Konflik Kashmir Tiada Akhir
Kashmir jadi rebutan India dan Pakistan sejak 1947. Hingga kini sengketanya masih bergulir.
SUASANA
Kashmir yang sempat tenang berubah mencekam. Jaringan-jaringan
telekomunikasi hingga internet diputus otoritas India. Puluhan ribu
serdadu ditempatkan. Jam malam diberlakukan di wilayah dengan otonomi
khusus tersebut. Para turis digiring keluar Kashmir. Sekira 400 politisi
hingga aktivis pro-separatis ditangkapi.
Selaku
tetangga yang juga berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan prihatin
mengatasnamakan solidaritas sesama muslim. Perdana Menteri (PM) Imran
Khan menyerukan bahwa jika India tak menghentikan kebijakan baru mereka
terhadap wilayah otonomi Jammu dan Kashmir, bukan tidak mungkin pecah
perang lagi antara India dan Pakistan sebagaimana yang pernah terjadi
pada 1947, 1965, 1971 dan 1999.
“Pemerintahan nasionalis-Hindu India (PM Narendra Modi dan partai penguasa BJP/Bharatiya Janata Party, red)
mempromosikan ideologi rasis. Ini akan berujung pada sebuah perang yang
takkan dimenangkan pihak manapun dan implikasinya akan mengglobal,”
kata Khan, dikutip National Public Radio, Rabu (7/8/2019).
Khan
juga khawatir India bisa melancarkan pembersihan etnis di Kashmir untuk
kemudian membanjiri Kashmir dengan etnis Hindu. Oleh karenanya, Khan
akan membawa isu ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dan Sidang Umum PBB.
Pangkal
dari kekacauan ini adalah disahkannya Perintah Presidensial Parlemen
India dalam rangka reorganisasi Undang-Undang Jammu dan Kashmir pada
Senin (5/8/2019) lalu. Regulasi itu mencabut pasal 370 dalam Konstitusi
India yang menjadi dasar otonomi khusus wilayah Jammu dan Kashmir. Pasal
ini mengizinkan Kashmir di bawah pemerintahan federal India berhak
punya bendera negara, pemerintahan, dan konstitusi sendiri namun tetap
bagian dari India.
Dengan
Perintah Presidensial itu, status khusus wilayah Jammu dan Kashmir
dilucuti dan sistem hukum serta pemerintahannya bakal sama dengan
sejumlah negara bagian di India. Wilayah itu juga akan dibagi dua
menjadi Negara Bagian Jammu dan Kashmir serta Negara Bagian Ladakh.
Kebebasan
berkonstitusi dan perlindungan warga lokal bakal hilang. Pasalnya,
warga luar Kashmir bakal diizinkan berdiam dan memiliki tanah di wilayah
itu, hal yang sebelumnya dilarang.
Sengketa Tiada Habis
Isu
Kashmir merupakan buah dari konflik berkepanjangan antara India dan
Pakistan. Wilayah ini jadi rebutan sejak pemerintahan British India,
pemerintahan kolonial sebelum merdekanya dua negara, angkat kaki pada
1947. Musababnya, Pakistan mendukung Pemberontakan Poonch, medio
Juni-Oktober 1947, yang mengacaukan Negara Bagian Jammu dan Kashmir
semasa dipimpin Maharaja Hari Singh.
Kekacauan
kian bertambah setelah dihelatnya Konferensi Muslim yang pro-Pakistan
dan Konferensi Nasionalis yang pro-India. Maharaja sendiri lebih ingin
berpijak pada netralitas terkait friksi antaretnis.
Konfik
berbalut kekerasan pun terjadi antara pemberontak Barisan Sardar dan
demonstran muslim dengan pasukan Hindu di bawah Pemerintahan Provisional
Azad bentukan Konferensi Nasionalis. Mengutip analis politik-strategi
Asia Selatan Christopher Snedden dalam Kashmir: The Unwritten Story,
pemberontakan itu berakhir dengan lengsernya kekuasaan sang maharaja.
Pemimpin pemberontakan dari milisi Sardar yang merupakan eks-perwira
British India, Muhammad Ibrahim Khan, kabur ke Lahore. Ia dilindungi PM
Pakistan Liaquat Ali Khan yang menolak permintaan Pemerintahan
Provisional Azad untuk menangkap dan mengirim balik Ibrahim.
“Pada
2 Oktober, Asosiasi Kashmir di Lahore mengirim telegram ke (presiden)
Muhammad Ali Jinnah, memintanya turun tangan karena etnis Muslim di
Poonch dibantai dan Muslim di area lainnya dipersekusi paramiliter
Dogra,” sebut Snedden.
Perang
India dan Pakistan terkait Kashmir akhirnya terjadi untuk kali pertama
pada 22 Oktober 1947-5 Januari 1949. Menilik V.P. Malik dalam Kargil from Surprise to Victory, Perang Indo-Pakistani I itu membawa korban 1.104 jiwa di pihak India dan 6.000 di pihak Pakistan.
Gencatan
senjata yang dimediasi PBB mengubah batas geografis Kashmir lewat
perjanjian Line of Control (LoC). Wilayah Azad Kashmir dan
Gilgit-Baltistan diklaim Pakistan, sementara Lembah Kashmir, Jammu, dan
Ladakh masuk ke India.
Di
wilayah Kashmir naungan India, diberlakukan Pasal 370 dan Pasal 35A
mulai 1954. Monarki Jammu dan Kashmir dilikuidasi kemudian lewat kedua
regulasi itu diberian status khusus dan otonomi.
Perang
Indo-Pakistani pecah lagi pada Agustus-September 1965. Pemantiknya,
upaya Pakistan mengipasi populasi Muslim untuk memberontak. Victoria
Schofield dalam Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War menyebutkan,
Angkatan Darat (AD) Pakistan merekrut dan melatih milisi mujahidin
untuk kemudian menginfiltrasi wilayah Jammu dan Kashmir lewat Operasi
Gibraltar.
Belakangan,
militer Pakistan benar-benar turun gunung. Kala itu India dan Pakistan
juga sedang terjadi semacam perlombaan senjata. Selain di udara dan
laut, di darat terjadi pertempuran tank terbesar pasca-Perang Dunia II.
India punya 720 tank berbagai jenis, sementara Pakistan 756 tank, di
mana sama-sama menggunakan “produk barat”.
Indonesia ikut terlibat dengan mendukung Pakistan. Menyitat memoar Panglima AU Pakistan Marsekal Ashgar Khan, The First Round,
Presiden Soekarno menyokong dengan bantuan sejumlah jet tempur MiG-19,
dua kapal patrol, dan satu kapal selam. Konflik kedua India-Pakistan
soal Kashmir itu lantas “dibubarkan” PBB lewat desakan gencatan senjata
hingga Deklarasi Tashkent, 10 Januari 1966.
Kendati
sejak 1965 India dan Pakistan tak pernah lagi berperang terbuka terkait
sengketa Kashmir, Perang Indo-Pakistan III pecah pada 1971. Namun, ia
merupakan konflik menjelang lahirnya negara Bangladesh di Pakistan
Timur.
Dari
waktu ke waktu, konflik bersenjata kerap terjadi mengingat munculnya
sejumlah organisasi hingga milisi yang cenderung separatis pada 1970-an,
seperti Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF), Jemaat e-Islami
Jammu and Kashmir (JIJK), atau Muslim United Front (MUF). Aksi teror
antara kelompok-kelompok separatis itu dan pemerintah India pun acap
bergulir seiring kurun.
Sebelum
ketegangan akibat Perintah Presidensial belum lama ini, India dan
Pakistan sempat bergelut dalam konfrontasi militer di wilayah
perbatasan. Pemicunya aksi bom mobil milisi Jaish-e-Mohammad pada 14
Februari 2019 yang menewaskan 40 tentara perbatasan India.
Duabelas
hari berselang, India membalas dengan serangan udara ke Balakot di
wilayah Pakistan yang diduga jadi sarang milisi separatis Kashmir pelaku
bom mobil. Keesokan harinya AU Pakistan bikin perhitungan, yang
mengakibatkan terjadinya pertempuran udara. Pilot MiG-21 “Bison” India
ditembak jatuh dan pilotnya, Abhinandan Varthaman, ditahan. Ia baru
dibebaskan 1 Maret 2019.
Komentar
Posting Komentar