Budaya Indonesia dan Syariat Islam
Pengaruh Islam di nusantara memiliki akar yang kuat dan dalam. Karena
Islam sudah memasuki wilayah negeri ini sejak masa-masa awal Islam.
Sebagaimana dinyatakan Azra (1994), bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak
abad pertama Hijriah langsung dari tanah Arab. Yang membawanya adalah
para pengemban dakwah professional alias para da`i yang secara sengaja
diutus oleh institusi kekuasaan Islam di masa itu yakni atas instruksi
para khalifah[1].
Penegasan ini mengesampingkan teori lain yang mengatakan bahwa Islam
baru sampai ke nusantara pada abad ke-7 Hijriah, dan kedatangannya pun
bukan langsung dari tanah Arab dibawa oleh para da`i, melainkan dari
kaum pedagang yang berasal dari Gujarat India. Mereka ini selain
berdagang juga melakukan aktifvitas dakwah penyebaran Islam.
Dalam rentang waktu yang sangat lama tersebut, tentu saja telah terjadi interaksi dan saling mempengaruhi nilai-nilai, paham dan keyakinan masyarakat setempat dengan orang-orang yang membawa ajaran Islam.
Dalam rentang waktu yang sangat lama tersebut, tentu saja telah terjadi interaksi dan saling mempengaruhi nilai-nilai, paham dan keyakinan masyarakat setempat dengan orang-orang yang membawa ajaran Islam.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa sebelum Islam datang, masyarakat di
gugusan nusantara ini telah terjadi akulturasi dan asimilasi budaya.
Baik dengan budaya Hindu, budaya Budha maupun paham-paham animisme.
Mengacu pada hal ini, persoalannya adalah apakah masih tersisa budaya di
Indonesia yang benar-benar murni atau steril dari pengaruh budaya luar.
Ataukah semua budaya yang ada di negeri ini terpengaruh oleh budaya
luar?
Lalu, apa hakekatnya budaya Indonesia itu? Juga apa sesungguhnya
budaya Islam itu? Lebih jauh, dalam kaitannya dengan syariat atau hukum
Islam, sampai di manakah batas yang disebut budaya Indonesia itu – di
satu sisi, dengan syariat Islam di sisi yang lain? Pertanyaan-pertanyaan
di atas penting. Karena, jawaban yang diberikan – terlepas jawabannya
apa – berdampak luas.
Tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi di sekitar masalah budaya
lokal Indonesia dan syariat Islam. Diantaranya, apakah budaya muslim di
Indonesia berbeda ataukah sama dengan budaya muslim di Timur Tengah?
Apabila sama, apa persamaannya; dan jika berbeda di mana letak
perbedaannya?
Sekilas mungkin kita menjawab, ada samanya dan ada bedanya juga.
Contoh samanya: di Timur Tengah ada musik khas berirama gambus ala
padang pasir. Di Indonesia hal yang sama juga ditemukan. Contoh bedanya:
di Timur tengah makanan pokoknya adalah gandum sementara di negeri ini
kalau belum makan nasi berasa belum makan.
Contoh lain, jika di Timur Tengah laki-laki umumnya memakai baju
terusan panjang serupa gamis, tapi di Indonesia laki-laki biasa memakai
sarung atau celana panjang. Berikutnya, wanita di Timur Tengah umumnya
berbusana jilbab. Di Indonesia, para wanita kebanyakan mengenakan baju
potongan kebaya atau baju model terbuka lainnya. Hanya saja, kondisi di
Indonesia sudah berubah. Sudah banyak sekali wanita muslimah yang
menggunakan baju gamis atau jilbab (terusan panjang) dilengkapi dengan
kerudung.
Terkait soal pakaian jilbab dan kerudung[2] ini, bagi
kalangan Islam yang berpandangan bahwa pakaian adalah soal tradisi
budaya semata, maka jilbab akan dipersepsi sebagai bagian dari budaya
orang Arab atau budaya orang Timur Tengah. Artinya, tidak ada keharusan
untuk mengenakan jilbab dan kerudung tersebut. Sebab, budaya lokal
Indonesia mempunyai tatacara berpakaian sendiri yang dianggap cocok,
yang berbeda atau belum tentu sama dari daerah lain. Tegasnya bagi
mereka, jilbab dan kerudung tidak lebih dari produk budaya yang lahir di
Arab.
Sebaliknya, untuk umat Islam yang meyakini bahwa masalah pakaian
merupakan salah satu cabang syariat Islam, otomatis akan menganggap
menggunakan jilbab dan kerudung adalah salah satu kewajiban agama
sekaligus identitas keislaman seseorang muslimah.
Dengan demikian bisakah disimpulkan, bahwa budaya berbusana di
Indonesia sudah bergeser dan meniru budaya pakaian ala Timur Tengah?
Apakah semata karena faktor pergeseran budaya? Mengikuti tren fashion
yang berkembang? Ataukah fenomena maraknya jilbab dan kerudung tersebut
didorong oleh faktor lain yang lebih prinsipil?
Dengan kata lain, apakah maraknya pemakaian jilbab dan kerudung itu
disebabkan kesadaran beragama, yaitu seiring dengan meningkatnya
pemahaman dan kesadaran menjalankan hukum Islam sekaligus refleksi
keimanan yang kian meningkat?
Jadi, bagaimana sebenarnya kedudukan budaya dalam perspektif Islam? Sejauh mana batas-batas budaya dengan hukum syariat Islam?
Jadi, bagaimana sebenarnya kedudukan budaya dalam perspektif Islam? Sejauh mana batas-batas budaya dengan hukum syariat Islam?
Untuk menjernihkan persoalan ini, ada baiknya kita memulai dari
konsep atau definisi dari istilah-istilah yang berkaitan dengan topic
pembahasan. Menurut Suparlan (2003), Kebudayaan didefinisikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya
untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya,
serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan,
petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri
atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan
digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana
terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya[3].
Dalam penjelasan Koentjaraningrat (1985), kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Kemudian, ia membagi wujud kebudayaan tersebut menjadi tiga[4],:
(1) wujud ideal, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud
kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks akivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Mengacu pada batasan di atas maupun definisi kebudayaan yang senada
dari para ahli lainnya yang secara eksplisit menyebut agama sebagai
salah satu budaya[5], berarti agama adalah produk budaya. Benarkah demikian? Apakah pandangan ini juga mencakup Islam yang notabene agama samawi?
Pandangan-pandangan para ilmuwan di atas, memang memunculkan
pertanyaan kritis sehubungan posisi agama (khususnya agama Islam).
Terkait hal ini, tampaknya Suparlan (2003) mencoba mengajukan semacam
kompromi. Ia setuju dan tidak mempermasalahkan definisi kebudayaan para
ahli.
Hanya saja, ia memilah jadi dua kategori kebudayaan dari sisi
nilai-nilai. Pertama, kategori world view. Yaitu nilai-nilai budaya yang
mendasar yang tidak dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari dari para
penganut kebudayaan tersebut. Kedua, kategori ethos, yaitu yang
mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan sehari-hari para
pendukung kebudayan tersebut[6].
Pemilahan ala Suparlan ini, terlihat cukup solutif. Padahal, jika
diselami lebih dalam masih menyisakan beberapa pertanyaan yang penting
sekaligus kritis. Yaitu apa yang menjadi patokan sehingga sebagian
nilai-nilai budaya tertentu bersifat tetap bahkan absolut?
Sebaliknya patokan apa yang menjadi dasar nilai-nilai budaya tertentu
bersifat relative dan dipengaruhi oleh kehidupan keseharian masyarakat?
Adakah pemikiran yang dapat disepakati masyarakat menyangkut
kategorisasi nilai-nilai tadi? Adakah patokan-patokan pemikiran tertentu
yang secara objektif memang memiliki kemampuan dan layak dikelompokkan
sebagai mutlak atau absolute?
Jadi, analisa yang telah diajukan Suparlan memang cukup memadai untuk
menjelaskan fenomena nilai-nilai budaya yang hidup dalam suatu
masyarakat. Sungguhpun demikian, ia belum menguraikan secara gamblang
dan tegas apa penyebab pemilahan tadi harus dilakukan.
NALURI MANUSIA DAN BUDAYA
Ditilik dari sisi fakta kehidupan manusia itu sendiri, tidak bisa
dipungkiri bahwa corak keagamaan merupakan hal yang bersifat pasti ada
dalam masyarakat manapun. Tidak hanya manusia modern seperti dikenal
saat ini, manusia sejak masa prasejarah juga sudah menunjukkan hal yang
sama. Fenomena ini diterangkan Durkheim (1992) dengan ungkapan
elementary religion (agama elementer)[7]. Ia mengistilahkannya dengan animisme, naturisme dan totemisme.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, memang diakui bahwa pola dan
karakter kehidupan religious masyarakat merupakan salah satu aspek yang
menjadi fenomena kehidupan manusia. Tidak ada satu pun komunitas
masyarakat yang terbebas dari gejala religious dan sekaligus pengaruh
religiusitas itu dalam kehidupan. Ia merupakan fitrah manusia yang akan
selalu ada dan mustahil dihilangkan[8]. Kalaupun ada upaya paksa pemberangusan naluri ini, pasti berujung kegagalan.
Mengapa demikian? Karena, naluri beragama sejatinya termasuk salah satu naluri diantara tiga jenis naluri yang dimiliki manusia[9].
Yaitu pertama, naluri mempertahankan diri (gharizat al-baqa`i); kedua
naluri melestarikan jenis spesies manusia (gharizat al-nau`iy) dan
ketiga, naluri beragama (gharizat at-tadayyun.)
Penjelasan sekilas tentang manusia berikut fitrah kemanusiaannya di
atas, dapat menghantarkan kita untuk mendudukannya secara tepat terkait
pembahasan budaya dan syariat Islam.
Terlebih dahulu yang akan dibahas adalah mengapa terjadi
kesimpangsiuran dalam melihat fenomena manusia dan budayanya serta
hubungannya dengan syariat Islam. Jika kita menelusuri pendapat-pendapat
yang ada, kita bisa meringkas beberapa hal berikut sebagai alasan di
balik kekeliruan tersebut.
Pertama, kerancuan tersebut kemungkinan bersumber dari rumusan para ilmuwan sosial Barat khususnya menyangkut ilmu sosiologi[10].
Dalam banyak hal para pakar sosiologi telah membantu kita guna memahami
sejumlah fenomena kehidupan manusia. Akan tetapi sesungguhnya terdapat
kritik-kritik penting yang perlu diketengahkan di sini.
Sebagaimana ditegaskan Ismail (1993) bahwa sosiologi (di samping
psikologi dan ilmu pendidikan) tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu
eksakta (sains dan teknologi) secara umum[11].
Misalnya ilmu fisika, biologi, kimia, matematika dan sebagainya. Dua
alasan pokok disebutkan oleh Ismail guna mengokohkan pandangannya.
Kesatu, bahwa ketiga macam ilmu ini, yaitu sosiologi, psikologi dan ilmu
pendidikan bukanlah merupakan hasil pemikiran ilmiah, melainkan
pemikiran yang dihasilkan melalui pola pikir rasional.
Kedua, yang dihasilkan dari ketiga ilmu ini adalah ide-ide yang
bersifat dugaan/persangkaan, sehingga mengandung unsur kesalahan dan
bukan ide-ide yang bersifat pasti. Khusus mengenai sosiologi, menurutnya
sosiologi dibangun berdasarkan pandangannya terhadap individu dan
masyarakat. Dengan kata lain pandangannya bersifat individual.
Oleh karena itu, ilmu ini selalu menggolongkan pengamatannya
berdasarkan individu kemudian beralih kepada keluarga,
kelompok/perkumpulan organisasi dan terakhir kepada masyarakat, dengan
anggapan bahwa masyarakat terbentuk dari individu. Dari sini para
sosiolog lantas membuat asumsi bahwa masyarakat itu berbeda-beda.
Sehingga apa yang cocok untuk suatu masyarakat belum tentu cocok dengan
masyarakat yang lain.
Kedua terkait interpretasi hukum Islam itu sendiri (interpretasi
wahyu). Ini masih terkait erat dengan faktor pertama yaitu efek ilmu
sosiologi ala Barat. Hal ini, sebetulnya tidak lepas dari paradigma
penarikan pemahaman teks wahyu yang diadopsi oleh seseorang. Yang kami
maksud perbedaan interpretasi hukum disini, perlu diberikan catatan.
Bahwa terjadinya perbedaan penafsiran yang dijumpai pada para ulama yang
lurus dan terpercaya baik dari generasi salaf maupun kontemporer, – dan
ini adalah lumrah dan alamiah – konteksnya berbeda, dengan perbedaan
interpretasi yang dimaksud dalam tulisan ini. Penjelasannya adalah, jika
diantara para ulama itu, mereka saat tertentu memiliki pendapat sama,
lalu di kesempatan lain ada sejumlah pendapat mereka yang berbeda, maka
hal itu disebabkan faktor realitas teks wahyu itu sendiri[12] dan faktor perbedaan intelektualitas yang dipengaruhi oleh ilmu, lingkungan serta pemahaman atas sirah Nabi[13].
Sedangkan perbedaan interpretasi yang dimaksud di sini adalah
perbedaan yang tidak semata-mata dilatari oleh hal-hal sebagaimana yang
telah disebutkan mengenai realitas perbedaan diantara para ulama yang
lurus dan terpercaya tadi. Perbedaan dimaksud dalam tulisan di sini,
salah satunya dipengaruhi oleh gagasan-gagasan tentang sosiologiseperti
telah diuraikan di atas. Sebagai contoh kemunculan ide fiqh ala Eropa,
fiqh ala Amerika Utara, fiqh ala Indonesia dan sebagainya yang
masing-masing darinya berbeda satu sama lain.
Bukan mustahil, dengan bangunan argumentasi yang sama, akan muncul
Islam ala Jawa, ala Sumatera dan seterusnya. Tidak lain yang dimaksud
dengan ini semua adalah, bahwa mereka meyakini keabsahan syariat Islam
di satu sisi, namun sisi yang lain mereka memproklamirkan keunikan
masyarakat yang itu artinya kebolehan perbedaan hukum syariat Islam
antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Bukankah secara implisit pandangan serupa ini sama saja telah
meragukan kesempurnaan syariat Islam. Padahal Islam, justru diturunkan
sebagai petunjuk yang pasti bisa diberlakukan terhadap semua manusia di
manapun berada hingga hari kiamat. Diakui atau tidak, pandangan semacam
ini sesungguhnya sudah dipengaruhi oleh konsep-konsep sosiologi yang
dikembangkan para ilmuwan Barat.
Ketiga kerancuan dalam mendefinisikan dan memilah antara budaya dengan peradaban dan madaniyah[14].
Dalam memotret fenomena kehidupan manusia yang beragam, mendorong
manusia khususnya para ilmuwan untuk memetakan pola dan membuat
pengelompokan berdasarkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan
tersebut. Sayangnya, dijumpai sejumlah rumusan yang ternyata debatable.
Misalnya, rumusan bahwa budaya adalah hasil karya, cipta dan rasa
manusia termasuk agama. Jadi, agama adalah produk budaya. Ilmuwan lain
menjelaskan bahwa agama (khususnya Islam) adalah sumber budaya, bukan
produk budaya, akan tetapi bagaimana menjelaskan batasan yang tegas
antara budaya dengan agama?
Karena ini terkait dengan fakta kehidupan manusia, maka semestinya
dikembalikan kepada realitas manusia dan kehidupannya. Pengamatan yang
objektif, menunjukkan bahwa manusia dari sisi kemanusiaannya hakikatnya
sama. Tidak ada perbedaan manusia satu dengan manusia yang lain, baik di
Timur maupun di Barat; masa dulu, sekarang maupun masa yang akan
datang. Mereka sama dalam hal potensi hidup (thaqah al-hayawiyah), yaitu
hajatul udhwiyah (kebutuhan fisik) seperti makan, minum, tidur, buang
hajat dan lain-lain serta gharaiz (naluri atau instink) yaitu naluri
mempertahankan diri, naluri melestarikan spesies manusia, dan naluri
beragama[15].
Fakta berikutnya, bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya
berdasarkan akal pikirannya-lah, ia menentukan sikap baik berupa
perkataan maupun tindakan. Di sisi yang lain, hasil-hasil karya dan
cipta manusia, dapat digolongkan menjadi dua. Ada yang bersifat dan
berlaku universal seperti mobil, computer dan secara umum sains dan
teknologi (biasa disebut value free). Yang kedua bersifat dan berlaku
secara terbatas dan tertentu saja (biasa disebut value bond). Ini
dipengaruhi oleh dan tergantung pada pemikiran mendasar yang
melandasinya.
Contohnya, paham pergaulan laki-perempuan yang bebas atau free sex
ala Barat yang terlahir dari akidah sekularisme, tentu bertentangan
dengan pandangan Islam bahwa pergaulan laki-perempuan harus diikat
dengan aturan-aturan tertentu. Pandangan Islam ini lahir dari akidah
Islamiyah.
Jika batasan value-free dan value-bond ini tidak atau belum
ditegakkan, sulit untuk mendudukkan suatu perkara secara hakiki dan
sesuai syariat Islam. Yang ada adalah terombang-ambing diliputi keraguan
dan ketidakpastian bersikap. Kerancuan-kerancuan masalah ini, bisa
mencapai level ekstrim.
Misalnya, orang Islam tidak boleh memakai produk teknologi Barat,
semata-mata karena dihasilkan oleh orang-orang kafir. Contoh lain, makan
kurma itu suatu keharusan, karena sesuai contoh Nabi dan seterusnya.
Kelompok value-bond ini, diterangkan Abdullah (1990), dengan istilah
al-hadharah, ats-tsaqafah dan al-madaniyah.
Al-hadharah atau peradaban adalah sekumpulan pemahaman mengenai
kehidupan (majmu` al-mafahim `an al-hayah.) Adapun ats-tsaqafah masih
terkait sangat erat dengan hadharah, didefinisikan sebagai al-ma`arifu al-latiy tu`tsiru fi al-aqli wa hukmihi `ala al-asy ya wa al-af`al (pengetahuan-pengetahuan
yang berpengaruh terhadap akal pemikiran dan hukum (yang dihasilkannya)
berkenaan dengan benda-benda maupun perbuatan-perbuatan[16].
Kedua hal ini, secara pasti bersifat tertentu dan khas bagi
masing-masing masyarakat. Sebab, keduanya terlahir dari pemikiran
mendasar tertentu yaitu akidah. Hadharah dan tsaqafah Islam yang
dihasilkan dari akidah Islamiyah jelas berbeda dengan hadharah dan
tsaqafah selain Islam yang berdasarkan akidah Kapitalisme-Sekularisme
ataupun yang berlandaskan Sosialisme-Komunisme.
Contoh hadharah Islamiyah adalah konsep pergaulan laki-perempuan yang
diikat dengan aturan-aturan tertentu mulai dari busana, berhias,
berinteraksi dan seterusnya. Lain halnya, dengan hadharah Barat.
Menurutnya, interaksi laki-perempuan, tidak ada batasan bahkan bebas
sebeas-bebasnya karena menganut prinsip free-sex.
Berikutnya yang value-free atau dalam istilah An-Nabhany (2001) disebut madaniyah yaitu al-asykalu al-maddiyatu lil-asy ya`i al-mahsusati al-latiy tusta`malu fi al-hayati[17]
atau bentuk-bentuk fisik benda-benda yang dapat diindra yang digunakan
dalam urusan kehidupan. Sedangkan contoh madaniyah adalah pesawat,
handphone dan sebagainya dan secara umum hasil-hasil sains dan teknologi
berupa sarana dan fasilitas kehidupan dalam rangka mempermudah urusan
kehidupan manusia. Dalam perkara ini, karena ia bersifat universal dan
berlaku sesuai hukum alam atau sunnatullah, maka umat Islam boleh
mengambil dari mana saja, termasuk dari hasil orang-orang non-Muslim.
BUDAYA DAN SYARIAT ISLAM
Di atas sudah diterangkan sebelumnya tentang kebudayaan dan beberapa
aspeknya. Hal penting berikutnya adalah menjelaskan pengertian dari
Islam, syariat Islam. Islam sebagaimana dinyatakan An-Nabhany (2001)[18] adalah ad-dien
al-ladziy anzalahu allahu `ala sayyidina Muhammadin saw li tandzimi
alaqati al-insani bi khaliqihi wa bi nafsihi wa bi ghairihy min baniy
al-insan.
Sedangkan syariat Islam adalah khithaabu asy-syaari`al-muta`alliqu bi af`afali al-`ibad.
(seruan sang pembuat hukum (Asy-syari`) yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan seorang hamba). Maka, sesungguhnya pengaturan yang
diberikan kepadanya berupa pedoman oleh Allah swt adalah dalam rangka
mengatur manusia sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan selaras dengan
fitrah penciptaannya.
Walhasil, keragaman -dalam selera, kecendrungan dan perkara-perkara
kebiasaan lainnya yang dibolehkan (mubah) – merupakan keniscayaan,
sedangkan ketundukan manusia terhadap seluruh aturan Allah (hukum Islam)
secara menyeluruh juga adalah sesuai fitrah penciptaannya. Maka budaya
orang Islam di Indonesia bisa jadi berbeda dengan budaya Muslim di
tempat lain, tetapi tetap sama-sama terikat dengan hukum Islam dan
sejalan dengan koridor syariat Islam.
Jika kita ingin menyinggung istilah Suparlan seperti diterangkan
sebelumnya, maka batasan tegas itu hanya ditemukan pada Islam yang
memenuhi syarat serta criteria yaitu bersifat hakiki, mutlak dan layak
jadi patokan kebenaran, yakni rangkaian wahyu yang diturunkan Allah swt.
Sedangkan di luar Islam, pertanyaan tentang batasan apa yang bisa jadi
patokan mengenai hal-hal absolute (world view) untuk
membedakannya dengan hal-hal bersfiat ethos tidak mampu dipenuhi, karena
sejatinya semua yang jadi pedoman kehidupan mereka asal dan sumbernya
adalah manusia belaka.
Berdasarkan pemaparan di atas, sesungguhnya menurut perspektif Islam,
ada batasan yang jelas dan tegas tentang hal-hal terkait kehidupan.
Secara alamiah, yang bersifat dan berlaku universal maka Islam
membolehkannya, bahkan mendorong untuk meraih manfaat semaksimal mungkin
tanpa memandang lagi sumber dari sains dan teknologi tersebut.
Hal ini sesuai pesan Nabi saw antum a`lamu bi umuri dunyakum.
Sebaliknya, jika terkait perkara yang menyangkut bagaimana menjalani
kehidupan, maka diwajubkan untuk hanya berpedoman kepada dalil-dalil
yang bersumberkan al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa agama Islam adalah sumber
budaya bagi umat Muslim di manapun. Namun demikian terkait fitrah
kemanusiaan, bahwa manusia mempunyai selera beragam soal makanan, warna
kesukaan, bentuk arsitektur bangunan, dan seterusnya, selama kesemuanya
itu terikat dengan atau tidak menyalahi kaidah-kaidah hukum Islam, maka
tidak menjadi masalah.
Misalnya, Islam mengatur soal berpakaian. Hukum wahyu telah turun
menerangkan dengan prinsip-prinsip hukumnya adalah: wajib menutup aurat;
wajib tidak transparan sehingga memperlihatkan warna kulit si pemakai;
wajib tidak ketat sehingga pakaian itu mempertontonkan bentuk lekuk
tubuh si pemakai; jika itu adalah jilbab, maka ia berupa baju luar yang
berbentuk terusan (bukan potongan) dan longgar yang dipakai di atas baju
rumahan. Dengan pedoman ini semua, maka selama seseorang terikat dengan
aturan Islam tersebut, urusan selebihnya diserahkan kepada manusia.
Apa; apakah dihiasi ornamen tradisional atau kontemporer dan seterusnya.
Jadi, jilbab dan kerudung tersebut adalah bagian dari hukum Islam.
Adapun praktiknya, sepanjang terikat dengan kaidah hukum Islam, boleh
untuk mengenakan busana ala nusantara, Cina, Timur Tengah, Melayu atau
yang lain. Bahwa di setiap tempat mempunyai ciri khas masing-masing, hal
ini pun tidak akan menjadi persoalan dalam kacamata Islam, dengan
catatan bahwa kesemuanya ini diselaraskan dengan prinsip-prinsip hukum
Islam.
Dengan paradigma yang sama kita bisa mendudukkan secara tepat dan
sesuai syariat, masalah-masalah antara budaya dan hukum Islam. Wallahu
a`lam.
Profil Singkat:
Suchail Suyuti, lahir di Pangkep Sulsel, kini tinggal di Depok Jabar Alumni S1 IPB, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Timur Tengah Islam (PSTTI)-UI
Catatan:
[1] Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Bandung. Mizan, cetakan 3, hal 31
[2] Jilbab adalah baju luar yang longgar dan berupa terusan, dipakai di atas baju rumah seperti daster. Jilbab dan kerudung dikenakan jika ke luar rumah. Kerudung adalah kain penutup kepala yang diulurkan hingga ke bagian dada dan menutupinya. Lihat Syamsuddin Ramadhan al-Nawi. 2007. Hukum Islam Seputar Busana dan Penampilan Wanita. Yogyakarta: Ar Raudhoh Pustaka. Lihat juga Taqiyuddin an-Nabhany. 1990. An-Nidham al-Ijtimaiy fi al-Islam. Beirut.: Darul Ummah Cet.3
[3] Parsudi Suparlan. 2003. Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta. Yayasan Ilmu Kepolisian: hal 2
di sarikan dari : eramuslim.com
Komentar
Posting Komentar