Syariat Islam dan Reformasi Agraria

TUNTUTAN percepatan implementasi reformasi agraria kembali mencuat.  Selain karena telah menjadi salah satu janji pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan seperti tercantum dalam Nawacita, pemerintah juga menjadikannya bagian program besaruntuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi (Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia tanggal 31 Januari 2017).
Untuk itu Presiden Joko Widodo menetapkan 9 juta hektar tanah yang diperuntukkan bagi rakyat miskin perdesaan untuk mengatasi ketimpangan agraria dan Perhutanan Sosial 12,7 ha.
Sebenarnya reformasi agraria telah lama ‘digadang-gadang’ pemerintah maupun LSM sebagai solusi peningkatan kesejahteraan petani serta pencapaian kedaulatan pangan. Melalui reforma agraria, pemerintah menjanjikan redistribusi lahan dan legalisasi aset lahan. Seperti disebutkan dalam Strategi Nasional Pelaksanaan Reformasi agraria  2016 – 2019 yang dikeluarkan oleh Kantor Staf Presiden, untuk merealisasikan RA pemerintah akan menyiapkan 4,5 juta hektar untuk legalisasi aset dan 4,5 juta hektar untuk redistribusi lahan. Program legalisasi dilakukan untuk tanah transmigrasi yang belum bersertifikat seluas 0,6 juta ha dan 3,4 juta ha tanah asset Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yang sebagian besar milik pemerintah/ tentara/ polisi, dan hasil penyelesaian konflik.  Sedangkan 4,5 jt Ha untuk redistribusi menyasar lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tanah terlantar seluas 0,4 juta hektar, dan 4,1 juta Ha dari pelepasan kawasan hutan.
Ditambah pula target pencapaian 12,7 juta Ha untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Program ini menjadi harapan dalam mengatasi problem pertanian, sebab mayoritas petani kita (sekitar 28 juta petani) hanyalah berstatus petani gurem atau buruh tani yang tidak memiliki tanah atau kepemilikan lahan kurang dari 0,3 ha. Sedangkan dipihak lain ada individu yang memiliki ribuan hingga jutaan hektar yang sebagian lahan-lahan tersebut dibiarkan menganggur tidak terkelola.  Ditambah pula massifnya konversilahan pertanian menjadi non pertanian makin menurunkan jumlah lahan yang digarap petani.
Reforma Agraria, Mungkinkah Jadi Harapan?
Sampai saat ini reformasi agraria terus diharapkan meskipun implementasinya dipertanyakan. Sebab sejak ditetapkan pertama kali melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA dan dicanangkan sebagai program kerja oleh berbagai rezim penguasa, termasuk pemerintahan saat ini, tidak terlihat perubahan pengelolaan lahan secara  signifikan.  Begitujuga nasib mayoritas petani yang tak kunjung berubah. Bergentayangannya mafia tanah serta penguasaan tanah oleh korporasimerupakan masalah pelik yang tidak terselesaikan sehingga reformasi agraria tidak terlaksana.
Jika ditilik secara mendalam, tidak terlaksananya reformasi agraria lebih disebabkan rusaknya paradigma dan konsep yang melandasinya. Kesan pro rakyat yang terlihat dalam redistribusi dan legalisasi lahan pertanian, hanyalah kebijakan yang absurd karena lahir dari paradigma sosialisme yang rusak.
Kerusakan paradigma ini diikuti pula dengan implementasi yang tak sungguh-sungguh oleh pemerintah di negeri ini. Sebab sistem Neoliberal yang djalankan di negeri ini telah menjadikan swasta/individu bebas menguasai berbagai aset termasuk lahan dalam jumlah yang luas dan waktu yang panjang.  Prinsip survival the fittest ala neoliberalsangat tidak sejalan dengan keberpihakan pada rakyat lemah.  Inilah penyebab mendasar reformasi agraria hanyalah indah diatas kertas.
Apalagi jika program ini hendak dijadikan solusi bagi perbaikan kesejahteraan petani kecil, tampaknya juga jauh panggang dari api. Kompleksitas persoalan pertanian saat inipun juga buah dari tata kelola pertanian yang neoliberal. Korporatisasi massif yang terjadi dalam penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, teknologi dan alsintan) menjadikan petani kecil tak bisa ‘move on’ dari kemiskinannya. Negara membiarkan para petani membayar mahal untuk mendapatkan saprotan berkualitas. Dampak lanjutannya para petani kembali lagi terjerat pada pinjaman ribawi yang mencekik oleh rentenir dan tengkulak. Sementara negara hadir hanya sebagai regulator saja yang menyusun aturan dan regulasi untuk memudahkan investasi (baca: penguasaan) korporasi menguasai jalur-jalur pertanian hingga hajat pangan rakyat.
Sistem Ekonomi Islam Adalah Jawaban
Saat ini harapan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani termasuk dalam kepemilikan lahan hanya pada Islam. Syariah Islam yang diturunkan Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan pengaturan lahan secara adil. Hal itu didukung pula dengan pelaksanaan sistem ekonomi dan politik yang unggul sehingga akan membuahkan kesejahteraan.
Terkait lahan,Islam menolak sistem pembagian lahan secara merata sebagaimana agenda reforma agraria, meskipun juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya.  Namun Syariah Islam memiliki cara pandang yang unik tentang hal ini.
Islam mengakui lahan pertanian termasuk kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti kandungan bahan tambang  (bagian kepemilikan umum). Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli atau cara lain yang dibolehkan syariah. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya.
Di antara hukum pengaturan tanah dalam Islam yaitu: 1) Berkaitan dengan kepemilikan lahan pertanian, syariah Islam mensyaratkan agar orang yang memiliki lahan untuk mengelolanya. 2) Ketika ada tanah terlantar/mati yang tidak dihidupkan oleh pemiliknya, maka diambil oleh negara lalu diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya, 3) Disamping itu Negara bisa pula memberikan secara cuma-cuma  tanahyang sudah dikelola dan siap untuk langsung ditanami, atau tanah yang nampak sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang.
Berdasarkan hal ini terlihat kunci kepemilikan lahan pertanian adalah kemampuan mengelola. Jika tidak mampu, maka kepemilikannya bisa hilang.
Untuk mendukung berjalannya aktifitas pertanian, tidak hanya menyediakan lahan namun negara memberikan secara gratis bantuan saprotan, menyiapkan infrastruktur pertanian juga mendukung dengan litbang pertanian sehingga produktifitas pertanian terus meningkat.
Disisi lain negara juga menjamin produk pertanian bisa dipasarkan secara kompetitif. Negara memang tidak menetapkan harga, namun negara wajib menghilangkan hal-hal yang mendistorsi pasar seperti praktik penimbunan atau kartel, kecurangan atau penipuan dan praktik ilegal lainnya.
Dari gambaran diatas terlihat, bahwa kehadiran negara secara penuh merupakan hal yang mutlak dalam tata kelola pertanian hingga pemenuhan pangan.
Karena Syariah Islam menetapkan pemerintah itu berfungsi sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kedua peran ini harus dijalankan sepenuhnya tanpa bisa diwakilkan karena Allah akan meminta pertanggungjawabannya kelak di hari Akhir.
Dengan pelaksanaan konsep shahih dari sistem politik ekonimi Islam inilah kesejahteraan dan kemuliaan bagi rakyat akan terwujud.  Allah Subhanahu Wata’alaberfirman:  “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf, Ayat 96 ).*
oleh :  Emilda Tanjung
sumber : hidayatullah.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

mengenal kota aleppo