Mengapa Separatis sekarang lebih susah dilumpuhkan dariapada separatis di masa lalu ?

 Apakah KKB sengaja dipelihara oleh aparat setempat dan begitu juga GAM dan Fretilin padahal dahulu di zaman Sukarno TNI sanggup menumpas DI/TII, RMS, PRRI, dan Permesta?

Jadi saya bagi dua pertanyaannya:

  1. Apakah KKB sengaja dipelihara aparat setempat?
  2. Kenapa pemberontak/separatis di jaman Sukarno (DI/TII, RMS, PRRI-Permesta) bisa ditumpas sementara GAM, Fretilin, OPM tidak bisa ditumpas?

1. Apakah KKB sengaja dipelihara aparat setempat?

Ini tuduhan yang cukup populer dari jaman dulu, bahwa pemberontakan itu sengaja dibiarkan hidup supaya TNI punya medan pertempuran untuk mengasah kemampuan, atau untuk dana dari pemerintah selalu besar, atau untuk oknum-oknum aparat setempat bisa jualan senjata.

Kalau dipelihara untuk mengasah kemampuan TNI alasan ini kurang masuk akal. Pemberontakan atau separatisme itu ada karena sentimen yang ada di masyarakat, jadi TNI tidak punya power untuk menghilangkan mereka semua sama sekali. Banyak kasus di mana pemberontakan itu bisa dihilangkan atau diselesaikan dengan solusi politik, dan itu bukan bidangnya TNI. Timtim dikasih merdeka, GAM akhirnya selesai dengan berunding, dan OPM masih banyak menghantui Papua pedalaman, itu bukan TNI 'sengaja' membiarkan mereka hidup, tapi karena memang nasionalisme (atau separatisme, bergantung siapa yang melihat) Timor Leste, Aceh dan Papua itu sulit dipadamkan.

Tuduhan supaya dana pemerintah ke TNI/Polri tetap besar, ini bisa dipatahkan berdasarkan preseden di mana dalam beberapa situasi (termasuk di era Soeharto di mana Timtim dan Aceh masih ada separatis) ABRI mengalami pemotongan budget. Besarnya dana untuk TNI dan Polri banyak ditentukan dari pendapatan negara.

Kalau tuduhan dipelihara supaya oknum tentara bisa jualan senjata … ini kebalikannya: karena pemberontakan masih ada, oknum korup tentara atau polisi setempat menjual senjata gelap ke para pemberontak ini. Tapi oknum-oknum itu tidak berkuasa menghilangkan atau menjaga pemberontakan. Mereka hanya bisa mengail sebanyak-banyaknya dari air keruh. Mereka gak punya kemampuan menjaga air tetap keruh atau membuat airnya jadi jernih.

Jadi tidak, saya tidak percaya KKB itu ada karena 'dipelihara' aparat keamanan RI.

Sekarang ke pertanyaan yang lebih menarik:

2. Kenapa pemberontak/separatis di jaman Sukarno (DI/TII, RMS, PRRI-Permesta) bisa ditumpas sementara GAM, Fretilin, OPM tidak bisa ditumpas?

Untuk menjawab ini kita harus melihat setiap kasus:

Republik Maluku Selatan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (RMS)

Ini adalah pemberontakan/separatis yang dipicu oleh warga Maluku Kristen dan veteran KNIL yang tidak mau berada di bawah kekuasaan muslim Jawa (maksudnya Republik Indonesia). Mereka memberontak sejak 1950, tapi kalah dari TNI dan melancarkan perang gerilya.

Masalah demobilisasi KNIL ini mau gak mau menjadi tanggung jawab Belanda juga. Jadi warga Maluku Selatan yang pro Belanda diangkut ke Belanda untuk sementara dan ditempatkan di kamp-kamp. Ini membuat masalah sosial lain di Belanda, yang berujung pada beberapa kali serangan teroris di Belanda oleh RMS yang menyasar tidak hanya kedubes RI tapi juga target Belanda sendiri. Akhirnya pemerintah Belanda menumpas aksi-aksi teroris RMS di Belanda dan warga Maluku yang tadinya berstatus "sementara" dijadikan warga negara Belanda permanen. Ini tentunya membuat perjuangan RMS jadi 'mentah', apalagi warga Maluku ini ada di negara yang secara ekonomi lebih bagus daripada kampung halamannya.

Waktu kerusuhan berdarah antar agama di Maluku membara sekitar 99–2002, sentimen RMS (yang memang anti-Islam) juga meningkat. Jelmaan baru RMS di Maluku adalah FKM (Front Kedaulatan Maluku). Tapi sejak Perjanjian Malino II separatisme ini pun makin kehilangan relevansinya, sama juga dengan Laskar Jihad dan Jemaah Islamiyah dari kubu seberangnya. Alex Manuputty, pemimpin FKM, lari ke AS.

Pasca Reformasi, dengan adanya otonomi daerah diberlakukan di seluruh Indonesia, perjuangan RMS makin kehilangan relevansinya. Pernyataan dari presiden RMS di Belanda John Wattilete (generasi kedua orang Maluku di Belanda) memberi perkembangan positif bahwa kemerdekaan tidak lagi dikejar oleh warga Maluku Selatan.

Memang waktu kunjungan presiden SBY tahun 2007 ke Ambon sempat ada provokasi dari pendukung RMS dengan menari Cakalele di hadapan presiden dan membentangkan bendera RMS, tapi praktis sentimen separatisme Kristen Maluku tidak lagi populer.

Negara Islam Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (NII) / Darul Islam (DI) / Tentara Islam Indonesia (TII)

SM Kartosoewirjo membentuk laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam memerangi Belanda selama revolusi kemerdekaan 1945–49 di Jawa Barat. Dia menolak Persetujuan Renville yang mengharuskan militer Republiken hijrah ke Jawa Tengah (daerah Republik Indonesia) dan waktu Indonesia sudah berdaulat 1949 dia menolak membubarkan laskar-laskarnya, malah memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia dan mengangkat dirinya sebagai Imam NII. Gerakan ini tidak hanya menyebar di Jawa Barat, tapi juga Aceh (dipimpin mantan gubernur Daud Beureueh), Jawa Tengah (dipimpin Amir Fatah, khususnya didorong oleh konfrontasinya dengan faksi-faksi komunis di sana), Kalimantan Selatan (dipimpin Ibnu Hadjar), dan Sulawesi Selatan (dipimpin Kahar Muzakkar).

DI/TII cukup merepotkan karena menguasai wilayah yang besar di pedesaan, sampai akhirnya pemerintah memberlakukan keadaan darurat sejak 1957. Konflik bersenjata berlangsung selama 13 tahun sampai satu-satu pemimpinnya ditembak mati atau menyerah atau ditangkap, dengan korban belasan ribu di Jawa Barat saja. DI/TII juga mencoba membunuh presiden Sukarno dengan melempar granat waktu Beliau berkunjung ke sekolah Perguruan Cikini tahun 1957 (peristiwa ini melahirkan kesatuan elit Tjakrabirawa).

Kenapa DI/TII bisa takluk? Secara militer, karena peningkatan kualitas dari TNI (saya membaca ini di salah satu buku Ken Conboy, lupa yang mana). Banteng Raider Diponegoro pimpinan Ahmad Yani adalah salah satu yang berjasa menumpas DI/TII.

Tapi apakah gerakan Islamis ini bisa hilang sama sekali? Tidak.

DI/TII Aceh berevolusi jadi separatisme Aceh (Gerakan Aceh Merdeka). Lihat bagian GAM di bawah.

Sementara di daerah-daerah lain, para pendukung NII masih aktif dengan ideologi mereka, mengusung dan merekrut simpatisan dari kalangan mahasiswa. Di masa Orde Baru, asisten intelijen Soeharto, Ali Moertopo, mendekati dan membina mereka untuk menjadi pendukung Golkar. Tapi di tahun 79, terinspirasi dari Revolusi Iran, sebagian dari mereka membentuk Komando Jihad yang melakukan penyerangan ke pos polisi dan membajak pesawat Garuda (saya pernah bahas mendalam di sini Jawaban Rufus Panjaitan untuk Bagaimana kisah Operasi Woyla?). Mereka juga ditumpas sebagai teroris, untuk belakangan muncul lagi dalam aksi teroris lain.

Yang paling hangat di memori kita adalah setelah era al-Qaeda: pengeboman malam Natal 2000, bom Bali 2002, bom JW Marriott 2003, bom Kedubes Australia 2004, bom Bali 2 2005, bom JW Marriott-Ritz-Carlton 2009, bom Thamrin 2016, bom gereja Surabaya 2018, dll. Mereka ini dalangnya adalah organisasi-organisasi teroris seperti Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah. Belum lagi laskar-laskar yang beraksi di Poso dan Maluku selama kerusuhan komunal Islam vs Kristen 1999–2002. Mereka ini garis ideologinya bisa ditarik ke proklamasinya SM Kartosoewirjo.

Jadi bisa dibilang bahwa DI/TII tidak mati tapi menjelma menjadi bentuk lain.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (PRRI) / Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Silakan lihat link Wikipedia di atas untuk melihat proses terjadinya pemberontakan ini. Kalau bisa dirangkum, perang saudara Indonesia yang terjadi di tahun 1950an ini adalah kulminasi dari tarik menarik kekuasaan antara ibukota Jakarta dengan daerah, dan juga antara KSAD Mayjen AH Nasution dengan panglima daerah. Dekade 1950an adalah masanya konsolidasi. Republik Indonesia Serikat hasil KMB 1949 memang sudah bubar, tapi pada akhirnya aspirasi daerah bentrok juga dengan keinginan pemerintah pusat di Jakarta. Sumatra bergolak dan para pemimpin militer dan sipil membentuk PRRI, sementara di Sulawesi Utara mereka membentuk Permesta.

Satu hal juga yang menarik, PRRI/Permesta berisi para perwira dan politikus yang gerah juga dengan makin besarnya pengaruh PKI di pemerintah pusat. AS yang memiliki kepentingan yang sama, mendukung PRRI/Permesta.

Pemerintah Jakarta akhirnya menjawab dengan operasi militer. Divisi-divisi dari Jawa seperti Siliwangi dan Diponegoro dikirim ke Sumatra dan Sulawesi untuk menumpas para pemberontak ini. Menurut catatan, Sumatra Barat yang paling mengalami pertempuran berdarah, di mana korban mencapai puluhan ribu dan banyak penduduk sipil rakyat Minang yang menjadi target eksekusi tentara-tentara Jawa ini. Pemerintahan di Sumatra Barat langsung diganti dari orang-orang PRRI menjadi orang-orang pilihan Jakarta yang ternyata banyak orang PKI. Konflik ini juga memicu orang Minang untuk jadi perantau, karena buruknya kondisi di Sumatra akibat perang ini.

Dukungan AS yang tadinya bersifat rahasia/covert, langsung dihentikan begitu pilot CIA Allen Pope yang memberi payung udara (AURev, AU-nya PRRI/Permesta) dalam pertempuran di Maluku ditembak jatuh oleh pilot AURI Ignatius Dewanto. Sukarno menggunakan Allen Pope sebagai sandera untuk konsesi ke AS (diundang JFK untuk hahahihi di AS dan dikasih satu skuadron Hercules. Tapi tetep aja Sukarno makin 'miring ke kiri').

Allen Pope diadili

Secara pertempuran, TNI lebih unggul daripada PRRI/Permesta, walaupun mereka dibekali persenjataan yang lebih modern (dari AS) dan bantuan pesawat beserta pilotnya (menjadi AURev). Konflik ini berakhir tahun 1961 waktu para pemimpinnya akhirnya menyerah dan PRRI/Permesta dibubarkan. Dua partai yaitu Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan karena dianggap mendukung PRRI/Permesta. Rezim Sukarno memenjarakan sahabat-sahabatnya sendiri dari era perjuangan dulu, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Buya Hamka (dari Masyumi), Sutan Syahrir, Soemitro Djojohadikusumo ayah Prabowo Subianto (dari PSI) dll.

Apa yang menjadi aspirasi PRRI dan Permesta sebenarnya makin terakomodir belakangan. Indonesia pindah ke kanan (anti komunis) sejak 1967 dan akhirnya setelah Reformasi Otonomi Daerah diberlakukan, sehingga aspirasi daerah terakomodir. Selain itu, TNI-AD pada khususnya dan TNI pada umumnya menjadi makin solid sejak Soeharto berkuasa, sehingga tidak ada lagi pertentangan antara pangdam dengan KSAD seperti yang terjadi di tahun 1950an.

***

Di jaman Sukarno ada lagi pemberontakan APRA dan Andi Azis, tapi ini dampaknya tidak terlalu besar karena dilakukan oleh para tentara mantan KNIL yang tidak puas.

Partai Komunis Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (PKI)

Kalau PKI, saya pernah bahas pemberontakannya pada tahun 1948 di sini:

Rufus Panjaitan
 · 2thn
Mengapa PKI tidak dibubarkan pasca-Peristiwa Madiun?
Pertanyaan: Mengapa PKI tidak dibubarkan pasca-Peristiwa Madiun? Kebanyakan orang Indonesia melihat Madiun Affair (nama resminya: Pemberontakan PKI Madiun 1948) dari kacamata satu versi saja, bahwa ini adalah pemberontakan PKI yang menikam Republik Indonesia dari belakang. Kenyataannya lebih kompleks dari itu. Versi Indonesia yang simplified ada di artikel Wikipedia bahasa Indonesia ini: Pemberontakan PKI 1948 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Tapi artikel bahasa Inggris-nya menceritakan dengan lebih lengkap: Madiun Affair - Wikipedia. Berawal dari kejatuhan kabinet Amir Sjarifuddin (dari Partai Sosialis beraliran kiri, menjabat di kabinet sebagai PM dan Menhan) dan perpecahan Partai Sosialis (Sutan Syahrir berpisah dan membentuk PSI) tahun 1948. Kabinet Amir lalu digantikan dengan kabinet Hatta (menjabat PM dan Menhan) yang juga didukung oleh PSI tapi tidak melibatkan Amir dkk. Kabinet Hatta menjalankan dua kebijakan utamanya: mengimplementasi hasil perundingan Renville dan melakukan re-ra (restrukturisasi-rasionalisasi) TNI. Amir Sjarifuddin Amir Sjarifuddin lalu membentuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) dengan menghimpun faksi-faksi komunis/kiri seperti Partai Sosialis, PKI (favorite national villains), PBI, Pesindo, dan SOBSI (organisasi buruh komunis). Dia juga menghimpun laskar-laskar/milisi-milisi bentukannya semasa dia menjabat Menhan, disebut dinamakan TNI Masjarakat. (Amir membentuk milisi-milisi ini untuk mempersiapkan perang melawan Belanda). Hatta sebagai Menhan dan pimpinan TNI seperti AH Nasution dan TB Simatupang (keduanya mantan KNIL), yang pada dasarnya memang anti komunis, melakukan re-ra TNI dengan mempertahankan divisi-divisi terlatih yang pro pemerintah (seperti Siliwangi) dan membubarkan laskar-laskar yang tidak terlatih, apalagi yang berada di bawah pengaruh Sajap Kiri/FDR. Alasan utama re-ra adalah karena keuangan negara yang cekak tidak sanggup membiayai dan mempersenjatai personel TNI yang jumlahnya ratusan ribu itu. Alasan lain tentunya adalah politik, bahwa TNI haruslah yang loyal dan bisa dikendalikan pemerintah. Pertentangan FDR vs kabinet Hatta ini semakin bereskalasi waktu Suripno (perwakilan Indonesia untuk organisasi pemuda komunis internasional di Praha) dan sekretarisnya, Musso, seorang anggota PKI, pulang ke Indonesia. Musso adalah kawan lama Soekarno, jadi waktu mereka pulang mereka sempat kangen-kangenan di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Tapi begitu Musso bergabung dengan FDR, dia merestrukturisasi politbiro FDR yang diketuai oleh dia sendiri. FDR juga menggariskan kebijakan baru yang lebih agresif dan mempropagandakannya ke Jawa Tengah dan Timur (daerah RI). Pemerintah juga meningkatkan kampanye anti komunisnya. Musso Selain TNI Masjarakat, Divisi IV Senopati pimpinan Kol Sutarto berbasis di Solo tidak mau tunduk pada re-ra yang menggabungkan Divisi IV ke Divisi I sebagai komponen cadangan. Sutarto memberontak dan mengorganisasi Divisi IV sebagai komponen tempur dengan nama Divisi Panembahan Senopati. Kesatuan ini juga bergabung dengan FDR. Konfrontasi semakin meningkat dengan pembunuhan Kol. Sutarto, lalu culik-menculik dan bunuh membunuh antara kubu pemerintah dan kubu komunis. Akhirnya memuncak di Madiun di mana pada tanggal 18 September 1948 FDR mengambil alih pemerintahan di Madiun. 19 September Soekarno dengan marah mendeklarasikan bahwa apa yang terjadi di Madiun adalah kudeta dan Musso-Amir sedang membuat republik soviet. Musso membalas dengan pidatonya yang mengatai Soekarno sebagai "budak imperialis Amerika", "pengkhianat" dan "agen romusha". Mendengar deklarasi ini, beberapa elemen FDR sempat membuat pernyataan yang menjelaskan bahwa tindakan ini hanya untuk mengkoreksi kebijakan pemerintah Hatta, bahwa benderanya masih merah-putih dan lagu kebangsaannya masih "Indonesia Raya". Tapi pernyataan-pernyataan ini tidak bisa mengurangi permusuhan FDR dengan pemerintah RI. Akhirnya TNI melakukan operasi militer untuk menumpas FDR, dengan divisi Siliwangi menjadi ujung tombak dan dipimpin oleh kolonel Gatot Soebroto dan AH Nasution. (Sebagai informasi, Divisi Siliwangi ada di Jawa Tengah karena hijrah dari Jawa Barat yang adalah wilayah Belanda, sebagai bagian dari hasil perjanjian Renville. Anggota Siliwangi yang membawa keluarga mereka ke kota-kota Jawa Tengah juga menyebabkan gesekan sosial dengan laskar-laskar pribumi Jawa Tengah). Musso akhirnya dieksekusi mati, mayatnya dipamerkan dan dibakar. Amir Sjarifuddin juga dieksekusi mati. Begitu juga banyak pejabat FDR. Menurut pernyataan dari TNI, 35 ribu, kebanyakan tentara, ditahan. Amir Sjarifuddin ditangkap Tahanan FDR ditangkap TNI Kembali ke pertanyaan, kenapa PKI tidak dibubarkan setelah peristiwa ini? Ada beberapa hal menurut saya: 1. Pemerintah RI dan TNI saat itu langsung bersiap-siap menghadapi Belanda yang menyerang di bulan Desember (Operation Kraai - Wikipedia, Indonesia menyebutnya Agresi Militer Belanda II). Jadi bahkan mantan laskar dan tentara yang dikurung karena memberontak di Madiun dilepaskan untuk ikut bertempur. 2. Sebagaimana yang saya ceritakan di atas, pemerintah memandang pelaku pemberontakan Madiun adalah FDR. Di dalam FDR bukan hanya PKI tapi juga ada organisasi-organisasi kiri lainnya. Sejak jaman Orde Baru-lah Peristiwa Madiun disimplifikasi menjadi "pemberontakan PKI", khususnya karena memang beberapa organisasi ini jadi bergabung ke PKI. 3. Kalau melihat proses sejarah yang terjadi setelahnya, yaitu perang gerilya, perundingan-perundingan, penyerahan kekuasaan Desember 1949 dan konsolidasi dari RIS ke RI, tidak ada tempat untuk pemerintah RI melarang PKI. Apalagi yang terlibat FDR bukan hanya PKI tapi juga banyak organisasi yang terlibat di FDR seperti SOBSI, Pesindo, dll. 4. Banyak dari organisasi ini terlibat juga dalam melawan Belanda di Agresi Militer II, jadi selama proses konsolidasi nasional sentimen anti-Belanda mendominasi Indonesia di dekade 50an. Bentrok antara elemen anti-komunis dengan PKI baru akan muncul lagi setelah era Demokrasi Terpimpin di tahun 1960an. Sebagaimana kita tahu, PKI melakukan konsolidasi di dekade 1950an di bawah pimpinan DN Aidit. SOBSI dan Pesindo (belakangan menjadi Pemuda Rakyat) bergabung dengan PKI sebagai organisasi underbouw-nya. Dengan berkumpulnya komunis di PKI, PKI jadi cukup kuat dan mendapat urutan no 4 di pemilu 1955. Kelanjutannya, kita sama-sama tahu.

Singkatnya, Peristiwa Madiun 1948 itu adalah ledakan dari kombinasi 3 hal:

  1. Pertentangan antara kubu Sajap Kiri yang dipimpin Amir Syarifuddin dengan kubu Hatta-Syahrir.
  2. Re-Ra TNI (Restrukturisasi dan Rasionalisasi = laskar-laskar dibubarkan, yang paling terlatih dan profesional dipertahankan untuk jadi militer yang profesional) tidak mengikutsertakan laskar-laskar kiri. Beberapa satuan militer yang dialihfungsikan juga merasa tidak puas (seperti Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kol. Sutarto yang dijadikan 'cadangan').
  3. Solo dskt harus menampung divisi Siliwangi dari Jawa Barat yang hijrah akibat Perjanjian Renville. Pergesekan terjadi antara orang-orang Siliwangi dengan laskar-laskar asli Solo. Yang juga memperuncing keadaan adalah banyak orang-orang kiri di Solo, yang secara politik berseberangan dengan orang-orang Siliwangi.

Bentrokan bersenjata meletus di Madiun, di mana divisi Siliwangi yang dikerahkan Hatta untuk menumpas pemberontakan FDR di Madiun (yang dipimpin PKI).

Amir Syarifuddin ditangkap

Tapi setelah PKI berhasil ditumpas, Muso dan Amir ditembak mati, dan anggota-anggotanya dipenjara, Belanda mengerahkan Operatie Kraai (Agresi Militer II), sehingga tahanan-tahanan FDR ini dibebaskan untuk memerangi Belanda.

PKI terus berkonsolidasi dengan organisasi-organisasi komunis lain (SOBSI, Pesindo, dll) sehingga pada 1955 bisa meraih urutan 4 dalam pemilu nasional, dan 1960an awal sudah menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia. Pertentangan PKI dengan AD di masa Demokrasi Terpimpin akhirnya meledak di G30S, di mana PKI melalui agen-agennya di AD dan AURI berusaha melakukan kudeta terhadap pimpinan AD dan pemerintah RI, tapi gagal karena Mayjen Soeharto mencuri momentum. Sejak itu kekuatan presiden Sukarno makin melemah dan jendral Soeharto-Nasution makin menguat, dan sejak Supersemar 1966 orang-orang (tertuduh) PKI mengalami genosida oleh AD dan kekuatan-kekuatan Islam (musuh bebuyutan PKI).

Banyak artikel-artikel saya seputar G30S saya kumpulkan di link ini:

Rufus Panjaitan
 · 9bln
Jika dalang dari G30S itu adalah PKI, mengapa yang menjadi presiden selanjutnya malah Soeharto?
Pertanyaan yang valid: Jika dalang dari G30S itu adalah PKI, mengapa yang menjadi presiden selanjutnya malah Soeharto? Pertanyaan yang mirip-mirip seputar G30S dan naiknya jendral Soeharto jadi presiden sudah banyak saya bahas, jadi link-nya saya taruh di bawah ini: Jawaban di atas menjelaskan bahwa Jendral AH Nasution tidak lagi memegang kekuasaan de facto apa pun setelah dia "ditendang ke atas" oleh Bung Karno sebagai Menko Hankam/KSAB. Setelah G30S, Soeharto yang berhasil memanfaatkan momen sehingga dia jadi orang tertinggi di AD dan menggerakkan pasukan di Jakarta untuk segera menangkal G30S, sementara Nasution masih bersembunyi karena jadi incaran G30S. Dua jawaban saya di atas ini menjelaskan salah kaprah bahwa Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Faktanya, mandat Sukarno dicabut oleh MPRS (dipimpin AH Nasution, dengan penolakan pidato pertanggungjawabannya berjudul "Nawaksara"), lalu MPRS menyerahkannya kepada Soeharto sebagai pejabat "sementara". Penyerahan jabatan presiden tidak bergantung pada tinggi-tinggian pangkat militer, tapi pada mekanisme di MPRS (pada waktu itu). Ini ada beberapa jawaban bonus saya kasih terkait dengan kecurigaan bahwa Soeharto dan CIA adalah dalang G30S: Pertanyaan di atas ini terkait dengan ada artikel yang bilang bahwa sebenarnya Letjen Ahmad Yani yang diproyeksikan Bung Karno untuk menjadi presiden pengganti dia. Namun sejauh ini selain klaim dari (katanya) pihak keluarga Ahmad Yani, tidak ada bukti pendukung lain. Malahan kecenderungan Bung Karno sampai dia digulingkan adalah dia tidak menyiapkan pengganti sama sekali, seperti pengakuan dia ke wartawan AS Cindy Adams (ada di Youtube). Jadi argumen yang bilang Soeharto mendalangi G30S untuk menghabisi Ahmad Yani itu absurd. Jawaban saya di atas ini membahas tentang link dari website CIA yang menurut pertanyaannya pengakuan bahwa Soeharto yang mendalangi G30S. Saya sudah baca dokumen CIA itu dan sama sekali gak ada pernyataan seperti itu. Isi dokumen itu juga saya jelaskan di jawabannya. Jawaban di atas menjelaskan kenapa Mayjen Soeharto (Pangkostrad) tidak diincar G30S, krn lawan politik PKI adalah mabes (pimpinan) AD (Ahmad Yani cs), BUKAN seluruh AD. Di jawaban di atas saya menjelaskan beberapa hal dari Soeharto terkait G30S yang menurut banyak orang "mencurigakan", khususnya terkait Abdul Latief mendatangi Soeharto di RS dan mengajaknya bergabung di G30S. DI jawaban di atas saya menjelaskan keterlibatan Biro Chusus dan Tjakrabirawa dan mengapa G30S tidak cocok diaebut hanya "konflik antar kesatuan AD". Di jawaban di atas saya menjelaskan beberapa hal mencurigakan dari Sukarno dan kenapa Sukarno jadi digulingkan dan dikenakan tahanan rumah. Jawaban di atas ini menjelaskan bukti-bukti kenapa kita bisa yakin bahwa G30S didalangi oleh PKI. Kesimpulan Kita harus paham dan bisa membedakan rentetan peristiwanya: * G30S 1965: penculikan dan pembunuhan terhadap 7 jendral (6 sukses, 1 berhasil lolos). Pelaku: PKI melalui Biro Chusus dan agen-agennya di militer, khususnya Tjakrabirawa, beberapa batalyon dari Diponegoro, dan AURI. * Tekanan terhadap Sukarno untuk membubarkan PKI, khususnya dari kubu Nasution-Soeharto (disebut "NATO" oleh PKI). * Supersemar 1966: Sukarno mengeluarkan surat perintah pemulihan kamtibmas untuk Menpangad Jendral Soeharto. Lalu kelihatannya surat itu dimanipulasi jadi ada butir "membubarkan PKI". * Pembantaian dan penindasan sistematis terhadap anggota PKI maupun tertuduh komunis, 1966–1967: Soeharto tentu saja yang paling bertanggung jawab di sini. Tapi berdasarkan pengakuan CIA (dokumen-dokumen yang sudah dideklasifikasi), CIA juga terlibat mendukung pembantaian itu dengan menyediakan hitlist-nya. Eksekutor awal adalah RPKAD, tapi lama-lama lebih banyak organisasi-organisasi sipil anti komunis yang terlibat. * De-Sukarno-isasi: Soeharto dan faksi anti komunis mendominasi perpolitikan di pemerintah dan MPRS. * Mandat Sukarno ditolak MPRS dan Soeharto diangkat MPRS sebagai pejabat presiden 1967. * Sukarno dikenakan tahanan rumah supaya tidak lagi bisa bangkit secara politik.

Sebagaimana kita tahu, kekuatan komunis bisa dibilang hancur sama sekali di Indonesia sejak 1967 dan gak ada kemungkinan sedikit pun untuk mereka bisa bangkit (secara legal partai berlandaskan komunisme/Marxisme dilarang).

Sekarang kita akan melihat pemberontakan yang terjadi sejak era Orde Baru Soeharto sampai sekarang.

Timor Timur

Detail tentang bagaimana Timor Portugis dianeksasi RI menjadi provinsi Timtim dan merdeka menjadi Republik Timor Leste, pernah saya jelaskan di sini:

Rufus Panjaitan
 · 2thn
Mengapa Indonesia menginvasi Timor Timur? Padahal itu bukan daerah sejarah Belanda.
Good question: Mengapa Indonesia menginvasi Timor Timur padahal itu bukan daerah sejarah Belanda? Saya mencoba menjelaskan ini dari sudut pandang Indonesia, yang saya baca dari bukunya Ken Conboy Kopassus dan Intel, serta beberapa info dari Wikipedia English (Indonesian invasion of East Timor - Wikipedia). Sayangnya Wikipedia English tulisannya pro Fretilin banget tanpa menjelaskan sudut pandang RI, yang menurut saya penting untuk dipahami. Kedua buku ini sangat direkomendasikan untuk memahami sejarah dan inner working dari Kopassus, Bakin/BIN dan sudut pandang para pengambil kebijakan saat itu Revolusi Anyelir 25 April 1974, Portugal mengalami Revolusi Anyelir (Carnation Revolution) di mana sekelompok perwira-perwira kiri menumbangkan diktator sayap kanan Estado Novo. Revolusi ini disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi, sosial dan politik yang disebabkan oleh perang kolonial yang berkepanjangan (budget perang Portugal untuk mempertahankan koloni-koloninya di Afrika memakan sampai 40% dari APBN). Jadi junta militer yang berkuasa langsung mengambil keputusan untuk melakukan dekolonisasi. Berarti overseas provinces (provinsi-provinsi yang berada di luar Portugal) akan memiliki otonomi dan bergabung dalam Persemakmuran Portugis. Tapi menjelang Agustus, keadaan di Portugal makin tidak menentu. Junta tiba-tiba diganti dengan sekelompok perwira militer yang lebih muda, lebih radikal, lebih 'kiri'. Bagaimana ini akan berdampak ke koloni-koloni Portugis? Keadaan di Timor Timur Berbeda dengan koloni-koloni Portugis di Afrika, Timtim sebenarnya tidak pernah punya aspirasi merdeka. Militer Portugis tidak pernah melakukan perang COIN (counter insurgency) di sana. Tapi karena ada revolusi ini, partai-partai politik lokal lahir. Partai-partai ini adalah: 1. Uni Demokratik Timor (UDT), partai-partai beranggotakan kelas priyayi (pegawai negeri), tuan tanah dan tetua adat. 2. Front Revolusioner untuk Timor Merdeka (Fretilin), partai beraliran kiri yang paling populer. 3. Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (APODETI), tidak sebesar dua partai di atas, tapi menginginkan bergabung dengan Indonesia. Tadinya, UDT dan Fretilin melakukan koalisi untuk menjalankan pemerintahan. Tapi karena konflik ideologi (Fretilin sosialis, pada saat itu orang masih sama phobianya dengan komunis. Sementara UDT anggotanya dari kelas atas yang adalah musuh sosialis/komunis), koalisi ini pecah dan Timtim langsung terbakar oleh perang saudara. Catatan: Wikipedia menyalahkan propaganda Indonesia yang menghasut UDT untuk pecah dari Fretilin. Tapi menurut saya, tanpa Indonesia terlibat pun, kalau melihat demografi UDT dan ideologi Fretilin di era Perang Dingin lagi 'panas-panas'nya, gak mungkin lah melarutkan air dengan minyak. Kecemasan Indonesia Dari sejak era Soekarno, Timtim sudah dianggap area backwater (area terbelakang) oleh pemerintah Indonesia. BPI (Badan Pusat Intelijen, intelijen di jaman Soekarno) hanya memonitor secara minimal. Tapi setelah terjadi Revolusi Anyelir, Jakarta jadi memonitor perkembangan di Portugal dan Timtim dengan cemas. Beberapa perwira intelijen Indonesia keluar masuk Timtim untuk melihat kecenderungan politik dari publik dan faksi-faksi di Timtim. Yang mengkuatirkan juga, ada beberapa perwira militer Portugis yang jelas-jelas beraliran kiri melakukan kunjungan ke Timtim untuk mendampingi gubernur militer Timtim. Ini membuat cemas kalangan intelijen RI, di saat-saat komunisme sedang naik-naiknya di Asia Tenggara (pada saat itu, pemerintahan di Vietnam Selatan, Kamboja dan Laos sudah sekarat dan sebentar lagi jatuh oleh komunis). Jadi kekuatiran Timtim jadi negara komunis baru di Asia Tenggara membuat semua radar intelijen Indonesia sensitif. Di saat-saat ini, Bakin (di bawah pimpinan Yoga Sugama) dan Bais (di bawah pimpinan LB Moerdani) sudah memiliki misi-misi intelijen di Timtim, khususnya untuk membina Apodeti yang pengen integrasi. (kalau mau google, silakan cari "Operasi Komodo" dan "Operasi Flamboyan"). Pecahnya perang saudara dan ketidakjelasan arah kebijakan Portugis semakin mengkuatirkan Jakarta. Tiba-tiba pada Februari 1975 seorang atase militer Portugis bernama Mayor Antonio Joao Soares melakukan perjalanan kunjungan diplomatis ke Dili. Tim gabungan intelijen yang terdiri dari Bakin dan Bais (termasuk beberapa tim dari Kopassus) langsung bergerak untuk meng-intercept isi koper sang atase. Ini ceritanya agak panjang. Intinya, Soares diakal-akalin supaya telat dan ketinggalan penerbangan ke Dili, dipersulit oleh Imigrasi di Bali untuk mengisi berbagai macam formulir, sementara kopernya dibuka oleh tim intel yang ahli kunci, difoto semua dokumennya, dan dikembalikan lagi seperti sedia kala tanpa disadari pemiliknya. Dari situlah akhirnya pemerintah RI tahu, bahwa Portugal berniat untuk putusin segala urusan dengan Timtim, gak jadi bikin Persemakmuran untuk mantan koloninya. Pokoknya Portugal mau cabut, gak mau lagi ngurusin Timtim. Berarti Jakarta dihadapkan pada kemungkinan bahwa Timtim yang tidak di-manage akan menjadi lubang hitam perang saudara. Atau lebih parah lagi, Timtim akan menjadi "lubang merah", negara komunis di halaman belakang Indonesia. Ada negara komunis di balik tembok belakang kita itu sama aja memberi kemudahan Uni Soviet untuk mengintip dan mengirim virusnya ke dalam rumah kita. RI tidak mau ada Kuba di Nusantara ini. Restu Amerika Serikat dan Australia Sebenarnya invasi Timtim (Operasi Seroja) adalah sesuatu yang ilegal. Namun mendapatkan restu dari negara-negara Barat, khususnya AS dan Australia, karena mempertimbangkan ekspansi komunisme di Asia Tenggara. Presiden AS Gerald Ford sedang galau-galaunya. Kamboja sudah dikuasai Khmer Merah. Laos sudah menjadi negara komunis. Vietnam Selatan sudah bersatu dengan Vietnam Utara yang komunis. Pada tanggal 6 Desember 1975 pagi Presiden Gerald Ford berkunjung ke Indonesia. Presiden Ford, menlu Henry Kissinger dan presiden Soeharto melakukan pertemuan tertutup. Di luar ruangan LB "Benny" Moerdani yang adalah kepala Bais (intelijen ABRI) waktu itu menunggu di lobi. Seorang anggota NSC (National Security Council, sebuah tim dalam kabinet presiden AS) Brent Scowcroft mendatangi Benny, lalu nanya tanpa tedeng aling-aling, "Eh, kalian akan pakai senjata AS gak?" Benny tahu AS punya infrastruktur intelijen yang super, pasti sudah tahu dengan planning ABRI. Benny juga udah tahu kekuatiran mereka, tapi dia jawab terus terang, "Militer kami dibangun berdasarkan sistem AS. Kami gak ada pilihan lain." Walaupun sebenarnya Kogasgab (Komando Tugas Gabungan yang menjalankan Operasi Seroja) sudah menyiapkan agar senjata AS digunakan hanya sebagai backup. Sejam kemudian Soeharto, Ford, dan Kissinger keluar. Kissinger mendekati Benny, nanya tanpa tedeng aling-aling juga, "Permainan kecilmu ini, bakal berapa lama?" Benny menjawab dengan pede, "Beberapa minggu." Kissinger menyahut, "Tolong tunggu sampai kami keluar dari wilayah udara Indonesia yah." Dan itulah yang terjadi. Setelah Air Force One keluar dari Indonesia, Operasi Seroja baru mulai bergulir. Dari peristiwa di atas kita bisa lihat bahwa AS memberi restunya tapi secara covert (tertutup), karena mereka tahu implikasi legal internasional RI menganeksasi Timtim. Dasarnya sulit diperjuangkan. Tapi AS dan Aussie diam saja karena they need someone to do the dirty work, dan karena yang paling punya kepentingan adalah RI, RI lah yang did the dirty work. Operasi Komodo dan Operasi Flamboyan adalah operasi intelijen dan operasi khusus, jadi wajar jika dilakukan secara covert/rahasia. Tapi Operasi Seroja adalah invasi besar-besaran secara udara dan laut, dan pemerintah RI menutup-nutupinya dari semua pemberitaan karena ya itu tadi, dasar legalnya gak kuat. Saya ingat ayah saya punya teman yang adalah tentara linud di Operasi Seroja. Tentara-tentara yang terluka tidak dipulangkan ke keluarganya setelah sembuh, tapi 'ditahan' di RS supaya informasi perang itu tidak bocor keluar. Setahu saya, belakangan setelah Operasi Seroja selesai barulah diresmikan Timtim sebagai provinsi RI no 27 dengan alasan rakyatnya yang memang kepingin gabung ke Indonesia karena takut dengan Fretilin komunis (rakyat = Apodeti, UDT dan partai-partai anti Fretilin lain). Belakangan setelah Perang Dingin usai, komunis-phobia hilang, dan pelanggaran HAM yang dilakukan ABRI di Timtim bocor keluar (khususnya pasca peristiwa Santa Cruz), AS dan Aussie jadi berbalik mengecam aneksasi Timtim. Timtim akhirnya merdeka dari Indonesia di era Presiden BJ Habibie yang mengijinkan referendum tahun 1999.
Rufus Panjaitan
 · 31 Jan
Siapa yang salah atas lepasnya timor-timor dari NKRI?
Pertanyaan: Siapa yang salah atas lepasnya timor-timor dari NKRI? Yang salah: Indonesia. Pertama: Timor Timur/Timor Leste tidak pernah ikut dalam proses pembentukan nasionalisme Indonesia, yang didasarkan pada jajahan Belanda di Nusantara. Timor Timur adalah jajahan Portugal, dan selama ini tidak pernah ada upaya dari mereka sebelumnya untuk merdeka dari Portugal. Kedua: Walau bagaimana pun, invasi RI ke Timor Timur melanggar wilayah orang lain. Ini jelas pelanggaran. Ketiga: Timor Timur tidak pernah mendapat dukungan legal dari dunia internasional. Walaupun invasi RI didukung oleh pemerintah AS dan Australia yang komunis-phobia saat itu, RI seharusnya sadar bahwa properti itu bukanlah properti legal. Waktu Perang Dingin usai, AS dan Aussie gak ada relevansinya lagi belain kebijakan ilegal ini, makanya jadi berbalik menuduh RI. Keempat: pemerintah Orde Baru menggunakan tangan besi dalam menumpas nasionalisme Timor Leste, dan hasilnya gagal. Pembangunan apa pun yang dilakukan Soeharto di sana, sebaik apa pun niatnya, kalau orang-orang Fretilin ditangkap, disiksa, dan dieksekusi tanpa pengadilan, atau waktu demonstrasi tanpa senjata ditembaki dengan peluru tajam, siapa yang mau memilih integrasi dengan RI? Belum lagi milisi-milisi ganas yang dipelihara TNI untuk mengintimidasi rakyat pra referendum 1999, bikin orang Timor Leste gak simpati dengan Indonesia. Apa yang presiden Habibie lakukan adalah dia memprioritaskan Indonesia yang sedang krisis ekonomi parah (sampai-sampai menjungkalkan rezim diktator 32 tahun). Gak akan ada yang mau membantu Indonesia kalau Timor Timur ngotot dipertahankan. Dan mustahil juga menghilangkan nasionalisme Timor Leste, jadi makin dipertahankan bakalan makin banyak darah tertumpah. Saya pernah menjelaskan di sini:

Singkatnya: Timor Leste tidak pernah memiliki nasionalisme Indonesia. Hanya sebagian kecil yang pro integrasi, dan penerapan operasi militer selama Orde Baru di sana membuat simpati rakyat Timor Leste makin kecil aja terhadap Indonesia.

Gerakan Aceh Merdeka - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (GAM)

Nasionalisme Aceh memang sesuatu yang sulit hilang, karena Kesultanan Aceh sudah berdiri ratusan tahun berdasarkan Syariat Islam dan wilayah ini termasuk yang terakhir dikuasai Belanda (setelah perang brutal 30 tahun). Dan waktu Aceh pada akhirnya setuju bergabung dengan Republik Indonesia, Sukarno melanggar janjinya kepada Daud Beureuh dan tidak mengijinkan Aceh menerapkan Syariat Islam. Akhirnya Daud Beureuh mengobarkan pemberontakan lewat panji-panji DI, sampai akhirnya dibujuk untuk berhenti setelah 9 tahun, pada 1962.

Setelah ditemukannya ladang gas alam yang dikelola perusahaan asing, Hasan Di Tiro, cicit dari pahlawan nasional Tengku Cik Di Tiro, mendirikan GAM dan mengobarkan pemberontakan sejak 1976. GAM mendapat dukungan dari rezim Muammar Gaddafi di Libya.

Sebagaimana layaknya Soeharto, pemberontakan GAM ini dijawab dengan operasi militer brutal oleh rezim Soeharto (disebut DOM = Daerah Operasi Militer) yang memakan korban ribuan orang. Seperti juga yang terjadi di Timtim, tindakan ini membuat rakyat Aceh masih memelihara sentimen separatismenya.

Setelah Soeharto tumbang, pemerintah RI melakukan dialog dengan GAM pada 2002, tapi perundingan gagal dan Presiden Megawati Sukarnoputri memberlakukan Darurat Sipil dengan mengirim puluhan ribu TNI ke sana 2002–2004. Operasi ini bisa memukul GAM cukup besar karena banyak anggotanya yang tewas, tapi tidak bisa memadamkan separatismenya.

Setelah tsunami 2004 lah akhirnya perundingan dilakukan lagi dan akhirnya GAM menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah RI, di mana provinsi Aceh akan diperintah dengan status istimewa dan Syariat Islam diterapkan di sana, sesuai cita-cita Daud Beureuh dulu.

Organisasi Papua Merdeka - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (OPM)

OPM adalah istilah yang dikenakan ke kelompok-kelompok separatis Papua Barat yang memperjuangkan kemerdekaan dari Republik Indonesia sejak 1960an.

Saya pernah membahas soal problem dari proses referendum Papua (Pepera) di sini:

Ikon untuk Hubungan Internasional
Hubungan Internasional
 · 
1thn
Mengapa media Barat selalu membuat fitnah soal sejarah dan keadaan Papua?
Pertanyaan: Mengapa media Barat selalu membuat fitnah soal sejarah dan keadaan Papua? Satu hal yang perlu kita terima kalau mau punya wawasan yang luas dan obyektif: ada banyak sisi dari setiap cerita, semua bergantung dari subyektifitas saksi peristiwanya. Apakah Papua sah milik Indonesia? Iya, sesuai dengan Kesepakatan New York (New York Agreement - Wikipedia). TAPI … Di kesepakatan itu ada keharusan untuk Indonesia melaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat / Act of Free Choice) di mana setiap pria dewasa berhak untuk ikut. Pepera yang sudah dilakukan tahun 1969 itu (RI sudah di bawah kepemimpinan Soeharto). Maka Soeharto mengerahkan Ali Murtopo untuk melakukan segala cara di Papua Barat agar hasil Pepera pro integrasi. Sebagai informasi, Ali Murtopo adalah spy master-nya Soeharto dari sejak masih jaman di Kostrad. Ali Murtopo memimpin satu unit intelijen yang 'gak jelas' dan 'setengah resmi' yang disebut Opsus (Operasi Khusus). Kalau Anda membaca sepak terjang Ali Murtopo, orang ini bisa 'bikin' Papua Barat mau bergabung dengan RI, Golkar menang di seluruh Indonesia, dan mantan DI/TII memilih Golkar dalam pemilu. Udah kayak tukang sihir dia. Jadi Ali Murtopo bekerja di Papua. Ali Murtopo memilih kepala-kepala suku Papua dan membanjiri suku-suku mereka dengan rokok dan alkohol impor yang bikin mereka senang. Lalu kepala-kepala suku ini dihimpun dalam dewan-dewan musyawarah, yang kemudian perwakilannya memberikan suara dalam Pepera. Dalam beberapa kesempatan, intimidasi militer diperlukan untuk menakut-nakuti mereka supaya memilih Indonesia. Selain Ali Murtopo, Sarwo Edhie Wibowo dengan RPKAD-nya juga bekerja di Papua Barat untuk menghasilkan Pepera yang pro Indonesia. Tercatat bahwa di depan pengamat PBB, tentara Indonesia mengatur agar orang-orang pribumi Papua ini tunjuk tangan waktu ditanya memilih integrasi dengan RI, lalu perwakilan dikasih teks yang sudah disiapkan untuk dibaca di depan pengamat PBB itu. Apakah ini bisa dibilang Pepera yang jujur? Mungkin mayoritas akan bilang "tidak". Tapi apakah suku-suku Papua yang primitif ini tahu dan paham bedanya berada di bawah RI atau Belanda? Pihak RI bilang "tidak". Banyak dari mereka masih hidup di jaman pra sejarah, tanpa mengenal tulisan maupun pengolahan logam. Pihak RI bilang, "Gimana mau menanyakan opini jujur orang-orang primitif ini tentang konsep negara yang mereka tidak pahami?" Tapi pihak-pihak lain bilang, "Orang Papua berhak menentukan masa depan politik mereka sendiri." Walaupun begitu, ada juga orang-orang Papua yang sudah modern dan pro integrasi dengan RI, sebagaimana bisa dilihat dari foto-foto di bawah ini. Pihak pemerintah Orde Baru dan militer menjalin hubungan dengan mereka ini untuk memenangkan Pepera. Satu faktor kontroversial lagi dari Pepera adalah metodenya. Kalau mau jujur, ya pakai sistem one man one vote. Tapi Indonesia berkukuh bahwa ini harus dilakukan dengan elemen khas Indonesia, yaitu "musyawarah". Jadi hanya perwakilan-perwakilan masyarakat saja yang memberi vote setelah musyarawah di level bawah. Di tingkat 'musyawarah' inilah intelijen militer Indonesia memainkan magic charm-nya. Dengan semua kontroversi ini, kenapa hasil Pepera dianggap sah oleh PBB? Ya apalagi kalau bukan AS. Belanda menganggap AS berkhianat. AS sendiri sangat mendukung untuk Papua Barat bergabung dengan Indonesia karena simbiosis mutualisme dengan rezim Soeharto yang masih baru: 1. Soeharto butuh modal asing untuk memulihkan ekonomi. 2. AS mengincar tambang Freeport dll. 3. RI di bawah Soeharto baru saja pindah pihak dari kiri ke kanan (dalam konteks Perang Dingin). Bagi AS, jelas nge-deal dengan RI lebih menang banyak daripada mengakomodir keinginan Belanda. Jadi kesimpulannya. Apakah Papua Barat secara legal sah di PBB adalah milik RI? Ya. Apakah Pepera (metode dan hasilnya) kontroversial? Jelas. Apakah beberapa media luar (gak semua media dan gak semuanya dari Barat) memfitnah RI terkait sejarah dan keadaan Papua? Tidak, karena kontroversi yang saya sebutkan di atas adalah hal-hal yang terdokumentasi dengan baik, termasuk oleh sumber-sumber Indonesia. (silakan baca biografi Ali Murtopo, Sarwo Edhie, dan Sintong Panjaitan). Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? - Tirto.ID Act of Free Choice - Wikipedia New York Agreement - Wikipedia Tokoh Pepera 1969 Silo Doga Dinilai Layak Jadi Pahlawan Nasional

Faksi-faksi OPM menganggap Pepera tidak sah walaupun diakui oleh PBB sekalipun.

Dibanding GAM dan Fretilin yang bisa dibilang punya kepemimpinan tunggal, OPM terbagi-bagi antar faksi-faksi. Di lapangan pun, milisi-milisinya terbagi faksi-faksi. Tidak ada koordinasi serangan di antara mereka, masing-masing faksi melakukan gerilyanya sendiri. Di level politisinya pun, tidak ada kepemimpinan tunggal.

Jadi kalau pemerintah RI mau berunding damai pun (seperti dengan Aceh dan Timtim), RI akan bingung, siapa yang dianggap sebagai pemimpin? Kalau dia menandatangani perjanjian damai, apakah kelompok-kelompok lain di lapangan akan mau menuruti perjanjian itu? Sangat diragukan.

Walaupun tidak bisa dibilang kuat, tapi serangan-serangan OPM sepanjang sejarah cukup mengganggu. Peristiwa Mapenduma dan penculikan pilot Susi Air misalnya. Ditambah kondisi medan di Papua yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sulit untuk membawa militer ke sana, mau secanggih apa pun alutsista, gerilyawan sangat sulit dibedakan dari penduduk sipil. Dan membunuh mereka akan sangat mudah salah sasaran (yang kena penduduk sipil) atau diframing seolah-olah mereka penduduk sipil, karena pemberontak dengan rakyat sipil memang menyatu. TNI tahun 1945–49 ya seperti itu terhadap Belanda, seperti OPM gerilya melawan TNI/Polri sekarang ini.

KESIMPULAN

Jadi setelah membandingkan para pemberontak dan separatis di atas, mari kita analisa apakah benar premis di pertanyaannya bahwa era Sukarno lebih mudah memadamkan pemberontakan daripada era sesudahnya.

  1. Banyak dari pemberontakan di era Sukarno, walaupun cukup sukses dimenangkan TNI, tapi tidak selalu berhasil dipadamkan sama sekali. RMS dan NII adalah contohnya. RMS akhirnya lebih bikin ribut di Belanda daripada di Indonesia. NII bermetastasis jadi JI, JAD, MIT, dan kelompok-kelompok teroris lain.
  2. Di era sekarang di mana kesadaran tentang HAM lebih meluas dan informasi tersebar jauh lebih cepat, TNI/Polri beraksi dengan lebih hati-hati dibanding pendahulu mereka di era Sukarno maupun Soeharto. Jadi sapu bersih dan genosida tidak semudah itu dilakukan di zaman sekarang. Pembantaian terhadap penduduk Padang selama penumpasan PRRI, pembantaian terhadap tertuduh PKI setelah Supersemar, pembunuhan terhadap rakyat Dili waktu Operasi Seroja, hal-hal kayak begini yang bisa dilakukan ABRI tanpa pertanggungjawaban, sekarang jauh lebih sulit untuk dilakukan oleh TNI/Polri.
  3. Pada akhirnya, banyak dari pemberontakan di era Sukarno maupun setelahnya berakhir dengan perundingan damai: PRRI/Permesta, GAM, Timor Leste. Ini menunjukkan bahwa sekuat-kuatnya militer, ideologi gak bisa dibasmi dengan peluru.
  4. Banyak dari aspirasi para pemberontak ini pada akhirnya tercapai. Aceh memiliki otonomi luas dan menerapkan Syariat Islam, bahkan mantan GAM menjadi pemerintah di sana. Timor Leste merdeka sebagai negara sendiri. Daerah-daerah di Indonesia memiliki otonomi daerah yang luas seperti dicita-citakan PRRI/Permesta. Dan militer sudah menjadi tubuh yang solid di bawah satu leadership, sebaliknya daripada kumpulan warlord-warlord yang jadi raja di daerahnya sendiri. Jadi gak ada poinnya lagi berontak terhadap pemerintah RI.

Jadi kesimpulannya: pemberontakan dan separatisme hanyak bisa dibasmi dengan KEADILAN, PEMERATAAN PEMBANGUNAN dan PENEGAKAN HUKUM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi