Ragam Genetika Manusia Indonesia
ASLINYA dari mana? Begitu biasanya orang-orang memulai percakapan.
Pertanyaan ini kadang sulit untuk dijawab. Itu baik hanya untuk sekadar
basa-basi maupun benar-benar ingin tahu.
“Saya sendiri selalu mengaku sebagai orang Pare karena lahir di
sana,” kata Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman, mengawali pemaparannya dalam acara Koentjaraningrat
Memorial Lectures XIII-2017 di Auditorium Museum Nasional, Jakarta.
Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi ratusan populasi
etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah lebih dari 500
populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700 bahasa yang
berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan: siapa
sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak kapan
mereka mendiami kawasan ini?
Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara berperan penting
sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik. Dua model telah
digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian membentuk populasi
penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan arkeologi, Asia
Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira 50.000-70.000 tahun lalu.
Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia
memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara berasal
dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu.
Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata Herawati, secara
genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi. Gelombang
awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan
menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau
Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.
Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern (Homo sapiens)
dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun
kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir
dan Israel. Namun, jejak mereka hilang.
Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian
selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk
kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati.
Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian
migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai
Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika
yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun lalu. Jauh lebih
muda dari penghuni Kepulauan Nusantara.
“Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari
Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil,
Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan,
melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati.
Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah
kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke
selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung
Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera
dan Kalimantan.
Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekira
4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke
Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah
yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai
dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika.
“Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang
adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa
Austronesia,” jelasnya.
Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara.
Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang
menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi seberapa
jauh pembauran yang ada?
Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan
rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara
dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda
DNA.
Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan
melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara
berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda
kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya
bukti pembauran beberapa leluhur genetik.
“Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang
ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua
orang tua,” jelas Herawati.
Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia
bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang
penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data
genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang
bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di
Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik
dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau
Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia
asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua
dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur
Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia
timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua.
Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa
Austronesia.
“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang
dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan
gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas
Herawati.
Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik, seperti kulit
misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek moyang hingga
ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang
berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering,
pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar
ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA.
“Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian
kondisi itu bisa menciptakan warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut,
penelitian mengenai itu hingga kini masih berlanjut.
Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita mengetahui
migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang
Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai
manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara.
“Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya
berasal dari Afrika,” tegas Herawati.
Komentar
Posting Komentar