Struktur pemerintahan ala Mataram Islam

 Struktur wilayah Mataram Islam dibagi menjadi satu lingkaran konsentris yang mengelilingi raja sebagai pusat kekuasaan. Lingkaran konsentris ini disebut juga mandala yang sebelumnya telah dipratekkan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang mendahului Mataram Islam. Mandala digunakan untuk menggambarkan pola-pola tertentu yang berhubungan dengan penyebaran pengaruh kekuasaan politik suatu kerajaan.

Wilayah Kesultanan Mataram.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrokusuma (1593 - 1645) yang memerintah pada tahun 1613-1645, wilayah Mataram dibagi jadi lingkaran konsentris yang meliputi Keraton, Nagara, Nagara Agung, dan Mancanegara. Wilayah Pasisiran baru ditambahkan ketika ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung berjalan mulus karena satu per satu wilayah pasisiran atau pantai utara Jawa jatuh ke dalam pengaruh politik Mataram.

Lingkaran Konsentris Mataram Islam.

Penataan ruang Mataram Islam berdasarkan lingkaran konsentris atau mandala adalah dua sistem hirarkis yang tumpang tindih (superimposed). Sistem lingkaran yang pertama, terdiri dari tiga garis imajiner keruangan yang dianggap sakral, yaitu lingkaran batas Dalem (Raja) sebagai pusat, lingkaran batas komplek Keraton, dan batas negara agung. Sistem lingkaran kedua, juga terdiri dari tiga garis imajiner keruangan, bersifat profan duniawi. Lingkaran profan ini, meliputi lingkaran batas komplek Keraton (parentah jero), lingkaran batas negara (pusat birokrasi kerajaan), dan lingkaran batas mancanegara. Superposisi dari kedua sistem lingkaran tersebut, melambangkan azas penataan ruang Mataram Islam. Jika dijelaskan lebih lanjut maka pembagian wilayah-wilayah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keraton.

Keraton Mataram Islam pada masa Sultan Agung berada di Karta. Keraton Karta didirikan oleh Sultan Agung pada tahun 1613 Masehi, meski baru secara resmi ditempati pada tahun 1618 Masehi hingga berakhir pada 1645 Masehi. Secara keruangan, raja identik dengan Keraton yang secara kosmologis merupakan bagian dari lingkaran pusat kerajaan. Keraton juga dianggap sebagai pusat dunia atau makrokosmos karena raja bermukim di ruang dan tempat tersebut. Dalam lingkaran pusat atau keraton tersebut, raja tinggal bersama keluarga intinya. Keraton selain berfungsi sebagai tempat tinggal raja juga merupakan tempat kedudukan administrasi dalam (parentah jero) yang berfungsi sebagai lembaga pengatur lingkungan di dalam benteng Keraton dan juga sekaligus menjadi penghubung antara raja dengan administrasi luar atau parentah jaba. Peraturan di Keraton diberlakukan sangat ketat, mencakup aturan tentang bahasa, pakaian, tata krama, serta protokol khusus di dalam keraton. Raja, Ratu Eyang (nenek raja), Ratu Ibu (ibu raja), Ratu Kencana (permaisuri), dan Pangeran Kadipaten Anom (putra mahkota) adalah deretan orang terpenting di Keraton Mataram.

Situs Kerta yang mana dulu merupakan Keraton Mataram Islam zaman Sultan Agung (Sumber Foto: Jogja Heritage Society).

Dalam masyarakat Jawa tradisional, Keraton merupakan pusat juga disebabkan kediaman pemimpin sehingga secara simbolis dianggap sebagai tempat mengikatkan diri masyarakat dengan negara. Masyarakat Jawa dapat dikatakan merasa tidak mempunyai eksistensi diri jika tidak mengikatkan diri dengan keraton atau kerajaan. Keraton dalam ikatan demikian disebut pula sebagai pusat kebudayaan karena masyarakat mengikuti segala sesuatu yang dianut, dilakukan, dan menjadi tata hidup serta tata nilai di lingkungan keraton. Pasalnya keraton dianggap oleh masyarakat sebagai manifestasi simbolik dari pemimpin rakyat, militer, dan keagamaan.

2. Nagara atau Kuthanagara

Turnamen bela diri antara dua penunggang kuda bertombak yang diadakan di alun-alun depan keraton, Kuthanagara Mataram (Sumber: KITLV).

Nagara atau Kuthanagara merupakan ibu kota Mataram Islam yang mencakup kantor-kantor pemerintahan luar serta kediaman para pangeran, patih, dan pejabat tinggi lainnya. Dengan kata lain semua hal yang menyangkut kerajaan diputuskan dan dibicarakan di Nagara. Letak dari Nagara ada di wilayah Kerta. Pemegang tertinggi pemerintahan di Nagara/Kuthanagara dipegang oleh Patih Lebet. Ketika pemerintahan Mataram berpusat di Karta, jabatan patih lebet dipegang oleh Adipati Mandaraka. Pejabat yang bertanggungjawab pada Patih Lebet adalah empat orang Wedana Lebet yang mencakup Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, serta Wedana Keparak Tengen.

Wedana Gedong Kiwa dan Wedana Gedong Tengen bertugas untuk mengurusi keuangan dan perbendaharaan keraton. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Wedana Gedong Kiwa dan Wedana Gedong Tengen memiliki tugas tambahan untuk menerima upeti dari para raja bawahan serta pajak dari semua adipati di pasisiran. Wedana Keparak Kiwa dan Wedana Keparak Tengen bertanggungjawab terhadap urusan militer dan peradilan kerajaan.

Para wedana lebet biasanya bergelar Tumenggung atau Pangeran jika masih terhitung sebagai keturunan raja. Sebelum tahun 1628 Masehi, wedana-wedana lebet Mataram antara lain Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta sebagai Wedana Gedong serta Pangeran Manunggoneng dan Pangeran Sujanapura yang menjabat Wedana Keparak. Wedana lebet dibantu oleh seorang pepatih atau lurah carik yang biasanya bergelar Ngabehi. Wedana Lebet juga turut dibantu oleh seorang Kabayan yang biasanya bergelar Ngabehi, Rangga, atau Raden dan empat puluh Mantri Jajar. Para Wedana Lebet ini bertanggungjawab pada Patih Lebet.

Sementara itu raja juga menunjuk Wedana Miji yang memegang kedudukan penting dalam pemerintahan Mataram. Wedana Miji bersama dengan Wedana Lebet menjadi anggota dewan tertinggi kerajaan. Jumlahnya dua orang dan biasanya dipilih melaksanakan tugas-tugas khusus. Wedana Miji secara langsung bertanggungjawab kepada Sultan Agung. Di masa akhir pemerintahan Sultan Agung salah seorang Wedana Wiji yang terkenal adalah Tumenggung Danupaya. Ia kemudian digantikan oleh Tumenggung Wiraraja dan Tumenggung Nitinegara.

3. Nagara Agung

Peta Keraton, Kuthanagara, Nagara Agung, dan sebagian Mancanagara serta Pasisiran Mataram Islam (Sumber: KITLV).

Nagara Agung merupakan ibu kota yang lebih besar berada di sekitar Nagara/Kutanagara. Karakteristik dari nagara agung adalah hampir semua tanah dalam wilayah ini merupakan tanah jabatan, lungguh, para pangeran, dan bangsawan lainnya. Dengan demikian daerah ini dibagi dalam beberapa lungguh, petak tanah, dan penduduk. Di daerah ini seorang pangeran atau priyayi tingkat tinggi diberi hak untuk menarik pajak in natura atas nama Sultan Agung. Nagara Agung dibagi menjadi sejumlah kabupaten yang masing-masing diperintah oleh bupati.

4. Mancanegara

Mancanegara dapat dikatakan wilayah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan, namun secara formal diakui sebagai sebagai bagian kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan relatif berbeda. Sultan tidak memperkenankan para pangerannya memiliki tanah lungguh di wilayah Mancanegara. Dengan demikian dapat dikatakan tanah pangeran hanya sampai di Nagara Agung saja. Adapun untuk pemerintahannya dilaksanakan oleh seorang bupati yang ditunjuk oleh Sultan namun bertanggungjawab kepada patih. Mereka biasa berpangkat Tumenggung atau Raden Arya. Sementara jumlah bupati yang mengepalai setiap daerah tidak sama tergantung pada luas tidaknya wilayah itu.

Wilayah Mancanegara dibagi menjadi dua yakni Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kulon. Mancanegara Wetan meliputi wilayah Ponorogo ke timur, sementara Mancanegara Kulon mencakup wilayah Purworejo ke barat. Wilayah Mancanegara terus meluas ketika Sultan Agung menginvasi wilayah-wilayah merdeka di luar Pulau Jawa. Ekspedisi dan invasi militer dilangsungkan menyerang Kesultanan Cirebon, Sumatra maupun Kalimantan bahkan Sulawesi. Hasil dari ekspansi wilayah itu menyebabkan Cirebon, Palembang, Jambi, Sukadana hingga Banjarmasin dan Makassar mengakui kekuasaan Mataram dan menjadi bagian wilayah Macanegara ataupun Tanah Seberang Mataram.

5. Pasisiran

Pasisiran merujuk pada wilayah lingkaran konsentris Mataram yang meliputi wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa. Setiap daerah Pasisiran dikepalai oleh seorang Adipati atau syahbandar. Mereka biasanya berpangkat Tumenggung, Kiai demang, atau Kiai ngabehi. Para pemimpin Pasisiran tidak harus orang Jawa, malah banyak di antara ada orang Tionghoa, terutama untuk wilayah Lasem. Contohnya ialah pemimpin Tumenggung Martiguna yang sebenarnya adalah orang Tionghoa bernama Cik Go Ing yang diangkat Sultan Agung sebagai Adipati Lasem. Adipati atau syahbandar memiliki kekuasaan penuh untuk memerintah daerah wewenangnya. Namun mereka tidak lepas dari pengawasan pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kuthanagara. Wilayah yang disebut Pasisiran sebagaimana mancanegara juga dibagi dua, yaitu Pasisiran Kulon yang mencakup wilayah Demak ke Barat dan Pasisiran Wetan yang meliputi wilayah Demak ke Timur.

Sekian penjelasan singkat saya.

Bacaan lebih lanjut

D. Lombard - Nusa Jawa Silang Budaya.

S. Soemardjan - Perubahan Sosial di Yogyakarta.

J. Santoso - Konsep Struktur dan Bentuk Kota di Jawa s/d Abad XVIII (Disertasi di Institut Teknologi Bandung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi