam bunga? Mengapa mangkuk air suci di gereja Rennes diangkat oleh mahluk
bernama "Asmodeus", yang menurut mitologi Ibrani merupakan penjaga
harta karun Salomo? Mengapa gambar mosaik di atas altar menggambarkan Perjamuan
Terakhir dengan seorang wanita mengangkat sebuah cawan di kaki Kristus? Apakah
ini petunjuk adanya kaitan antara Perjamuan Terakhir dengan Maria Magdalena?
Mengapa
patung-patung santo dalam gereja sedemikian diatur sehingga huruf awal nama
mereka membentuk kata GRAAL bila dihubungkan membentuk huruf M dari kata Maria
Magdalena? Mengapa tempat-tempat salib diletakkan dengan urutan terbalik?
Mengapa kaca jendela yang menggambarkan Kristus selalu memiliki bulan di latar
belakangnya? Mengapa Sauniére membangun patung Magdalena yang besar dan menurut
buku hariannya menyembunyikan sebuah peti di dasarnya?

Amat mungkin, karena kemisteriusan desa inilah yang
membuat seorang Francois Mitterand, beberapa pekan sebelum terpilih presiden
Perancis di tahun 1981, mengunjungi Rennes-le-Château dan berfoto di Menara
Magdala dan di samping patung Asmodeus, Raja Iblis Penjaga Harta Karun
Sulaiman. Adakah Mitterand yang dikenal sebagai pemerhati okultisme juga
merupakan bagian dari kemisteriusan wilayah ini?
Sauniere
Tidak Sendiri
Rennes-le-Château
dengan Pastur Berenger Sauniére memang menjadi misteri tersendiri. Para
peneliti menyatakan bahwa tidaklah mungkin Pastur Sauniére sendirian dalam
menjalankan pekerjaannya yang begitu misterius. Apalagi dalam radius tiga mil
sekitar Rennes-le-Château terdapat sekurangnya dua daerah dan dua pastur yang
juga aneh.
Yang
pertama, Pastur Antoine Gelis yang menjadi Gembala Sidang di daerah Coustaussa
yang terletak persis di bawah Rennes-le-Château. Pastur Gelis tinggal sendirian
di sebuah rumah kecil yang berjarak hanya beberapa langkah dari gerejanya.
Selain sebagai pastur, Gelis terkenal sebagai lintah darat. Ia dikenal memiliki
banyak uang yang sumbernya juga tak jelas dari mana. Kabarnya Gelis juga telah
menemukan koin emas dalam jumlah banyak di gerejanya, sama seperti rekannya,
Sauniére.
Minggu sore,
31 Oktober 1897, pintu rumah Pastur Gelis diketuk seseorang. Gelis segera
membukakan pintu bagi tamu yang tidak dikenalnya ini. Tiba-tiba sang tamu
memukulkan sebuah benda keras ke kepala dan tubuh Gelis. Pastur berusia 70
tahun ini jatuh tersungkur bersimbah darah. Sang pembunuh segera pergi. Awalnya
polisi menyangka telah terjadi perampokan karena Gelis memang dikenal memiliki
banyak uang. Tapi barang-barang milik Gelis tidak ada yang hilang.
Bukan itu
saja, di dekat jenazah Gelis yang telentang dengan kedua tangan bersedekap,
seolah pembunuhnya ingin menunjukkan sesuatu pola, ditemukan dua kertas rokok
dengan tulisan tangan bertuliskan "Viva Angelina!", yang memiliki
arti kejayaan bagi malaikat perempuan atau kejayaan bagi Sang Dewi. Maria
Magdalenakah yang dimaksud? Sampai kini polisi tidak berhasil mengungkap siapa
pembunuhnya. Banyak penafsiran tentang motif di balik peristiwa pembunuhan
terhadap Gelis. Tapi para peneliti meyakini, dibunuhnya Gelis erat kaitannya dengan
harta karun yang ada di sekitar daerah itu. Adakah Gelis dianggap terlalu
banyak tahu tentang harta karun Rennes-le-Château?
Batu
nisannya, yang terletak di pemakaman gereja di Coustassa, diposisikan lain
dengan nisan-nisan lainnya. Nisan Pastur Gelis dibuat menghadap ke
Rennes-le-Château dan terlihat amat jelas di lereng bukit di seberangnya. Anehnya, batu nisan itu juga
memiliki tanda Salib-Mawar (Rose-Croix), terkait Templar.
Yang kedua, Pastur Henri Boudet (1837-1915) yang
menjadi gembala sidang di daerah Rennes Le Bains, yang terletak di sisi lain
bukit yang juga ditempati Rennes-le-Château. Pastur ini juga tidak kalah
misteriusnya. Walau bukan ahli bahasa, tapi Boudet diketahui telah mengarang
sebuah buku mengenai bahasa yang salah satu premisnya sungguh aneh yakni bahasa
Celtic adalah bahasa asal dari semua bahasa dunia.
Buku tersebut ternyata berisi kode-kode tertentu
yang setelah Boudet meninggal di makamnya terdapat kaitan erat dengan kode-kode
dari bukunya tersebut. Judulnya: Le vraie langue cetique et le cromleck de
Rennes-les-Bains (The True Celtic Language and the Cromlech of
Rennes-les-Bains).
Pastur Berenger Sauniére, Pastur Antoine Gelis, dan
Pastur Henri Boudet, ketiganya memimpin gereja dalam wilayah yang bertetangga,
ketiganya menyimpan misteri, dan tentu ketiganya memiliki ikatan khusus atau
suatu kerjasama yang tidak diketahui secara jelas apa dan bagaimana bentuknya.
Hanya saja, di belakang hari diketemukan catatan
bahwa Pastur Sauniére ternyata pernah dua kali diundang dan menghadiri acara
resmi kelompok Freemason yang diadakan di Martinist Lodge di Lyons, Perancis.
Sejak zaman Renaissance, kota Lyons juga dikenal sebagai kota yang penuh
misteri. Selain itu ada pula catatan pengiriman barang dari Paris berupa sebuah
teropong yang berdaya kuat dan kamera kepada Sauniére. Sebuah organisasi atau
kelompok di Paris mengirim peralatan penyelidikan kepada Sauniére yang tinggal
di desa penuh misteri. Apa yang sesungguhnya yang diselidikinya?
Misteri Harta Karun Templar
Menurut sejarah, setelah kerajaan Barat menyerbu
Roma dan kemudian meninggalkan Italia, harta karun dari Yerusalem yang dijarah
oleh Titus kemudian dibawa ke Toullose, lalu dibawa lagi ke Carcassonne, setelah
itu tidak ada satu pun orang yang pernah mendengar tentang keberadaan harta
karun tersebut. Salah satu wilayah di Perancis Selatan yang dekat dengan
Rennes-le-Château bernama Opoul Perillos. Wilayah ini memiliki kode pos:
666-00. Triple Six, sebuah angka setan!
Perancis Selatan sampai hari ini masih saja
diliputi misteri. Wilayah bekas salah satu markas para Templar tersebut seteah
booming novel The Da Vinci Code bukan lagi sebuah wilayah yang sepi, namun
selalu dikunjungi turis mancanegara. Walau demikian, hal ini tidak mengurangi
kemisteriusannya.(Tamat, Rizki Ridyasmara)
Komentar
Posting Komentar