Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia

Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia 
John Lie, seorang bangsawan keturunan Cina Timor, menunjukkan alat tiup dari tanduk kerbau warisan leluhurnya. Lie, bersama para penari asal Kabupaten Kupang, tengah bersiap dalam pementasan Tari Perang di Festival Budaya Melanesia, 28 Oktober 2015. (Mahandis Y. Thamrin)

“Pasifik memiliki keterkaitan sejarah dan budaya dengan Indonesia,” kata Truman Simanjuntak dalam forum Festival Budaya Melanesia yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (28/10). “Kawasan itu,” lanjut Truman, “dihuni oleh manusia modern  awal sejak 60.000 tahun yang lalu.”Truman merupakan profesor riset dari Pusat Arkeologi Nasional, yang juga pada tahun ini mendapat anugerah Sarwono Awards dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kita mengenal orang-orang Melanesia yang bercirikan kulit hitam dan rambut keriting. Melanesia berasal dari kata dalam bahasa Yunani, melas berarti hitam dan nesos berarti kepulauan. Sejak 60.000-30.000 tahun silam, sebagian besar wilayah Indonesia telah dihuni manusia modern awal. Truman mengatakan, mereka mulai menghuni gua-gua. “Ini merupakan gaya hidup baru yang tidak ditemui dalam peradaban sebelumnya.”
Selain menghuni gua, mereka juga memenuhi kebutuhan dasar dengan berburu dan meramu, membuat alat dari batu dan mengenal perapian. Mereka juga meninggalkan jejak lewat lukisan-lukisan gua, dan mempraktikkan penguburan bagi yang mati pada akhir Pleistosen—praktik konsepsi kepercayaan.
Truman mengungkapkan bahwa selama 60.000 tahun, hingga kini, kehidupan Melanesia di indonesia diwarnai empat faktor. Pertama, kedatangan manusia modern awal atau homo sapiens, leluhur jauh Melanesia. Temuan di Gua Song Terus, Jawa Tengah, menunjukkan mereka telah mengenal api sejak 39.000 hingga 18.000 tahun silam. Sementara sebuah gua di Maros telah mengekalkan lukisan cadas berupa cetakan-cetakan telapak tangan. “Ini big surprise!” seru Truman. “[usianya] 40.000 tahun yang lalu. Karya besar yang bisa menginspirasi hingga kini.”

Masih di gua yang sama, para ahli arkeologi juga menemukan gambar cadas sosok babi rusa—satwa khas Sulawesi—yang dibuat oleh para pendukung budaya Melanesia pada 35.000 tahun silam.Kedua, berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu. “Kenaikan muka air laut telah menyebabkan terjadinya diaspora manusia,” ujar Truman.

Ketiga,Truman melanjutkan,  peristiwa kedatangan ras mongolid dan akulturasi budaya dan percampuran sekitar 4.300 tahun silam. “Austronesia menghuni Indonesia,” ujar Truman. “Mereka agresif, ulung dalam pelayaran, dan menduduki kawasan kepulauan. Bukti-bukti yang ada kita mendapatkan bahwa sekitar 3.500 tahun lalu mereka sudah merata di seluruh Indonesia.”

Kemudian yang keempat, demikian ungkap Truman, populasi ras Mongoloid dan ras Melanesid pun bersatu ketika Indonesia merdeka.Dari bukti-bukti arkeologis, terdapat pergeseran hunian yang telah mengakibatkan pergeseran peta hunian dua ras. "Proses interaksi yang berlanjut memperlihatkan keturunan ras Australomelanesid, yang sekarang lebih dikenal sebagai populasi Melanesia, mengelompok di kawasan Indonesia Timur."

Pada perkembangannya, Mongolid (penutur Austronesia) menghuni kawasan Indonesia barat, sementara Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur.  “Ada interaksi pada dua populasi ini,” Truman berkata, “Ada kerukunan, ada kawin campur. Tidak hanya inteksi budaya, tetapi juga interaksi biologi.”

Namun demikian, desakan migrasi penutur Austronesia itu tidak sampai kepedalaman Papua. "Karakter Melanesia yang lebih asli dijumpai di pedalaman Papua."Tampaknya, salah satu sebabnya, “sudah ada peradaban kuat yang menghuni Papua sebelumnya, seperti budaya pertanian sejak 9.000 tahun lalu—mengeringkan rawa dan bertanam tebu,” ujarnya. Truman menambahkan bahwa ada pendapat juga yang mengatakan, “mereka terbiasa hidup di pantai dan tidak terbiasa hidup di pedalaman.“

Jika kawasan Indonesia timur lebih banyak penghuni Melanesia, mengapa Maluku lebih Austronesia ketimbang Flores? Truman mengatakan bahwa para penutur Austronesia memiliki teknologi pelayaran tinggi, dan Maluku lebih mudah dijangkau dan strategis dalam pelayaran.

Namun, ujar Truman, “Melanesia meminjam budaya dari Austronesia berupa tradisi menginang, teknologi pembuatan kapak bundar, dan pembuatan tembikar.” Sementara, kebudayaan Melanesia yang tersebar dari Nusa Tenggara Timur, Papua, Kepulauan Solomon, New  Caledonia, hingga Fiji adalah bentuk tradisi tenun, arsitektur rumah, dan pengolahan sagu.

“Indonesia dihuni oleh dua populasi terbesar,” kata Truman. “Dua populasi itu sudah punya sejarah yang panjang bahwa kedua populasi telah hidup berdampingan dan berinteraksi secara damai. Mestinya kedepan, dua hal penting yang perlu perhatian pemerintah yaitu pengentasan kemiskinan dan dunia pendidikan.”
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Festival Budaya Melanesia (Melanesian Cultural Festival), dengan tema “Celebrating  Cultural Diversity of Malenesian World”. Perayaan ini diselenggarakan lewat berbagai agenda budaya dan diskusi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 26-30 Oktober 2015.

sumber : nationalgeographic.co.id
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/perjalanan-sejarah-melanesia-di-indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi