Kultur merantau Minangkabau

 


Di setiap kabupaten, banyak sekali sawah-sawah yang subur. Di kawasan pegunungan, seperti Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Sijunjung, dan Solok, hampir setiap keluarga memiliki sebidang sawah. Namun sawah-sawah ini merupakan harta pusaka yang tak dapat diperjualbelikan. Meski keluarga Minangkabau memiliki sepetak sawah di kampung, tetapi sawah-sawah itu hanya diwariskan kepada kaum perempuan.

Bukan hanya sawah, kaum laki-laki-pun juga tak punya hak di rumah gadang. Jika sudah akil baligh, anak-anak muda tak boleh lagi tidur di kamar. Mereka biasanya tidur di surau, ataupun di ruang tengah rumah gadang. Setelah menikah-pun ia harus keluar dari rumah induknya dan menetap di rumah istri. Di rumah istri ia tentu tak bisa pegang kendali. Malah kadang-kadang anak-anak-pun diurus oleh keluarga istri. Pendidikan dan pernikahan sang anak, tak bisa ia saja yang memutuskan. Harus diikutsertakan pula keluarga istri walau hanya sekaki. Jadi bak kata pepatah : "Ia bagaikan abu di atas tunggul".

Bagi sebagian laki-laki Minangkabau, kondisi seperti ini tidaklah menguntungkan. Makanya banyak diantara mereka yang akhirnya pergi merantau.

Selain karena faktor adat matrilineal, banyak orang-orang Minang yang pergi merantau karena hendak berdagang.

Meski mereka tak beroleh hak waris sawah dan ladang, namun kaum laki-laki boleh mengelolanya. Mereka boleh menjual hasilnya, yang kemudian bisa digunakan untuk penghidupan. Bagi laki-laki yang punya sifat petualang dan hendak memupuk kekayaan, biasanya mereka langsung memasarkan hasil pertaniannya ke tempat-tempat yang jauh. Mereka meninggalkan kampung halaman menuju rantau, dan akan kembali setelah semua hasil pertanian/kerajinannya laku terjual.

Dulu para pedagang Minang menyusuri sungai-sungai untuk berdagang di Selat Malaka. Atau dari pantai Padang/Pariaman, mereka berlayar menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Aceh hingga Lampung.

Sekelompok pedagang yang berkumpul di kota-kota tepi laut kemudian memupuk kekayaan hingga bisa membeli kapal-kapal besar. Dengan kapal yang besar, maka akan semakin banyak barang yang bisa mereka jual, dan akan semakin banyak pula uang yang bisa mereka hasilkan. Para pedagang ini (dikenal dengan nakhoda) kemudian berlayar ke Semenanjung Malaya, Singapura, Jawa, Sulawesi, Mindanao, hingga ke seluruh Nusantara.

Mereka berani berdagang sejauh itu dan meninggalkan anak-istri di kampung halaman, karena keluarga mereka sudah terjamin dengan harta pusaka. Jadi harta pusaka bagi orang Minangkabau juga bisa semacam social safety net.

Karena sudah enak tinggal di rantau dan sudah terbiasa pula dengan cara hidup rantau, banyak orang Minangkabau yang enggan kembali ke kampung halaman. Mereka kemudian banyak yang memboyong anak-istrinya ke rantau, atau adapula yang menikah dengan wanita tempatan.

Hikayat Nakhoda Muda merupakan salah satu kisah menarik mengenai petualangan tiga generasi Minangkabau yang berdagang ke seluruh Nusantara.

Dalam Hikayat tersebut dikisahkan bahwa di abad ke-18 ada seorang pedagang hasil bumi yang bernama Nakhoda Mangkuto. Dia berlayar dari kampungnya di Bayang (selatan Padang) menuju Jawa, Kalimantan, hingga Karimata. Di Karimata ia kemudian diusir oleh para perompak dan lalu menetap di Kesultanan Banjar. Karena melihat peluang perdagangan lada, akhirnya ia pindah ke Lampung selatan. Setelah wafat, putranya Tayan yang kemudian bergelar Nakhoda Muda, meneruskan usaha ayahnya. Ia berdagang lada dengan Kesultanan Banten dan menjadi pemasok VOC. Dari hasil usaha tersebut, ia kemudian menjadi orang kaya dan mempunyai pengaruh cukup besar. Ia diangkat oleh sultan Banten sebagai demang Semangka, dan menjadi perwakilan Kesultanan Banten di Lampung selatan. Akhir cerita, Nakhoda Muda beserta anak-anaknya diserang oleh para pedagang VOC, dan berakhirlah kejayaan bisnis mereka selama tiga generasi.

Hikayat ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh William Marsden dengan judul Memoirs of a Malayan Family, yang diterbitkan di London pada tahun 1830.

Tak hanya berdagang, banyak pula diantaranya yang membuka kampung-kampung baru di rantau. Dalam catatan sejarah, para nakhoda yang berkumpul di Batubara dan Asahan berlayar ke Pulau Pinang dan meneroka pulau tersebut.

 Selain Penang, kawasaan penerokaan lainnya adalah di utara Malaka dan Negeri Sembilan. Bahkan di kedua kawasan itu hingga saat ini masih mengekalkan adat budaya Minangkabau.

Alasan berikutnya adalah karena pendidikan. Bagi orang-orang tua yang punya pandangan keluar (outward looking), biasanya tak mau lagi mengandalkan harta pusaka sebagai penyokong kehidupan. Makanya banyak diantara mereka yang kemudian menyuruh anak-kemenakan untuk sekolah tinggi-tinggi, dengan harapan akan beroleh pekerjaan yang layak — bukan bertani atau berdagang. Mereka berharap anak-anak mereka kelak akan menjadi dokter, ahli hukum, insinyur, atau profesi kerah putih lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, banyak anak-anak Minang yang setamatnya dari sekolah guru, sekolah dokter, sekolah hukum, dan macam-macam lainnya ditempatkan oleh pemerintah di luar daerah Sumatera Barat. Mereka yang ditempatkan di daerah-daerah tersebut kemudian menetap hingga beranak-pinak.

Catatan Kaki

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi