Kampar, antara Melayu dan Minangkabau
Ranah Minangkabau yang merupakan inti kebudayaan Suku Melayu sejak ratusan tahun lalu, kini mendapat identitas baru sebagai Suku Minangkabau, sebagian malu-malu mengaku Melayu, sebagian lain merasa tidak Melayu sama sekali. Seiring waktu, makna Melayu menyempit dan kerdil lalu makna Minangkabau mengalami perluasan
Minangkabau yang dulu adalah nama tempat, tak lebih, kini telah menjadi nama sebuah bahasa, sebuah suku bangsa. Dengan mengabaikan fakta bahwa di tempat ini dahulu terdapat kota melayu dengan nama “Malayapura”.
Di sini kerajaan-kerajaan melayu tumbuh silih berganti. Lalu ketika politik pecah belah terjadi, Bunda Kandung Melayu ini hanyut oleh identitas baru, jadilah kami bak anak ayam hilang induk.
Kami orang Kampar, kami adalah Melayu Kampar, meski tak dianggap Melayu. Kami juga menyebut diri sebagai “Ughang Ocu”, satu yang paling utama dari sekian banyak pantang larang kami adalah jangan sekali-kali menyebut kami orang Minangkabau.
Kenapa kami bukan Minangkabau dengan segala kemiripannya? Berikut kami paparkan alasannya.
Minangkabau adalah nama tempat, dan Kampar adalah nama tempat. Minangkabau dan Kampar adalah nama tempat yang berbeda, namun sama-sama berada dalam Bumi Melayu. Kampar tidak terdapat dalam kawasan Minangkabau. Maka wajar kami tidak mengaku Minangkabau.
Kami tidak mengada-ngada. Ratusan tahun kami mewarisi nama ini turun temurun. Jika penolakan kami untuk mengaku Minangkabau adalah hal baru, sungguh sangat mustahil kami bisa satu kata, sepakat untuk jangan pernah mengaku Minangkabau.
Kami mendiami kawasan yang bernama “Kampar” maka kami orang Kampar, Ughang Ocu. Lalu kawasan di mudik sana kami menyebutnya “Minangkabau”. Maka mereka yang di mudik sana adalah orang Minangkabau, Ughang Minang.
Semudah itu saja. Jika kami mengaku Minangkabau pula, maka makna yang telah tertanam ratusan tahun dalam darah daging kami akan menjadi rancu seketika.
Empu Prapanca sejak abad 13 yang lalu sudah sependapat dengan kami dalam tulisannya;
XIII
1. lwir niɳ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri malayu, naɳ jambi mwaɳ palembaɳ karitan i teba len / darmmaçraya tumut, kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan / kampar mwan i pane, kampe harw athawe mandahilin i tumihaɳ parllak / mwan i barat.
2. hi lwas lawan samudra mwan i lamuri batan lampuɳ mwaɳ i barus, yekadinyaɳ watek / bhumi malayu satanah kapwamateh anut. len tekaɳ nusa tañjuɳ nagara ri kapuhas lawan ri katinan, sampit / mwaɳ kutalinga mwan i kutawarinin / sambas mwan i lawai.
Terjemahan:
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu M’layu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, pun ikut juga disebut kawasan Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, itulah negara-negara Melayu yang t’lah tunduk, negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.
Minangkabau adalah nama tempat, dan Kampar adalah nama tempat, tak terbantahkan
“…. pun ikut juga disebut kawasan Kandis, Kahwas, Minangkabau, Rokan, Siak, Kampar dan Pane ….”
Kenapa kami disalahkan tidak mau mengaku Minangkabau ketika kami berpegang teguh pada warisan leluhur kita? Kenapa meski ditertawakan ketika mengaku Melayu?
Kami sejajar dengan Minangkabau dan negara-negara Melayu lainnya. Kami bukan orang Minangkabau, sebagaimana Minangkabau adalah sebuah negara dalam Bumi Melayu, begitu juga Kampar. Kenapa kita tidak sama-sama mengaku Melayu saja sebagai jalan keluar? Melayu Minang, Melayu Kampar, sangat indah didengar
Mpu Prapanca menulis,
“…. Itulah negara-negara Melayu yang telah tunduk”
Cukup tambahkan kata “Melayu” sebelum “Minangkabau”, maka selesailah permasalahannya.
Kami tidak mengaku Orang Minangkabau bukan karena merasa beda adat dan budaya dengan Minangkabau. Perbedaan itu pasti ada, namun itu hal yang wajar. Kami tidak mengaku Minangkabau karena nama “Minangkabau” itu sendiri tidak mewakili kami.
Kami berterima kasih tidak berada dalam Provinsi Sumatera Barat ketika provinsi ini dibentuk, jika kami berada di dalamnya tentu kami mengalami “Minangisasi” pula, hal inilah yang membuahkan perbedaan pendapat antara sesama kita.
Ketika orang di Ranah Minangkabau telah mengubah pandangannya tentang “Keminangkabauan” kami orang Kampar tetap memahami Minangkabau seperti sedia kala, sebagai nama suatu tempat yang didiami oleh sesama orang awak, orang melayu. Tidak lebih.
Itulah, penyebab perdebatan tentang identitas kami selama ini, karena terjadinya penyempitan makna Melayu dan meluasnya makna Minangkabau.
Melayu, yang berasal dari bahasa Sanskerta “Malaya” yang berarti “Dataran tinggi atau gunung”, maknanya telah bergeser jauh ke pesisir, saat sekarang ini dalam pikiran mayoritas penduduk Nusantara, Melayu adalah mereka yang di dataran rendah pesisir timur Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya serta semenanjung Malaysia, yang berbahasa seperti Upin-Ipin. Lalu kami menjadi bahan olok-olok ketika kami menyebut diri sebagai Melayu, karena kami tidak menari Zapin dan tidak pula berbahasa Upin-Ipin
Seharusnya yang paling berhak atas nama ini adalah mereka yang di gunung, karena nama ini pada awalnya jelas sekali untuk menyebut mereka, sayangnya mereka yang di gunung pada awal abad 20 telah berubah menjadi “Minangkabau”
Lalu apa itu Minangkabau? Terlepas dari apa asal kata ini, maknanya selalu merujuk pada sebuah kawasan. Dengan begitu, sama sekali tidak salah jika orang-orang yang mendiami kawasan ini mengaku orang Minangkabau.
Sama dengan orang di kawasan lainnya. Yang tidak tepat adalah jika mendudukkan kata “Minangkabau” setara dengan “Melayu”. Melayu adalah Bumi, Minangkabau adalah sebuah negeri dalam bumi melayu itu sendiri, bahkan Minangkabau itulah pusat Bumi Melayu. Thomas Stamford Raffles telah mengetahuinya sejak dulu.
Sumber-sumber sejarah selalu menyebutkan bahwa Minangkabau dan Kampar adalah dua kawasan yang berbeda, kami tidak menolak kenyataan bahwa dalam periode waktu yang panjang ini pastilah kekuasaan Melayu pernah berpusat di Minangkabau. Dan itu memang kenyataan. Itulah yang disebut-sebut dalam Tambo Minangkabau.
Permasalahannya adalah, apakah kawasan dalam Tambo ini adalah kawasan yang bernama “Minangkabau”? Atau kawasan ini adalah kawasan yang tunduk pada Minangkabau?
Umpamanya begini, pucuk pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan sudah mengalami perpindahan beberapa kali, lalu di tahun 2017 ini ibu kota negara kita terletak di Jakarta, lalu bukankah dari Sabang sampai Merauke berada dalam kekuasaan Jakarta?
Nah, apakah kita yang tidak tinggal di Jakarta adalah orang Jakarta? Tentu tidak mungkin, karena kawasan kita tidak berada dalam kawasan Jakarta meski kita berada di bawah kekuasaan Jakarta
Begitulah kami, kami berada di luar kawasan yang bernama Minangkabau, namun kami pernah berada di bawah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Minangkabau. Dibuktikan oleh catatan Portugis abad ke 15. Berikut ini kutipan dari Wikipedia
“…. Muncua lai barito manganai daerah tu pado awa abaik ka-16, dek urang-urang Portugih nan mulai manyabuik namo Pagaruyuang sabagai namo karajaan ko. Salah satunyo Tomé Pires (1513-1515), nan manulih baso daerah ko barado di bawah kakuasoan tigo rajo nan manatap di padalaman Minangkabau, namun wilayah kakuasoannyo macakuik juo pasisia timua (Rokan, Kampar, Siak, Indragiri, Jambi) jo pasisia baraik (Barus, Tiku, Pariaman) pulau Sumatera.”
“…. Muncul lagi berita mengenai daerah itu pada awal abad ke-16, karena orang-orang Portugis yang mulai menyebut nama Pagaruyung sebagai nama kerajaan ini. Salah satunya Tomé Pires (1513-1515), yang menulis bahwa daerah ini berada di bawah kekuasaan tiga raja yang menetap di pedalaman Minangkabau, namun wilayah kekuasaannya mencakup jua pesisir timur (Rokan, Kampar, Siak, Indragiri, Jambi) juga pesisir barat (Barus, Tiku, Pariaman) pulau Sumatera.
Permasalahan lainnya adalah, adat dan budaya hasil leluhur kita bersama yang dimonopoli oleh Minangkabau. Ini wajar karena pusat budaya bangsa Melayu pernah terletak di Minangkabau. Sehingga semua aspek kehidupan diembel-embeli Minangkabau. Bahasa Minangkabau. Adat Minangkabau. Suku Minangkabau. Dan itu salah.
Kenapa salah? Karena begini, pusat pemerintahan, ekonomi dan kebudayaan yang katanya bernama “Minangkabau” itu untuk saat ini terletak di Padang bukan? Lalu karena kemegahan kota ini, semua hal diembel-embeli “Padang” pula.
Ada Rendang Padang, Nasi Padang, Sate Padang, Soto Padang, dan padang-padang lainnya. Lalu apakah kalian Orang Minangkabau yang lahir atau tinggal di luar kota Padang mau disebut orang Padang, berbahasa Padang dan bersuku Padang?
Bukankah kekuasaan Padang itu mencakup daratan Sumatera Barat dan pulau sekitarnya? Bukankah budaya dan bahasa sama? Tentu tidak mau, karena nama itu tidak mewakili kalian.
Nah, tepat, begitulah kami, penyematan nama “Minangkabau” atas hal-hal ini yang kami tidak mau, ah, bukan itu saja, kami pula yang di Riau ini ikut disebut-sebut orang Padang kalau keluar daerah. Disebut Minang saja jengkel bukan main, apalagi disebut si Padang
Hal semacam ini terjadi pada saudara kita orang Malaysia. Kita berbahasa yang sama, bahasa Melayu, namun nama bahasa ini oleh orang Indonesia diubah menjadi Bahasa Indonesia dengan alasan politik juga.Lalu menjadi lebih terkenal daripada nama sebenarnya, Melayu.
Suatu hari di dalam kelas, seorang bule bertanya pada si anak Malaysia, kalian dari Malaysia tapi kenapa berbahasa Indonesia? Aku yang berada tak jauh dari mereka bisa merasakan perasaan tak enak itu.
sumber : http://www.wacana.co/2017/02/kampar-antara-melayu-dan-minangkabau/
Komentar
Posting Komentar