Champa negeri yang hilang

 Ada 3 jawaban: meriam, migrasi, asimilasi paksa.

Peninggalan candi era Champa di Vietnam

Sebelum dimulai, kita belajar sedikit latar belakang sejarahnya ya -

Belum ada konsensus/kesepakatan sejarah

 apakah Champa ini satu kerajaan besar, atau hanya federasi/himpunan kerajaan-kerajaan kecil berpusat di kota-kota pelabuhannya, yang saling berbagi budaya yang sama dan saling berganti kekuasaan seiring berjalannya waktu.

Kerajaan/Kebudayaan Champa (dari asal kata "Champaka/Cempaka") ini sendiri menduduki daerah Vietnam tengah & selatan, dimulai dari abad ke-2 Masehi, puncak kejayaannya di Abad 11–12 (tahun 1000–1100 M), lalu mulai turun perlahan setelah di jadikan negara bawahan Kemaharajaan Khmer/Kamboja, lalu lama-lama kalah dengan serangkaian perang dengan Dai Viet (Kekaisaran Vietnam) - hingga akhirnya di abad 19 dijadikan bagian dari Dai Viet itu sendiri.

Kerajaan/Kebudayaan Champa ini mulai mengadopsi agama & tradisi Hindu di abad ke-5 (tahun 400an) dan mulai Abad 11 perlahan-lahan dominasi Hindunya digantikan dengan agama Islam via jalur perdagangan

 . Hingga kini, orang-orang Champa yang menganut agama Islam disebut "Bani" (dari kata Arab "Bani" yang artinya keturunan) sementara yang masih menjaga tradisi Hindu/pra-Hindu disebut sebagai "Bacham"

Peta Champa (Hijau) di era kejayaannya, diapit Maharaja Khmer (Kamboja) dan Dai Viet (Vietnam)

Nah, sekarang kembali ke 3 jawaban awal tentang meriam, migrasi dan asimilasi paksa - yang semuanya dikarenakan Kerajaan Dai Viet/Vietnam.

Walaupun di awal hingga pertengahan keberadaannya Champa menjadi rival Khmer, kedua kerajaan ini layaknya "Frienemy" atau benci-benci cinta karena ada kesamaan budaya dan agama (sama-sama Hindu/Buddha). Hubungan dagang keduanya pun juga erat.

Namun nantinya, ketika Khmer mulai runtuh perlahan dan Dai Viet menjadi rival utamanya - perbedaan Champa & Dai Viet sangat kontras.

Dai Viet, yang dalam sejarahnya berulang kali harus menghadang & berperang melawan dominasi Dinasti-Dinasti Tiongkok dari utara, lama-lama budayanya menjadi lebih seperti Tiongkok ("Sinicization" istilah kerennya, China-isasi)

Jelas terlihat kiblat budaya, kiblat ekonominya, kepercayaannya semua berbeda.

Maka mulai dari abad 15, Dai Viet, setelah berhasil mengusir Dinasti Ming di tahun 1427

 mulai mencoba menancapkan pengaruhnya ke arah Selatan daerahnya (Kebijakan "Nam Tien" atau "maju ke Selatan") Secara strategis memang lebih memungkinkan untuk tidak mencoba "membuat marah" Tiongkok yang jauh lebih besar, kan. Cari pasar, cari pangsa yang lain. Terbukti, Dinasti Ming menjadi Dinasti Tiongkok terakhir yang mencoba menaklukkan/menjadikan Dai Viet negara bawahan.

Dan semuanya pun berpuncak di serangkaian perang di pertengahan abad 15 yang dinamakan Perang Viet-Champa… Disinilah 3 strategi maut Dai Viet mulai muncul.

  • Meriam

Penggunaan meriam ini menjadi salah satu hasil langsung peperangan Dai Viet dengan Dinasti Ming

 Selain mengadaptasi meriam, Kaisar Le Thanh Tong (1460–1497) juga mengadaptasi beberapa hal lain dari pelajarannya berperang melawan Dinasti Ming - salah satunya adalah meng-reorganisir, mereformasi militer Dai Viet selaras dengan taktik & sistem keprajuritan Dinasti Ming (termasuk penggunaan meriam didalam taktik perangnya)

Langsunglah adaptasi ini berbuah hasil - dalam perang besar terakhir Viet melawan Champa, salah satu raja besar Champa, Che Bong Nga (Sei/Sri Bunga) gugur oleh tembakan meriam pasukan Viet.

 Dan dengan kemenangan Viet ini, prajurit Viet pun sampai masuk ke daerah inti kekuasaan Champa - salah satu kota pelabuhan terbesarnya, Vijaya pun dijarah total oleh prajurit Viet.

Sampai sekarangpun, daerah bekas kota Vijaya dan sekitarnya dinamakan sebagai Provinsi Binh Dinh di Vietnam yang kita kenal sekarang. Sementara Binh Dinh sendiri artinya adalah "ditaklukan", "didamaikan", atau "diamankan" (pacified) .

  • Migrasi

Setelah Champa kota-kota besar Champa ditaklukkan, Dai Viet mulai memberikan kebijakan pertanian yang mendorong migrasi ke arah selatan - sehingga penduduk suku Kinh/Viet asli Dai Viet perlahan-lahan menjadi mayoritas di daerah Champa.

Nantinya juga teknik yang sama dipakai saat Dai Viet mulai mengkolonisasi/menjadi pendatang di Delta Sungai Mekong di abad 17

 . Awalnya Viet hanya membuat pos dagang di daerah Khmer, seperti di Prey Nokor, daerah yang sekarang kita kenal sebagai Ho Chi Minh City/Saigon. Namun lama kelamaan setelah populasi etnis Viet nya sudah besar, bisa mencaplok daerah tersebut.

Kebijakan kolonisasi lewat pertanian ini disebut Don Dien, yang terinspirasi dari kebijakan Tuntian Tiongkok yang dipopulerkan perdana menteri Cao Cao di era akhir dinasti Han


*iya, Cao Cao yang di Sam Kok / Romance of Three Kingdoms yang itu!

  • Asimilasi Paksa

Setelah migrasi perlahan-lahan, di abad 19 (tahun 1800an) akhirnya Champa ditaklukkan seutuhnya setelah pemberontakan Katip/Khatib Sumat, seorang pemuka agama Champa (yang kala itu sudah mayoritas Muslim) gagal melakukan revolusi di tahun 1832.

Kaisar Viet Minh Mang (1820–1841) pun lalu melakukan kebijakan asimilasi paksa agar sisa-sisa kebudayaan Champa benar-benar hilang dari daerahnya. Beberapa quote/sabdanya antara lain:

"We must hope that their barbarian habits will be subconsciously dissipated, and that they will daily become more infected by Han [Sino-Vietnamese] customs."

"Han dii Huu Han / 漢|夷|有限, "the Vietnamese and the barbarians must have clear borders"

"Kita harus berharap bahwa kebiasaan barbarian (Champa, Khmer) bisa dihilangkan sampai (level) bawah sadar, dan agar keseharian mereka bisa lebih di"infeksi" kebiasaan Han (Viet)"

"Warga Vietnam dan warga barbar harus memiliki pembatas yang jelas"

*ya, terdengar sangat rasis - tapi ya memang begitulah yang terjadi. Sejarah penuh dengan kebijakan brutal macam ini
*juga buat kamu-kamu yang mempelajari kebudayaan Tiongkok, loh kok tiba-tiba ada kata-kata "Han" yang biasanya dipakai untuk kebudayaan Han Tiongkok? Ya pada era 
Dinasti Nguyen (1802–1945)Dai Viet memiliki kebijakan untuk mengklaim nama "Han" sebagai sebutan untuk kebudayaan/rakyat Viet, semacam cara me-legitimasi diri sendiri agar semakin "terlepas" dari pengaruh Tiongkok.

Akhirnya mereka yang masih mengikuti tradisi asli Champa hanya bisa melakukannya di daerah pegunungan, bukan daerah pesisir yang tadinya jadi pusat kekuasaan Champa.

Potongan peta etnolinguistik (suku/etnis dan bahasa) di daerah Kamboja & Vietnam tengah-selatan tahun 1970.

Perhatikan warna Ungu & warna krem/putih, itulah sisa-sisa daerah yang masih memiliki penduduk berbahasa Cham dan bahasa-bahasa kerabat Cham. Terlihat jelas sudah "dipukul mundur" oleh yang mayoritas Kinh/Viet (warna hijau tua) dari daerah pesisir Vietnam tengah & selatan. Terlihat di era sekarang, mayoritas Vietnam adalah penduduk suku Kinh/Viet (85%)

Dapat terlihat juga bagaimana sebagian orang Champa kemudian kabur ke Khmer/Kamboja yang lebih bersahabat seperti saya bahas di awal. Bahkan sampai sekarang salah satu kota besar di Kamboja contohnya, namanya adalah Kompong Cham (bagian kiri peta di timur laut Phnom Penh, bagi yang jeli melihat). Ya, bagi yang mengira-ngira, Kompong Cham kurang lebih artinya "Kampung (Orang) Champa"

Dan ada juga sebagian bangsawan Champa yang kemudian mengungsi sampai ke Aceh, dan nantinya keturunannya mendirikan Kesultanan Aceh.

 Bahkan bahasa Aceh dan bahasa Champa sendiri masih satu rumpun

Begitulah faktor runtuhnya Champa, tapi tanpa runtuhnya Champa, ya mungkin juga tidak ada Aceh yang budayanya sangat khas sendiri di Indonesia sekarang.

Tanpa Champa, Aceh kemungkinan seperti halnya Medan, Deli, Asahan, Siak… menjadi bagian dari tanah Melayu pula. Toh Kerajaan Samudera Pasai itu memakai bahasa Melayu, bukan bahasa Aceh/Champa.

Bahkan "Bungong Jeumpa" pun asal katanya dari "Bunga Champa", katanya…

"Bungong Jeumpa, Bungong Jeumpa, meugah (tersohor/berjaya) di Aceh"

Catatan Kaki

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi