Mengapa Separatis sekarang lebih susah dilumpuhkan dariapada separatis di masa lalu ?
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
-
Apakah KKB sengaja dipelihara oleh aparat setempat dan begitu juga GAM dan Fretilin padahal dahulu di zaman Sukarno TNI sanggup menumpas DI/TII, RMS, PRRI, dan Permesta?
Jadi saya bagi dua pertanyaannya:
Apakah KKB sengaja dipelihara aparat setempat?
Kenapa pemberontak/separatis di jaman Sukarno (DI/TII, RMS, PRRI-Permesta) bisa ditumpas sementara GAM, Fretilin, OPM tidak bisa ditumpas?
1. Apakah KKB sengaja dipelihara aparat setempat?
Ini tuduhan yang cukup populer dari jaman dulu, bahwa pemberontakan itu sengaja dibiarkan hidup supaya TNI punya medan pertempuran untuk mengasah kemampuan, atau untuk dana dari pemerintah selalu besar, atau untuk oknum-oknum aparat setempat bisa jualan senjata.
Kalau dipelihara untuk mengasah kemampuan TNI alasan ini kurang masuk akal. Pemberontakan atau separatisme itu ada karena sentimen yang ada di masyarakat, jadi TNI tidak punya power untuk menghilangkan mereka semua sama sekali. Banyak kasus di mana pemberontakan itu bisa dihilangkan atau diselesaikan dengan solusi politik, dan itu bukan bidangnya TNI. Timtim dikasih merdeka, GAM akhirnya selesai dengan berunding, dan OPM masih banyak menghantui Papua pedalaman, itu bukan TNI 'sengaja' membiarkan mereka hidup, tapi karena memang nasionalisme (atau separatisme, bergantung siapa yang melihat) Timor Leste, Aceh dan Papua itu sulit dipadamkan.
Tuduhan supaya dana pemerintah ke TNI/Polri tetap besar, ini bisa dipatahkan berdasarkan preseden di mana dalam beberapa situasi (termasuk di era Soeharto di mana Timtim dan Aceh masih ada separatis) ABRI mengalami pemotongan budget. Besarnya dana untuk TNI dan Polri banyak ditentukan dari pendapatan negara.
Kalau tuduhan dipelihara supaya oknum tentara bisa jualan senjata … ini kebalikannya: karena pemberontakan masih ada, oknum korup tentara atau polisi setempat menjual senjata gelap ke para pemberontak ini. Tapi oknum-oknum itu tidak berkuasa menghilangkan atau menjaga pemberontakan. Mereka hanya bisa mengail sebanyak-banyaknya dari air keruh. Mereka gak punya kemampuan menjaga air tetap keruh atau membuat airnya jadi jernih.
Jadi tidak, saya tidak percaya KKB itu ada karena 'dipelihara' aparat keamanan RI.
Sekarang ke pertanyaan yang lebih menarik:
2. Kenapa pemberontak/separatis di jaman Sukarno (DI/TII, RMS, PRRI-Permesta) bisa ditumpas sementara GAM, Fretilin, OPM tidak bisa ditumpas?
Untuk menjawab ini kita harus melihat setiap kasus:
Ini adalah pemberontakan/separatis yang dipicu oleh warga Maluku Kristen dan veteran KNIL yang tidak mau berada di bawah kekuasaan muslim Jawa (maksudnya Republik Indonesia). Mereka memberontak sejak 1950, tapi kalah dari TNI dan melancarkan perang gerilya.
Masalah demobilisasi KNIL ini mau gak mau menjadi tanggung jawab Belanda juga. Jadi warga Maluku Selatan yang pro Belanda diangkut ke Belanda untuk sementara dan ditempatkan di kamp-kamp. Ini membuat masalah sosial lain di Belanda, yang berujung pada beberapa kali serangan teroris di Belanda oleh RMS yang menyasar tidak hanya kedubes RI tapi juga target Belanda sendiri. Akhirnya pemerintah Belanda menumpas aksi-aksi teroris RMS di Belanda dan warga Maluku yang tadinya berstatus "sementara" dijadikan warga negara Belanda permanen. Ini tentunya membuat perjuangan RMS jadi 'mentah', apalagi warga Maluku ini ada di negara yang secara ekonomi lebih bagus daripada kampung halamannya.
Waktu kerusuhan berdarah antar agama di Maluku membara sekitar 99–2002, sentimen RMS (yang memang anti-Islam) juga meningkat. Jelmaan baru RMS di Maluku adalah FKM (Front Kedaulatan Maluku). Tapi sejak Perjanjian Malino II separatisme ini pun makin kehilangan relevansinya, sama juga dengan Laskar Jihad dan Jemaah Islamiyah dari kubu seberangnya. Alex Manuputty, pemimpin FKM, lari ke AS.
Pasca Reformasi, dengan adanya otonomi daerah diberlakukan di seluruh Indonesia, perjuangan RMS makin kehilangan relevansinya. Pernyataan dari presiden RMS di Belanda John Wattilete (generasi kedua orang Maluku di Belanda) memberi perkembangan positif bahwa kemerdekaan tidak lagi dikejar oleh warga Maluku Selatan.
Memang waktu kunjungan presiden SBY tahun 2007 ke Ambon sempat ada provokasi dari pendukung RMS dengan menari Cakalele di hadapan presiden dan membentangkan bendera RMS, tapi praktis sentimen separatisme Kristen Maluku tidak lagi populer.
SM Kartosoewirjo membentuk laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam memerangi Belanda selama revolusi kemerdekaan 1945–49 di Jawa Barat. Dia menolak Persetujuan Renville yang mengharuskan militer Republiken hijrah ke Jawa Tengah (daerah Republik Indonesia) dan waktu Indonesia sudah berdaulat 1949 dia menolak membubarkan laskar-laskarnya, malah memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia dan mengangkat dirinya sebagai Imam NII. Gerakan ini tidak hanya menyebar di Jawa Barat, tapi juga Aceh (dipimpin mantan gubernur Daud Beureueh), Jawa Tengah (dipimpin Amir Fatah, khususnya didorong oleh konfrontasinya dengan faksi-faksi komunis di sana), Kalimantan Selatan (dipimpin Ibnu Hadjar), dan Sulawesi Selatan (dipimpin Kahar Muzakkar).
DI/TII cukup merepotkan karena menguasai wilayah yang besar di pedesaan, sampai akhirnya pemerintah memberlakukan keadaan darurat sejak 1957. Konflik bersenjata berlangsung selama 13 tahun sampai satu-satu pemimpinnya ditembak mati atau menyerah atau ditangkap, dengan korban belasan ribu di Jawa Barat saja. DI/TII juga mencoba membunuh presiden Sukarno dengan melempar granat waktu Beliau berkunjung ke sekolah Perguruan Cikini tahun 1957 (peristiwa ini melahirkan kesatuan elit Tjakrabirawa).
Kenapa DI/TII bisa takluk? Secara militer, karena peningkatan kualitas dari TNI (saya membaca ini di salah satu buku Ken Conboy, lupa yang mana). Banteng Raider Diponegoro pimpinan Ahmad Yani adalah salah satu yang berjasa menumpas DI/TII.
Tapi apakah gerakan Islamis ini bisa hilang sama sekali? Tidak.
DI/TII Aceh berevolusi jadi separatisme Aceh (Gerakan Aceh Merdeka). Lihat bagian GAM di bawah.
Sementara di daerah-daerah lain, para pendukung NII masih aktif dengan ideologi mereka, mengusung dan merekrut simpatisan dari kalangan mahasiswa. Di masa Orde Baru, asisten intelijen Soeharto, Ali Moertopo, mendekati dan membina mereka untuk menjadi pendukung Golkar. Tapi di tahun 79, terinspirasi dari Revolusi Iran, sebagian dari mereka membentuk Komando Jihad yang melakukan penyerangan ke pos polisi dan membajak pesawat Garuda (saya pernah bahas mendalam di sini Jawaban Rufus Panjaitan untuk Bagaimana kisah Operasi Woyla?). Mereka juga ditumpas sebagai teroris, untuk belakangan muncul lagi dalam aksi teroris lain.
Yang paling hangat di memori kita adalah setelah era al-Qaeda: pengeboman malam Natal 2000, bom Bali 2002, bom JW Marriott 2003, bom Kedubes Australia 2004, bom Bali 2 2005, bom JW Marriott-Ritz-Carlton 2009, bom Thamrin 2016, bom gereja Surabaya 2018, dll. Mereka ini dalangnya adalah organisasi-organisasi teroris seperti Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah. Belum lagi laskar-laskar yang beraksi di Poso dan Maluku selama kerusuhan komunal Islam vs Kristen 1999–2002. Mereka ini garis ideologinya bisa ditarik ke proklamasinya SM Kartosoewirjo.
Jadi bisa dibilang bahwa DI/TII tidak mati tapi menjelma menjadi bentuk lain.
Silakan lihat link Wikipedia di atas untuk melihat proses terjadinya pemberontakan ini. Kalau bisa dirangkum, perang saudara Indonesia yang terjadi di tahun 1950an ini adalah kulminasi dari tarik menarik kekuasaan antara ibukota Jakarta dengan daerah, dan juga antara KSAD Mayjen AH Nasution dengan panglima daerah. Dekade 1950an adalah masanya konsolidasi. Republik Indonesia Serikat hasil KMB 1949 memang sudah bubar, tapi pada akhirnya aspirasi daerah bentrok juga dengan keinginan pemerintah pusat di Jakarta. Sumatra bergolak dan para pemimpin militer dan sipil membentuk PRRI, sementara di Sulawesi Utara mereka membentuk Permesta.
Satu hal juga yang menarik, PRRI/Permesta berisi para perwira dan politikus yang gerah juga dengan makin besarnya pengaruh PKI di pemerintah pusat. AS yang memiliki kepentingan yang sama, mendukung PRRI/Permesta.
Pemerintah Jakarta akhirnya menjawab dengan operasi militer. Divisi-divisi dari Jawa seperti Siliwangi dan Diponegoro dikirim ke Sumatra dan Sulawesi untuk menumpas para pemberontak ini. Menurut catatan, Sumatra Barat yang paling mengalami pertempuran berdarah, di mana korban mencapai puluhan ribu dan banyak penduduk sipil rakyat Minang yang menjadi target eksekusi tentara-tentara Jawa ini. Pemerintahan di Sumatra Barat langsung diganti dari orang-orang PRRI menjadi orang-orang pilihan Jakarta yang ternyata banyak orang PKI. Konflik ini juga memicu orang Minang untuk jadi perantau, karena buruknya kondisi di Sumatra akibat perang ini.
Dukungan AS yang tadinya bersifat rahasia/covert, langsung dihentikan begitu pilot CIA Allen Pope yang memberi payung udara (AURev, AU-nya PRRI/Permesta) dalam pertempuran di Maluku ditembak jatuh oleh pilot AURI Ignatius Dewanto. Sukarno menggunakan Allen Pope sebagai sandera untuk konsesi ke AS (diundang JFK untuk hahahihi di AS dan dikasih satu skuadron Hercules. Tapi tetep aja Sukarno makin 'miring ke kiri').
Allen Pope diadili
Secara pertempuran, TNI lebih unggul daripada PRRI/Permesta, walaupun mereka dibekali persenjataan yang lebih modern (dari AS) dan bantuan pesawat beserta pilotnya (menjadi AURev). Konflik ini berakhir tahun 1961 waktu para pemimpinnya akhirnya menyerah dan PRRI/Permesta dibubarkan. Dua partai yaitu Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan karena dianggap mendukung PRRI/Permesta. Rezim Sukarno memenjarakan sahabat-sahabatnya sendiri dari era perjuangan dulu, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Buya Hamka (dari Masyumi), Sutan Syahrir, Soemitro Djojohadikusumo ayah Prabowo Subianto (dari PSI) dll.
Apa yang menjadi aspirasi PRRI dan Permesta sebenarnya makin terakomodir belakangan. Indonesia pindah ke kanan (anti komunis) sejak 1967 dan akhirnya setelah Reformasi Otonomi Daerah diberlakukan, sehingga aspirasi daerah terakomodir. Selain itu, TNI-AD pada khususnya dan TNI pada umumnya menjadi makin solid sejak Soeharto berkuasa, sehingga tidak ada lagi pertentangan antara pangdam dengan KSAD seperti yang terjadi di tahun 1950an.
***
Di jaman Sukarno ada lagi pemberontakan APRA dan Andi Azis, tapi ini dampaknya tidak terlalu besar karena dilakukan oleh para tentara mantan KNIL yang tidak puas.
Singkatnya, Peristiwa Madiun 1948 itu adalah ledakan dari kombinasi 3 hal:
Pertentangan antara kubu Sajap Kiri yang dipimpin Amir Syarifuddin dengan kubu Hatta-Syahrir.
Re-Ra TNI (Restrukturisasi dan Rasionalisasi = laskar-laskar dibubarkan, yang paling terlatih dan profesional dipertahankan untuk jadi militer yang profesional) tidak mengikutsertakan laskar-laskar kiri. Beberapa satuan militer yang dialihfungsikan juga merasa tidak puas (seperti Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kol. Sutarto yang dijadikan 'cadangan').
Solo dskt harus menampung divisi Siliwangi dari Jawa Barat yang hijrah akibat Perjanjian Renville. Pergesekan terjadi antara orang-orang Siliwangi dengan laskar-laskar asli Solo. Yang juga memperuncing keadaan adalah banyak orang-orang kiri di Solo, yang secara politik berseberangan dengan orang-orang Siliwangi.
Bentrokan bersenjata meletus di Madiun, di mana divisi Siliwangi yang dikerahkan Hatta untuk menumpas pemberontakan FDR di Madiun (yang dipimpin PKI).
Amir Syarifuddin ditangkap
Tapi setelah PKI berhasil ditumpas, Muso dan Amir ditembak mati, dan anggota-anggotanya dipenjara, Belanda mengerahkan Operatie Kraai (Agresi Militer II), sehingga tahanan-tahanan FDR ini dibebaskan untuk memerangi Belanda.
PKI terus berkonsolidasi dengan organisasi-organisasi komunis lain (SOBSI, Pesindo, dll) sehingga pada 1955 bisa meraih urutan 4 dalam pemilu nasional, dan 1960an awal sudah menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia. Pertentangan PKI dengan AD di masa Demokrasi Terpimpin akhirnya meledak di G30S, di mana PKI melalui agen-agennya di AD dan AURI berusaha melakukan kudeta terhadap pimpinan AD dan pemerintah RI, tapi gagal karena Mayjen Soeharto mencuri momentum. Sejak itu kekuatan presiden Sukarno makin melemah dan jendral Soeharto-Nasution makin menguat, dan sejak Supersemar 1966 orang-orang (tertuduh) PKI mengalami genosida oleh AD dan kekuatan-kekuatan Islam (musuh bebuyutan PKI).
Banyak artikel-artikel saya seputar G30S saya kumpulkan di link ini:
Sebagaimana kita tahu, kekuatan komunis bisa dibilang hancur sama sekali di Indonesia sejak 1967 dan gak ada kemungkinan sedikit pun untuk mereka bisa bangkit (secara legal partai berlandaskan komunisme/Marxisme dilarang).
Sekarang kita akan melihat pemberontakan yang terjadi sejak era Orde Baru Soeharto sampai sekarang.
Timor Timur
Detail tentang bagaimana Timor Portugis dianeksasi RI menjadi provinsi Timtim dan merdeka menjadi Republik Timor Leste, pernah saya jelaskan di sini:
Singkatnya: Timor Leste tidak pernah memiliki nasionalisme Indonesia. Hanya sebagian kecil yang pro integrasi, dan penerapan operasi militer selama Orde Baru di sana membuat simpati rakyat Timor Leste makin kecil aja terhadap Indonesia.
Nasionalisme Aceh memang sesuatu yang sulit hilang, karena Kesultanan Aceh sudah berdiri ratusan tahun berdasarkan Syariat Islam dan wilayah ini termasuk yang terakhir dikuasai Belanda (setelah perang brutal 30 tahun). Dan waktu Aceh pada akhirnya setuju bergabung dengan Republik Indonesia, Sukarno melanggar janjinya kepada Daud Beureuh dan tidak mengijinkan Aceh menerapkan Syariat Islam. Akhirnya Daud Beureuh mengobarkan pemberontakan lewat panji-panji DI, sampai akhirnya dibujuk untuk berhenti setelah 9 tahun, pada 1962.
Setelah ditemukannya ladang gas alam yang dikelola perusahaan asing, Hasan Di Tiro, cicit dari pahlawan nasional Tengku Cik Di Tiro, mendirikan GAM dan mengobarkan pemberontakan sejak 1976. GAM mendapat dukungan dari rezim Muammar Gaddafi di Libya.
Sebagaimana layaknya Soeharto, pemberontakan GAM ini dijawab dengan operasi militer brutal oleh rezim Soeharto (disebut DOM = Daerah Operasi Militer) yang memakan korban ribuan orang. Seperti juga yang terjadi di Timtim, tindakan ini membuat rakyat Aceh masih memelihara sentimen separatismenya.
Setelah Soeharto tumbang, pemerintah RI melakukan dialog dengan GAM pada 2002, tapi perundingan gagal dan Presiden Megawati Sukarnoputri memberlakukan Darurat Sipil dengan mengirim puluhan ribu TNI ke sana 2002–2004. Operasi ini bisa memukul GAM cukup besar karena banyak anggotanya yang tewas, tapi tidak bisa memadamkan separatismenya.
Setelah tsunami 2004 lah akhirnya perundingan dilakukan lagi dan akhirnya GAM menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah RI, di mana provinsi Aceh akan diperintah dengan status istimewa dan Syariat Islam diterapkan di sana, sesuai cita-cita Daud Beureuh dulu.
Faksi-faksi OPM menganggap Pepera tidak sah walaupun diakui oleh PBB sekalipun.
Dibanding GAM dan Fretilin yang bisa dibilang punya kepemimpinan tunggal, OPM terbagi-bagi antar faksi-faksi. Di lapangan pun, milisi-milisinya terbagi faksi-faksi. Tidak ada koordinasi serangan di antara mereka, masing-masing faksi melakukan gerilyanya sendiri. Di level politisinya pun, tidak ada kepemimpinan tunggal.
Jadi kalau pemerintah RI mau berunding damai pun (seperti dengan Aceh dan Timtim), RI akan bingung, siapa yang dianggap sebagai pemimpin? Kalau dia menandatangani perjanjian damai, apakah kelompok-kelompok lain di lapangan akan mau menuruti perjanjian itu? Sangat diragukan.
Walaupun tidak bisa dibilang kuat, tapi serangan-serangan OPM sepanjang sejarah cukup mengganggu. Peristiwa Mapenduma dan penculikan pilot Susi Air misalnya. Ditambah kondisi medan di Papua yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sulit untuk membawa militer ke sana, mau secanggih apa pun alutsista, gerilyawan sangat sulit dibedakan dari penduduk sipil. Dan membunuh mereka akan sangat mudah salah sasaran (yang kena penduduk sipil) atau diframing seolah-olah mereka penduduk sipil, karena pemberontak dengan rakyat sipil memang menyatu. TNI tahun 1945–49 ya seperti itu terhadap Belanda, seperti OPM gerilya melawan TNI/Polri sekarang ini.
KESIMPULAN
Jadi setelah membandingkan para pemberontak dan separatis di atas, mari kita analisa apakah benar premis di pertanyaannya bahwa era Sukarno lebih mudah memadamkan pemberontakan daripada era sesudahnya.
Banyak dari pemberontakan di era Sukarno, walaupun cukup sukses dimenangkan TNI, tapi tidak selalu berhasil dipadamkan sama sekali. RMS dan NII adalah contohnya. RMS akhirnya lebih bikin ribut di Belanda daripada di Indonesia. NII bermetastasis jadi JI, JAD, MIT, dan kelompok-kelompok teroris lain.
Di era sekarang di mana kesadaran tentang HAM lebih meluas dan informasi tersebar jauh lebih cepat, TNI/Polri beraksi dengan lebih hati-hati dibanding pendahulu mereka di era Sukarno maupun Soeharto. Jadi sapu bersih dan genosida tidak semudah itu dilakukan di zaman sekarang. Pembantaian terhadap penduduk Padang selama penumpasan PRRI, pembantaian terhadap tertuduh PKI setelah Supersemar, pembunuhan terhadap rakyat Dili waktu Operasi Seroja, hal-hal kayak begini yang bisa dilakukan ABRI tanpa pertanggungjawaban, sekarang jauh lebih sulit untuk dilakukan oleh TNI/Polri.
Pada akhirnya, banyak dari pemberontakan di era Sukarno maupun setelahnya berakhir dengan perundingan damai: PRRI/Permesta, GAM, Timor Leste. Ini menunjukkan bahwa sekuat-kuatnya militer, ideologi gak bisa dibasmi dengan peluru.
Banyak dari aspirasi para pemberontak ini pada akhirnya tercapai. Aceh memiliki otonomi luas dan menerapkan Syariat Islam, bahkan mantan GAM menjadi pemerintah di sana. Timor Leste merdeka sebagai negara sendiri. Daerah-daerah di Indonesia memiliki otonomi daerah yang luas seperti dicita-citakan PRRI/Permesta. Dan militer sudah menjadi tubuh yang solid di bawah satu leadership, sebaliknya daripada kumpulan warlord-warlord yang jadi raja di daerahnya sendiri. Jadi gak ada poinnya lagi berontak terhadap pemerintah RI.
Jadi kesimpulannya: pemberontakan dan separatisme hanyak bisa dibasmi dengan KEADILAN, PEMERATAAN PEMBANGUNAN dan PENEGAKAN HUKUM.
Berkorban demi masa depan yang lebih baik Ingat film "A Better Tomorrow", "Hari Esok Yang Lebih Baik" yang dibintangi oleh Chow Yun-Fat? Judul film ini adalah cara berpikiran masyarakat Tiongkok secara umum dan juga keturunan Tionghoa yang ada di dunia. Semua orang tua berusaha agar masa depan keturunan mereka lebih baik dari dirinya, ia rela berkorban demi masa depan yang lebih baik. Hal ini juga sudah dilakukan oleh orang tua-orang tua, leluhur mereka. Jadi apapun yang mereka lakukan adalah demi hari esok yang lebih baik, tidak masalah sekarang harus berkorban. Berjuang, berkorban demi hari esok yang lebih baik dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tiongkok, yang sudah membudaya sejak dahulu. Ada kenalah, sebelum PD2, kakek-nenek mereka berasal dari Malaysia, demi masa depan yang lebih baik mereka pindah ke Sumatra. Orang tua mereka lahir dan menetap di sebuah pulau kecil di Sumatra, demi kehidupan yang lebih baik, orang tua mereka pindah ke Jakarta. Ketika ker...
Apanase ( bahasa Prancis : apanage ) atau daerah lungguh , pada awalnya adalah penitipan suatu wilayah yang diambil dari tanah milik raja dan diberi oleh raja kepada putera bungsunya, yang tidak akan menggantikannya sebagai raja karena tahta akan jatuh ke putera sulung. Kata apanage berasal dari bahasa Latin akhir ad panem , yang berarti "untuk memberi roti" ( panem ), maksudnya agar si pangerang bungsu kedapatan nafkah. Sistem apanase sempat main peranan yang cukup penting dalam sejarah kerajaan Prancis. Sistem ini berkembang dengan meluasnya kewibawaan kerajaan sejak abad ke-13. Kemudian sistem apanase menghilang dengan ditegaskannya kewibawaan khusus raja sejak akhir Abad Pertengahan . Apanase berdampak atas pembangunan wilayah kerajaan, yang terlihat pada lambang banyak provinsi Prancis. Apanase Bourgogne adalah asal-muasal negara Belgia , yang duc menikmati kedudukan khusus terhadap r...
di wilayah timur Indonesia karena banyak sekali bahasa daerah di wilayah tersebut yang tidak berasal dari rumpun Austronesia. Selain itu, terdapat juga beberapa bahasa Austronesia yang memiliki fitur-fitur yang tidak biasa akibat kontak dengan bahasa-bahasa nonaustronesia tersebut. Salah satu bahasa yang ingin saya bahas dalam jawaban ini adalah bahasa Tobati . Lokasi desa Engros dan Tobati [2] Bahasa Tobati atau Yotafa merupakan sebuah bahasa yang digunakan oleh suku Tobati yang tersebar di desa Engros dan Tobati yang berlokasi di teluk Jayapura. Bahasa Tobati berasal dari cabang Sarmi-Jayapura dalam subkelompok Oseanik Barat dalam kelompok Oseanik dalam subrumpun Melayu-Polinesia dalam rumpun Austronesia . Sebelumnya, saya pernah menyebut bahasa ini sebagai saudara jauh dari bahasa Māori dan bahasa Hawaiʻi karena kedua bahasa tersebut tergolong dalam kel...
Komentar
Posting Komentar