Mengapa ada kisah Zulkarnain dalam Tambo Minangkabau

Bagaimana Kisah Iskandar Zulkarnain Sampai di Minangkabau? Sebuah Analisis Tentang Jejak Persia dan Malava December 9, 2023 in Hipotesa, Interpretasi, Literatur, Penelitian, Tambo, Tarikh | 10 comments Seorang pejabat pemerintah Belanda yang bernama Cornelis Poortman dibuat bingung dengan kepercayaan masyarakat Minangkabau yang mengakui bahwa mereka dan rajanya adalah keturunan Iskandar Zulkarnain, yang pada saat itu ditafsirkan sebagai sosok Alexander the Great dari Macedonia. Saat itu, Poortman diminta oleh teman sejawatnya, Westenenk untuk meneliti tentang Mitos Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau. Kebetulan ia sudah terlebih dahulu menemukan informasi dalam catatan peninggalan Dinasti Syiah Fathimiyah Mesir (909–1171), tentang keberadaan sekelompok kaum Syiah di Gujarat India, yang mengaku keturunan Alexander the Great (mereka menyebutnya “Iskandar Zulkarnain”). Poortman mencurigai orang-orang asal Cambay Gujarat inilah yang menjadi asal dari mitos keturunan Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau, yaitu ketika mereka datang untuk berdagang pada sekitar tahun 1350. Kesimpulan ini bedasarkan sebuah catatan terkait tokoh bernama Johan Jani yang ditemukannya di museum Ajeeb Ghar Lahore. Johan Jani adalah seorang pelaut asal Gujarat yang ayahnya seorang Persia dan ibunya seorang Punjabi, dan dia mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain. Johan Jani kemudian menjadi Sultan di Daya Pasai, pada tahun 1205 dengan gelar Sri Paduka Sultan Johan Syah. Kerajaan ini memiliki pengaruh kuat di Kuntu Kampar yang merupakan salah satu daerah penghasil lada terpenting. Dari Kuntu Kampar inilah kisah Iskandar Zulkarnain di duga masuk ke Minangkabau di pedalaman. Paparan di atas merupakan rangkuman dari sebuah buku karya Amir STA yang sumbernya kemungkinan besar adalah buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan yang sudah disanggah oleh Buya Hamka. Terlepas apakah Amir STA mengutip sumber-sumbernya dengan benar, cerita di atas memiliki kelemahan yaitu cenderung menganggap tokoh Iskandar Zulkarnain sama dengan Alexander the Great secara utuh. Buku tersebut juga mengklaim bahwa Poortman bercerita ada jutaan orang di Gujarat sana yang mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great). Namun, faktanya tokoh Iskandar Zulkarnain dalam Tambo Minangkabau tidaklah sesederhana itu. Tambo Datuk Toeah menceritakan Iskandar Zulkarnain sebagai Raja yang memiliki mahkota dua tanduk (Dhu al-Qarnayn) yang merupakan jelmaan dari tanduk Nabi Syits. Mahkota yang dikenakannya ini bernama Mahkota Sanggohani. Selaras dengan narasi tambo ini, mukaddimah surat-surat Sultan Ahmadsyah dari tahun 1600an, juga menyebutkan Mahkota Sari Maharajo Dirajo (putra dari Iskandar Zulkarnain) sebagai Mahkota Sanggohani atau “mahkota Nabi Sulaiman”. Keberadaan mahkota ini menjadi petunjuk penting tentang sosok Zulkarnain yang dimaksud, yang jelas-jelas mengarah kepada Cyrus the Great (Raja Cyrus Agung), pendiri Achaemenid Empire (550–330 SM) di wilayah Persia. Kekaisaran ini dalam bahasa aslinya disebut Xšāça (Saka), sebuah tempat yang kemudian juga dinisbatkan pada sosok Aji Saka, tokoh sentral yang memiliki pengaruh setara Iskandar Zulkarnain dalam mitologi Jawa. Mayoritas cendekiawan Muslim menafsirkan Cyrus Agung ini sebagai sosok Dhu al-Qarnayn (Dzulqarnaini) yang disebut dalam Al Qur’an karena arti kata Dzulqarnain adalah “yang memiliki dua tanduk”, yaitu merujuk kepada mahkota yang dikenakannya. Diketahui, keberadaan kata “Iskandar” dalam nama Iskandar Zulkarnain memiliki jejak pengucapan dialek Persia yang kental terhadap nama Alexander the Great. Alexander diucapkan Iskandar dalam dialek Arab, atau Sekander/Secander dalam dialek Persia. Terdapat banyak kota bernama Alexandria yang didirikan di seantero wilayah yang ditaklukkan oleh Alexander the Great, salah satunya adalah Alexandria di Mesir yang disebut Iskandariah dalam pengucapan Arab. Selain penggunaan nama Iskandar Zulkarnain, beberapa tambo Minangkabau juga kerap menggunakan istilah Sutan Sikandareni (Sekander/Secander)untuk sosok ini. Nama Sikandareni ini tentunya lebih kental pengaruh Persianya ketimbang Arab. Naskah tertua Minangkabau yang secara eksplisit menggunakan istilah Iskandar Zulkarnain adalah surat-surat Sultan Ahmadsyah dari tahun 1600an, yang memiliki banyak salinan di seantero Sumatra, dan masih disimpan oleh beberapa pihak secara bergenerasi, misalnya di Kerinci. Sultan Ahmadsyah diketahui mengirimkan surat kepada penguasa Kerinci, yang terungkap dalam laporan penelitian P. Voorhoeve tentang naskah Tambo Kerintji. Sultan Ahmadsyah (bertahta pada sekitar 1660-1690) merupakan keturunan Bendahara Negeri Perak dari pihak ibunya. Beliau dikenal sebagai Raja Pagaruyung yang paling produktif dalam urusan surat menyurat serta memiliki jaringan luas dengan para Raja-Raja Nusantara. Surat-surat Sultan Ahmadsyah menyebutkan Raja-Raja Minangkabau sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain lewat jalur Sari Maharajo Dirajo, mirip dengan Sulalatus Salatin yang mengklaim Raja-Raja Malaka juga keturunan Iskandar Zulkarnain dari jalur Sang Sapurba. Negeri Perak sendiri sebagai tempat asal ibu Sultan Ahmadsyah merupakan pelanjut dari Kesultanan Malaka setelah kejatuhan kerajaan tersebut. Kuat dugaan, Sultan Ahmadsyah menggiatkan penggunaan narasi keturunan Iskandar Zulkarnain ini berulang-ulang, dengan tujuan untuk menghapus bayang-bayang kekuasaan Adityawarman pada beberapa abad sebelumnya. Namun menariknya, pengakuan sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain ini tidak melulu ditemukan di Minangkabau dan Malaka saja. Sultan Iskandar Muda dari Aceh pun mengkaitkan dirinya ke sosok ini sebagai personifikasi. Selain itu Sultan-sultan dari beberapa negeri seperti Kedah, Ternate, Maguindanao Filipina dan Inderapura juga menautkan silsilah keturunannya ke sosok Iskandar Zulkarnain ini, seperti dapat dilihat pada cap-cap kerajaan di atas. Dari sekian kerajaan tersebut, Kedah yang sudah berdiri sejak 330 M merupakan negeri tertua di Nusantara yang mengkaitkan diri ke sosok Iskandar Zulkarnain lewat Hikayat Merong Mahawangsa. Dalam hikayat ini diceritakan bahwa Raja Merong Mahawangsa merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain (Dhu al-Qarnayn). Raja Merong mempunyai tiga orang putra, Merong Mahapudisat, Ganjil Sarjuna, dan Seri Mahawangsa, dan seorang putri yang merupakan anak bungsu. Raja Merong disebut berasal dari Tanah Rum yang kemudian menetap di Lembah Bujang dan mendirikan Kerajaan Langkasuka pada 80 M. Kerajaan ini kemudian berubah nama menjadi Kedah Zamin Turan. Raja Merong digantikan oleh putra sulungnya, Merong Mahapudisat. Raja Merong kemudian pulang ke Tanah Rum, meninggalkan putranya memerintah Langkasuka. Merong Mahapudisat kemudian juga disebut sebagai Raja Pertama Siam. Tarikh berdirinya Kerajaan Langkasuka pada 80 M ini tentu saja sangat menarik perhatian karena jaraknya yang sangat dekat dengan akhir penaklukan Alexander the Great di kawasan Sungai Indus pada tahun 323 M (hanya berselang 400 tahun pasca kematian Alexander). Diketahui, sebagian tentara Alexander tetap meneruskan ekspansi meski pemimpinnya telah meninggal. Dalam Hikayat Merong Mahawangsa disebutkan bahwa Raja Merong awalnya adalah seorang tentara dan pejabat dari sebuah kerajaan. Dia mengembara dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya namun lebih sering menetap di Tanah Rum. Suatu hari, dia meninggalkan Tanah Rum untuk berdagang ke Negeri Cina. Namun, setelah melintasi Laut Arab, rombongannya tiba-tiba diserang oleh Garuda atau gergasi yang memusnahkan sebahagian besar armadanya. Sisa rombongan lalu lari ke tanah terdekat yaitu Lembah Bujang. Tempat inilah yang menjadi tempat mereka menetap dan mendirikan Kerajaan Langkasuka. Cerita perjalanan Raja Merong untuk berdagang ke Negeri China ini tentunya sedikit janggal jika dia memang seorang keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Akan lebih masuk akal jika dia disebut sebagai keturunan pejuang atau tentara dari Alexander the Great. Terlepas dari sosok Merong Mahawangsa di Kedah, hal yang paling menarik dari sosok Iskandar Zulkarnain versi Minangkabau justru karena perpaduan dua nama besar yang disandangnya, yaitu Iskandar (Sekander) yang merujuk pada Alexander the Great dan Zulkarnain (Dhu al-Qarnayn) yang merujuk pada Cyrus the Great. Seakan-akan tokoh ini, jika benar-benar ada, haruslah memiliki darah kedua tokoh besar tersebut sekaligus. Dan ternyata, tokoh yang memenuhi kriteria tersebut ternyata hampir saja wujud dalam sejarah. Alexander the Great ternyata sangat mengagumi sosok Cyrus the Great, pendiri Kekaisaran Achaemenid yang namanya amat mahsyur hingga Yunani. Hal ini cukup unik karena Yunani selalu memposisikan diri sebagai lawan seimbang dari Persia (Achaemenid). Namun nama besar Cyrus the Great yang hidup tahun 600–530 SM (hampir 250 tahun sebelum Alexander lahir) justru sudah mempesonanya sejak kecil. Sosok Cyrus the Great sendiri memang sangat agung, dan kerajaannya terbentang luas dari tepian Sungai Indus hingga Balkan, berbatasan langsung dengan Yunani. Luas Kekaisaran Achaemenid pada saat Cyrus berkuasa hampir sama dengan luas wilayah taklukan Alexander the Great 300 tahun kemudian, bahkan wilayahnya pun berhimpitan. Pengaruh Cyrus terasa hingga ke Negeri China terutama lewat perannya sebagai pendukung penyebaran ajaran Zoroastrianisme (agama Majusi). Selain itu, buku biografi Cyrus (Cyropaedia) yang ditulis oleh Xenophon, seorang tentara Athena murid Socrates, menyebar luas di Yunani dan menjadi bacaan Alexander the Great sejak kecil. Pengaruh Cyrus yang memiliki gelar King of Kings (Shahanshah atau Mahārādhirāja) ini bahkan tercatat sampai ke Islandia menurut sebuah studi. Dalam penaklukannya ke Dunia Timur, Alexander the Great memang bercita-cita menundukkan Kekaisaran Achaemenid yang merupakan lawan abadi Yunani Macedonia. Namun Alexander tidak ingin menghancurkan kerajaan ini. Dia justru memuliakan rakyatnya dan hanya fokus mengalahkan raja dan pasukannya saja. Alexander terobsesi memiliki keturunan yang mewarisi darah Cyrus the Great, dan untuk tujuan itu dia sampai mengawini tiga wanita Persia sekaligus yaitu: Parysatis II (putri dari Artaxerxes III of Persia), Stateira (putri dari Darius III of Persia, raja terakhir Achaemenid yang dikalahkan Alexander) dan Roxana (putri bangsawan Bactria yang bernama Oxyartes). Roxana merupakan ibu dari Alexander IV, satu-satunya putra Alexander the Great, yang masih dalam kandungan saat ayahnya meninggal. Sayangnya, ibunya bukanlah keturunan Cyrus the Great. Alexander the Great tak sempat memiliki anak dari Stateira, putri dari Darius III yang merupakan keturunan langsung dari Cyrus the Great. Cyrus the Great dimakamkan di Pasargadae, dan makamnya sempat dijarah oleh tentara Alexander the Great. Alexander sangat marah mengetahui hal tersebut dan memerintahkan untuk memperbaiki dan merenovasi makam tokoh yang dikaguminya itu, bahkan lebih bagus dari semula. Menariknya, makam Cyrus the Great ini cukup lama dikenal sebagai “Makam Ibunda Sulaiman“, setidaknya hingga tahun 1800an. Mungkin ini pula sebabnya Mahkota Iskandar Zulkarnain dalam surat-surat Sultan Ahmadsyah di Minangkabau dinamai Mahkota Nabi Sulaiman (Mahkota Sanggohani). Namun yang jelas, Cyrus the Great ternyata amat dihormati oleh kaum Yahudi karena telah berjasa membebaskan mereka dari perbudakan Babylonia, serta mengijinkan mereka kembali ke tanah asalnya. Kitab Tanakh bahkan menganggap Cyrus the Great sebagai Messiah bagi kaum Yahudi saat itu. Menariknya, sebagai sesama pengagum Cyrus the Great (Dhu al-Qarnayn), ternyata kaum Yahudi dan Minangkabau pun sama-sama mempraktekkan Sistem Matrilienalisme. Tentunya patut diduga apakah ada peran kaum Yahudi terhadap penisbatan makam Cyrus the Great sebagai makam ibunda Sulaiman. Hal yang menarik lainnya adalah tentang keberadaan tingkuluak tanduak sebagai penutup kepala Bundo Kanduang di Minangkabau, yang juga melambangkan mahkota. Aslinya, mahkota yang dikenakan oleh Cyrus the Great disebut sebagai Mahkota Hemhem, dan tradisi penggunaannya sudah berumur sangat panjang yaitu sejak jaman Mesir Kuno. Tentunya tersisa pertanyaan sekarang, bagaimana kisah Iskandar Zulkarnain yang dipandang sebagai perpaduan sosok Alexander the Great dan Cyrus the Great ini bisa sampai di Nusantara. Benarkah perantaranya lewat Kedah saja? Jawaban mengejutkan ternyata ditemukan dari buku Ancient Indian Colonies in The Far East yang terbit tahun 1937. Buku ini memberitakan catatan Ptolemy (100-170 M) tentang keberadaan sebuah suku atau kelompok besar di India yang setidaknya sudah tinggal disana sejak 500 SM dan sempat bertemu dengan Alexander the Great. Suku ini juga banyak berinteraksi dengan orang-orang Yunani yang datang bersamanya. Kelompok suku ini berasal dari sebuah wilayah yang berada jauh di Timur India, dan mereka tidak menggunakan Bahasa Sansekerta dalam tulisan-tulisan mereka, terutama pada koin-koin yang mereka gunakan, yang umumnya mencantumkan nama pemimpin suku-suku mereka. Kelompok/suku pendatang ini dikenal sebagai Orang Malava dan ditulis sebagai Orang Malloi oleh para penulis Yunani. Kelompok ini tersebar di banyak tempat di India dan profesi utama mereka adalah tentara (profession of arms, sama seperti profesi Raja Merong). Alexander the Great bertemu langsung dengan orang-orang Malava ini di daerah Punjab, sementara koin-koin mereka banyak ditemukan di wilayah Rajputana tempat dulu mereka tinggal. Keberadaan orang-orang Malava ini bahkan sudah tercatat dalam kitab Mahabharata, Matsya Purana dan Ramayana, sebagai kelompok suku yang berasal dari Timur. Buku ini juga menuliskan bahwa orang-orang Malava/Malloi yang disebutkan di atas tak lain adalah orang-orang dari Kepulauan Nusantara (Austro Asiatic), khususnya dari Sumatra yang kemudian dikenal sebagai Malaya/Malayu. Jejak-jejak kebudayaan maritim dan temuan-temuan di Mohenjo Daro dan Harappa menunjukkan bahwa telah terjadi migrasi bolak balik (bahkan kolonisasi) antara Timur (Sumatra) dan Barat (India) sejak ratusan tahun sebelum Masehi, sehingga anggapan bahwa migrasi hanya terjadi satu arah (dari India ke Nusantara) adalah tidak benar. Fakta ini juga ditunjang oleh sebaran linguistik Bahasa Austronesia yang terbentang luas dari Kepulauan Nusantara hingga Madagascar, sehingga keberadaan penuturnya di Daratan Asia (India, Pesisir Persia, Pesisir Arabia) hingga Pesisir Timur Afrika adalah sebuah keniscayaan. Dalam perjalanannya, orang-orang Malava/Malaya ini telah memainkan peranan penting dalam Sejarah India, sebelum mereka akhirnya tergusur tanpa sebab yang jelas dan kembali ke daerah asalnya di Kepulauan Nusantara. Buku ini kemudian turut menuliskan kesaksian Ptolemy tentang penyebaran orang-orang Malava hingga wilayah Timur Jauh, dan hal itu telah terjadi sejak ratusan tahun sebelum eranya. Ptolemy merujuk pada Pegunungan Malaia di Sri Lanka (Ceylon) dan sebuah tanjung yang bernama Tanjung Maleou Kolon (Tanjung/Semenanjung Malayu Kulon ?) di Pulau Emas (Golden Khersonesos). Berdasarkan fakta bahwa orang-orang Minangkabau mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari India (Tanah Basa), dan orang-orang Malava di India dulunya merupakan penutur Bahasa Austronesia yang bermigrasi ke India, penulis buku ini kemudian menyimpulkan bahwa kedua kelompok ini (Malava/Malloi di India pada era sebelum Masehi) dan Malaya/Minangkabau di Sumatra pada hakikatnya adalah orang-orang dari kelompok suku yang sama dan sudah saling berkaitan sejak dahulu. Kesimpulan penulis buku ini sebenarnya sudah dikonfirmasi oleh tambo-tambo Minangkabau sejak dulunya, termasuk soal keterkaitan khusus antara Minangkabau dan Sri Lanka (Langkapuri). Gabungan semua informasi di atas mungkin membuat sebagian kalangan terkejut, karena faktanya nenek moyang orang Malayu/Minangkabau ternyata benar-benar pernah berjumpa dengan Alexander the Great (Iskandar/Sekander) di Punjab, sekaligus tahu persis tentang keagungan Cyrus the Great (Zulkarnain) yang namanya harum di Persia sana. Nama Cyrus the Great sudah banyak diklaim berbagai dinasti di Persia sebagai leluhur mereka, bahkan sejak sebelum kedatangan Alexander the Great. Terlepas dari apakah ada tokoh historis yang benar-benar mewarisi darah keturunan Alexander dan Cyrus sekaligus, dan kemudian dirajakan oleh orang-orang Malava/Malaya/Minangkabau, setidaknya ketersambungan informasi ini membuktikan bahwa kisah Iskandar Zulkarnain di Sumatra, khususnya di Minangkabau, memang berdasarkan fakta sejarah dan bukan sekedar legenda atau mitologi tanpa asal-usul yang jelas. Terakhir, tentunya kita perlu juga meninjau ulang catatan Yunani tentang keberadaan Pulau Emas (tempat asal orang-orang Malava/Malloi) yang mereka sebut Taprobana atau Golden Chersonese ini. Megasthenes, seorang Duta Besar Yunani untuk Chandragupta Maurya yang hidup tak lama setelah meninggalnya Alexander the Great, menyebutkan bahwa Taprobana adalah sebuah pulau yang terletak di Selatan India, dan ditempuh dalam beberapa hari pelayaran dari India. Pulau ini dibagi dua sama besar (equally divided) oleh sebuah sungai besar, dan ditengah-tengahnya terdapat danau yang amat luas. Tanpa diragukan lagi bahwa pulau ini tentu saja Pulau Sumatera, dan sungai yang dimaksud tepat berada di tengah Sumatera dan membagi dua pulau ini sama besar adalah Sungai Inderagiri yang berhulu di Kawasan Luhak Nan Tigo Minangkabau, atau Sungai Batanghari yang memang kaya dengan emas sejak dulunya, serta memiliki sangat banyak peninggalan arkeologi dari berbagai bangsa di dasar sungainya. Hulu kedua sungai ini tentunya sudah kita kenali sebagai Alam Minangkabau, sebuah kawasan kebudayaan yang bangga sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi