Migrasi para raja

Kronik Malayu-Minangkabau mencatat bahwa perpindahan awal bangsawan Minangkabau dari Tanah Ranjani Ulak Tanah Basa ke Pulau Perca terjadi sekurangnya 19 generasi sebelum masa Datuak Katumanggungan. Dengan asumsi bahwa Datuak Katumanggungan lahir pada tahun 1285 (berumur 60an tahun saat menyerahkan kekuasaan ke Adityawarman pada 1347), maka terbentang jarak sekurangnya 760 tahun dari tahun kelahirannya hingga periode awal kedatangan para bangsawan asal Tanah Ranjani tersebut (asumsi rata-rata pergantian generasi adalah setiap 40 tahun). Perhitungan ini menghasilkan tahun 525-550 M sebagai perkiraan awal bermulanya Dinasti Gunung Marapi di Pulau Perca yang ditandai dengan kedatangan pasangan suami istri Dewang Indera Jati (Niniak Indo Jati Datuak di Ngalau) dan Puti Sari Mayang (Puti Jato Jati). Fragmen dalam KSRM menggambarkan episode kedatangan itu sebagai berikut: Habih maso baganti maso, zaman baganti badukalo Mangko duduak surang rajo, Ulak Tanah Basa nagarinyo Adopun rajo basinggasano, bagala Tuanku Rajo Maharajo Rajo Maharani sandingannyo, samo turunan rajo parkaso Adopun tuanku nan bistari, turunan Iskandar Zulkarnaini Turunan Jati Rokna nan bidodari, bakarajaan patang jan pagi ……. Mangko manikahkan rajo, manikahkan kamanakan jan anaknyo Alek gadang tak takiro, panuah sasak istano bagindo Duduak basandiang duo sapasang, anak rajo banamo Puti Sari Mayang Kamanakan rajo anak nan jombang, Indo Jati namo tabilang ……. Mangko tajadi topan jan badai, angin kancang tak talarai Istano jan rumah ungkai tarungkai, hamba rakyat carai barai Mangko ditabangkan angin nan baduo, ditanai awan di udaro Jatuahnyo samo di Pulau Paco, Gunuang Marapi Puncak Manduro ……. Sari Mayang bagala Jato Jati, jatuah di Istano Bidodari Badiri di puncak Gunuang Marapi, ka Ngalau jatuah Indo Jati Datang urang dari subarang, Ulak Tanah Basa nagari moyang Mancari urang duo sapasang, sampai di gunuang tak pulang Mangko badiam moyang kanduang, Niniak Indo Jati namo si buyuang Datuak di Ngalau gala disanjuang, manjadi panghulu di puncak gunuang Manjadi rajo niniak kito, Puti Sari Mayang itulah namo Puti Jato Jati itu galanyo, jan Datuak di Ngalau di singgasano Ada banyak hal yang dapat dianalisis dari kata-kata non-austronesia yang bernuansa Sanskrit dalam rangkaian teks diatas, misalnya pada nama Puti Jato Jati (जात – jata dan जाती – jaatee) yang berarti “yang mula-mula” dan berbangsa Chedi atau “berkasta”, serta nama Puti Sari Mayang (श्रीमय – Śrīmaya) yang berarti “yang penuh pesona”. Juga terdapat kata badukalo yang lumayan sering muncul di dalam naskah untuk menggambarkan masa-masa yang sulit, dan ini juga berasal dari istilah duṣkāla (दुष्काल) yang berarti masa-masa penuh kesusahan. Tersebut juga istilah Manduro dan Ulak Tanah Basa sebagai nama tempat yang merupakan pelafalan dan alih bahasa lokal untuk istilah Mandara dan Mahajanapada. Dari sisi muatan informasi, fragmen diatas secara ringkas menceritakan tentang bencana yang melanda sebuah kerajaan di Ulak Tanah Basa yang diperintah oleh Raja dan Ratu keturunan Iskandar Zulkarnain dan Jati Rokna. Bencana yang disebut topan dan badai itu tidak lain hanyalah kiasan akan peperangan besar yang menyebabkan kaum bangsawannya (dalam hal ini anak dan kemenakan raja) harus mengungsi ke Pulau Perca dan mendirikan kerajaan baru di tempat tujuannya. Puti Sari Mayang disebut jatuh di Istano Bidadari, di puncak Gunung Marapi Puncak Manduro, sementara Indo Jati (Indera Jati) jatuh di sebuah ngalau/goa besar. Tentunya pemakaian istilah jatuh ini berkonotasi kepada situasi yang sulit di awal kedatangan mereka. Hal yang perlu digarisbawahi disini tentunya adalah penekanan pada istilah Istano Bidadari yang mempertegas asal keturunan, serta istilah Manduro yang merujuk kepada 4 rangkaian pegunungan di keempat sisi Gunung Mahameru yaitu Mandara, Merumandara, Suparsva dan Kumuda. Manduro juga bisa ditafsirkan sebagai pelafalan lokal dari Mahendragiri, istilah yang dapat mengindikasikan tempat asal pasangan ini. Seperti dibahas pada tulisan sebelumnya, aspek kepercayaan Jainism, terutama tentang konsepsi svarga arcapada yang berada di puncak Gunung Mahameru juga tergambar dari frasa “jatuh di puncak Gunung Marapi” ini, karena pada bagian lain teks ini Gunung Marapi disebutkan sebagai Bukit Siguntang-guntang dan Gunung Mahameru di Pulau Perca. Fragmen ini kemudian ditutup dengan informasi bahwa kedatangan mereka kemudian disusul oleh sekelompok orang dari kerajaan asal di Ulak Tanah Basa, yang kemudian memilih untuk tidak pulang. Maka resmilah Indera Jati dan Puti Sari Mayang menjadi Raja dan Penghulu di sebuah koloni yang mereka dirikan sebagai kerajaan pengganti di kawasan Gunung Marapi. Urut-urutan informasi di atas tentunya memancing keingintahuan kita tentang kerajaan asal yang mereka tinggalkan di Tanah Basa yang berada di Anak Benua India sana. Aspek kepercayaan Jainism yang mereka anut dan tarikh 525-550 M yang telah teridentifikasi sebelumnya mengantarkan kita kepada Dinasti Mahameghavahana, sebuah dinasti keturunan Kerajaan Chedi yang memerintah wilayah Kalingga di bagian timur India sejak abad 1 SM hingga awal abad ke-5 M (sekitar tahun 400 – 450). Penguasa dinasti ini adalah penganut Jainism dan pelindung ajaran Jainism yang terkenal, sedangkan Jainism adalah salah satu agama resmi kerajaan, sehingga boleh jadi istilah Tanah Ranjani yang disebut di naskah ini berkaitan dengan hal tersebut. Wilayah kerajaan Dinasti Mahameghavahana kemudian diserang dan ditaklukkan oleh Samudragupta dari Gupta Empire dalam kampanye penaklukan yang sudah dimulai sejak 350 M. Dinasti ini pun akhirnya kehilangan kekuasaan, dan raja terakhir mereka tercatat bernama Badukha. Menariknya, dalam kampanye militer Samudragupta ini, tercatat nama beberapa raja yang ditaklukkan di dalam wilayah kekuasaan Dinasti Mahameghavahana, salah satunya bernama Raja Mahendragiri dari Pishtapura. Selain itu, hingga saat ini di wilayah yang dulunya diperintah dinasti ini, masih terdapat sebuah puncak gunung yang bernama Mahendragiri. Hal yang sangat menarik adalah, ternyata bangsawan awal Minangkabau bukanlah satu-satunya kelompok yang terpaksa mengungsi dari India akibat kampanye militer dari Gupta Empire yang dilancarkan oleh Samudragupta dan beberapa raja pendahulu dan penerusnya. Tercatat pula Dinasti Salankayana yang harus menyingkir dari tanah asalnya dan hijrah ke Nusantara. Dinasti ini dipercaya sebagai pendiri Kerajaan Salakanaraga di Jawa Barat pada sekitar tahun 400an. Pada kurun yang sama, berdiri pula Kerajaan Kutai Martadipura di Kalimantan Timur dengan pendiri dipercaya sebagai keturunan dari Kerajaan Magadha yang juga mendapat serangan dari penguasa Gupta Empire. Terakhir Kedah Tua ternyata juga berdiri pada kurun yang tidak terpaut jauh yaitu sekitar 330 M. Hikayat Merong Mahawangsa yang menceritakan berdirinya Kedah Tua mencantumkan bahwa raja pertama mereka juga keturunan Iskandar Zulkarnain, sama persis dengan bangsawan awal Dinasti Gunung Marapi yang disebut dalam naskah KSRM. Bedanya, Hikayat Kedah ini mencantumkan Ruhum sebagai tempat asal bangsawan mereka, mirip dengan beberapa Tambo Minangkabau yang menceritakan Banua Ruhum sebagai tanah asal Sultan Maharajo Dirajo. Namun perlu dicatat, pada bagian lain naskah KSRM, Jati Banua Ruhum juga disebutkan sebagai tempat asal bangsawan gelombang kedua yang hijrah ke Pulau Perca. Kembali ke kawasan Sumatra, kita menemukan kesamaan yang mencolok antara Dinasti Gunung Marapi dan Dinasti Bukit Seguntang Ranjani yang mendiami Pulau Perca. Kedua dinasti memiliki tempat pemujaan yang disebut Bukit Siguntang sebagai perwujudan Puncak Mahameru secara spiritual, dan nama-nama rajanya kerap mengandung kata Indra, misalnya Dinasti Syailendra (secara harfiah berarti dinasti raja-raja gunung, keturunan Indra). Meski demikian, kita belum menemukan naskah lokal atau prasasti Sriwijaya yang menceritakan asal muasal bangsawannya dari sebuah kerajaan yang menganut agama Jain atau Hindu. Dalam Prasasti Kedukan Bukit, Dapunta Hyang Sri Jayanasa tiba-tiba saja muncul sebagai raja pertama dari sebuah kerajaan yang sudah sangat kuat dan langsung menyerang Malayu Tapi Air. Kita tidak pernah tahu bagaimana dan darimana dinasti ini bermula. Meski demikian, kepercayaan lokal dari masyarakat sekitar Hulu Rawas mengakui hubungan persaudaraan nenek moyang antara leluhur Sriwijaya dan Minangkabau. Beberapa Tambo mengkonfirmasi bahwa Raja Natan Sangseto (Rusa Emas) yang diangkat menjadi Raja di Pariangan adalah masih seketurunan (sehindu) dengan orang Pariangan. Dalam hal ini, kita dapat mengasumsikan bahwa boleh jadi Sriwijaya juga memiliki naskah dan kronik tentang asal muasal bangsawan mereka (dan berkemungkinan sama dengan Kedah dan Minangkabau), hanya saja peristiwa serangan Chola (1025 M) terhadap Sriwijaya, dan serangan Portugis (1511 M) terhadap Kesultanan Malaka (waris resmi Sriwijaya lewat jalur Kerajaan Singapura), menyebabkan musnahnya naskah-naskah mereka. Dinasti Bukit Seguntang Ranjani yang sering mengabadikan nama Indra dan memuliakan gunung dalam gelar raja-raja mereka boleh jadi memiliki tempat suci di Gunung Dempo atau Gunung Pesagih di kawasan Liwa Tinggi Skala Brak, seperti halnya Pariangan dan Pasumayam Koto Batu bagi Dinasti Gunung Marapi. Nama Ranjani yang mereka sematkan kepada nama kerajaan dan ibukota lama mereka (Bukik Kualo Ranjani) ternyata juga dipakai di kawasan Gunung Marapi. Salah satu puncak di sisi Selatan Gunung Marapi masih bernama Bukit Manduro hingga saat ini, dan di bawah lerengnya pada ketinggian lebih kurang 1000m terdapat perkampungan Sandi Laweh dan sebuah bukit yang disebut Gunung Ranjani dengan perkampungan Padang Panjariangan. Di sebelah kirinya akan terlihat jelas Bukit Siguntang-guntang Marapi dan bawahnya terdapat bekas perkampungan Galundi Nan Baselo yang juga dikenal sebagai perkampungan Bukit Siguntang-guntang secara keseluruhan. Terakhir, tentunya dibutuhkan bahasan terpisah tentang Persaudaraan Bukit Siguntang di Pulau Perca ini, yang sepertinya disebabkan oleh kesamaan asal-usul dari Tanah Ranjani. Salah satunya adalah penelusuran lebih lanjut tentang Kerajaan Kantoli (Akhandalapura) yang berdiri sekitar abad ke-5 M di suatu kawasan antara Jambi dan Palembang. Berita-berita Cina menyebutkannya sebagai Gantuoli, kerajaan pendahulu Sriwijaya. Dalam catatan Cina, Raja Kan-t’o-li yang bernama Sri Varanarendra mengirimkan utusan yang bernama Hindu Rudra ke Tiongkok antara tahun 454 dan 464. Putranya yang bernama Vijayavarman juga melakukan hal yang sama pada tahun 519. Boechari, seorang pakar epigrafi Indonesia, berpendapat bahwa Dapunta Selendra, pendiri Dinasti Syailendra berasal dari Akhandalapura. Menariknya, istilah Ākhaṇḍalapura (आखण्डलपुर) ternyata memiliki akar yang kuat dalam ajaran Jainism, dimana kata ini berarti nama kota Vidyādhara, yang terletak di gunung Vaitāḍhya (di baris selatan), menurut bab 1.3 dalam ādīśvara-caritra yang merupakan bagian dari Triṣaṣṭalākāpuruṣacaritra. Triṣaṣṭalākāpuruṣacaritra sendiri adalah sebuah puisi epik Sansekerta kuno karya Hemachandra, yang menceritakan sejarah dan legenda 63 orang termasyhur dalam ajaran Jainism. Secara fonetik, pengucapan kata Vidyādhara dalam bahasa lokal bisa berubah menjadi Bidadara/Bidodari, sedangkan kata Vaitāḍhya bisa diucapkan menjadi Pitadi/Pisagi/Pesagi. Tentunya ini mengingatkan kita dengan konsep Istano Bidodari di Puncak Gunung Marapi, serta keberadaan Gunung Pesagi yang terletak di kawasan Skala Brak Kuno. Wilayah sekitar Gunung Pesagi ini disebut sebagai Liwa Tinggi Hulu Seguntang dalam naskah KSRM. Dimanakah sebenarnya Akhandalapura? Adakah Kerajaan ini memiliki hubungan dengan Dinasti Gunung Marapi dan Dinasti Bukit Seguntang Ranjani sekaligus? Siapakah sosok Dewang Indera Jati (Niniak Indo Jati) sebenarnya? Mengapa banyak kawasan tua diluar Pariangan Minangkabau (misalnya Kerajaan Inderapura Tua dan Sarilamak Limapuluh Kota yang dekat dengan Mahat) juga mengaitkan diri mereka ke sosok Indera Jati? Siapakah anak-anak Indo Jati di Sarilamak yang disebut dalam teks “gambia nan dari Sarilamak, buatan anak Indo Jati, tuangan ameh jan limbago”? Kenapa kerajaan pendahulu Inderapura disebut Renah Indo Jati?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi