Kekerasan sektarian di Irak

Kekerasan sektarian di Irak merujuk pada kekerasan yang berkembang sebagai akibat dari meningkatnya ketegangan sektarian antara berbagai kelompok agama dan etnis di Irak, terutama konflik antara mayoritas Muslim Syiah dan minoritas Muslim Sunni di negara tersebut. Dengan terciptanya negara-bangsa modern, ketegangan sektarian perlahan muncul dan akhirnya berkembang menjadi konflik kekerasan baru-baru ini seperti Perang di Irak (2013–2017) dan perang saudara Irak (2006–2008).

Menurut sebagian besar sumber, termasuk World Factbook CIA, mayoritas orang Irak adalah Muslim Arab Syiah yang berjumlah sekitar 64% hingga 69% dari populasi, sedangkan Muslim Sunni mewakili antara 32% dan 37% dari populasi.[1] Selain itu, kaum Sunni terpecah secara etnis antara Arab, Kurdi, dan Turkmenistan.

Latar belakang sejarah
sunting
Sebelum pembentukan negara modern Irak, wilayah Irak milik Kesultanan Utsmaniyah dan dibagi menjadi tiga vilayet (provinsi): Baghdad Vilayet (1869 - 1918), Basrah Vilayet (1884 - 1918) dan Mosul Vilayet (1878 - 1918). Bersama-sama, ketiga vilayet ini adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama yang berbeda yang semuanya hidup dalam toleransi yang relatif di bawah pemerintahan Ottoman, meskipun komunitas Syiah sering kali tidak diikutsertakan di posisi administratif dan tentara.[2] Setelah Perang Dunia Pertama, populasi ketiga vilayet disatukan menjadi satu negara-bangsa di bawah Mandat Inggris. Sejalan dengan "Solusi Syarif", Inggris menunjuk seorang Sunni sebagai raja: Faisal I dari Irak. Meskipun Sunni adalah minoritas di Irak, menetapkan mereka sebagai pemimpin membuat kelompok agama dan etnis lain seperti Syiah, Kurdi, dan agama minoritas lainnya merasa terpinggirkan.[3]

Dengan kemerdekaan negara Irak pada tahun 1932, perjuangan untuk menciptakan identitas nasional Irak menjadi lebih jelas. Meskipun Faisal I berulang kali mencoba menyatukan nilai-nilai dan praktik budaya Syiah, Sunni, dan populasi lainnya dalam konteks Pan-Arabisme, hasilnya adalah perbedaan yang lebih terlihat antara kelompok etnis dan agama di Irak. [4] Banyak Syiah menentang Pan-Arabisme karena ketakutan mereka akan marjinalisasi sementara banyak orang Kurdi menentang Pan-Arabisme karena keinginan untuk membuat negara Kurdi yang merdeka.[5] Jadi di satu sisi, Syiah, Kurdi, dan sekte lainnya menolak untuk melepaskan nilai dan praktik budaya mereka. Sementara di sisi lain, kaum Sunni yang berkuasa mencoba menghapuskan nilai-nilai dan praktik-praktik tersebut dengan mengkohesikan mereka dalam Pan-Arabisme. Akhirnya, hal ini mengarah pada konsolidasi yang lebih jelas dari berbagai komunitas yang menghasilkan peningkatan perpecahan di antara penduduk Irak. [6] Selain itu, kemerdekaan Irak dan perjuangan untuk menciptakan identitas nasional mengakibatkan berbagai pemberontakan dan bentrokan suku yang gagal pada tahun 1930-an. Namun, pemerintah berkali-kali berhasil meredam kerusuhan dan mempertahankan hegemoninya.[7]

Upaya pertama untuk menguraikan frustrasi sektarian setelah pembentukan negara Irak terdokumentasi resmi di dokumen Piagam Najaf pada tahun 1935. Dalam 12 poin manifesto ini, sekelompok pengacara Syiah menyatakan ketidakpuasan mereka tentang diskriminasi sektarian terhadap mayoritas penduduk Syiah dan menyerukan proyek pembangunan seluruh negeri terutama di selatan serta penunjukan hakim dan pengadilan Syiah di wilayah yang didominasi Syiah. Meskipun manifesto ini adalah upaya pertama untuk menampilkan frustrasi, aspirasi, dan tuntutan politik elit sektarian, seruan mereka tetap tidak didengar.[7]

Setelah 1932, pemerintah Irak terus memperluas birokrasinya dengan meningkatkan kontrol Sunni atas sistem kenegaraan. Meskipun sentralisasi pemerintahan membuat menurunnya tingkat pemberontakan dan kerusuhan, tetapi ketegangan sektarian di antara penduduk Irak terus meningkat.[8] Ketegangan sektarian ini ditambah dengan distribusi kekayaan yang sangat tidak seimbang antara elite perkotaan dengan penduduk pedesaan.[5] Ketegangan ini akhirnya menghasilkan Revolusi 14 Juli 1958 di mana monarki Hasyimiyah digulingkan oleh sekelompok perwira militer di bawah pimpinan Jenderal Abdul Karim Qasim yang kemudian mendirikan Republik Irak. Memiliki latar belakang campuran Sunni-Syiah, Jenderal Abdul Karim Qasim menghapus praktik pembatasan Syiah dan orang-orang dengan latar belakang etnis lain ke dalam militer. Meskipun tindakan ini membuatnya menjadi disukai, ketegangan sektarian dengan penduduk Kurdi di Irak berkembang menjadi konflik kekerasan yang dimulai pada tahun 1961 setelah Qasim tidak dapat memenuhi janjinya tentang hak-hak nasional Kurdi.[5] Selain itu, penerapan reformasi tanah dan reformasi hukum keluarga yang dilakukannya dapat menggerogoti kekuasaan para pemuka agama dan tuan tanah, sehingga meningkatkan ketegangan antara rezim Qasim dengan pemuka agama.[9]

Ketegangan ini, bersamaan dengan ketidaksepakatan di dalam pemerintahan untuk memprioritaskan agenda nasionalis Irak atau memilih agenda Pan-Arabisme, akhirnya mengakibatkan penggulingan rezim Qasim pada Februari 1963 yang juga dikenal sebagai Revolusi Ramadan.[10] Setelah berbagai pertempuran berdarah antara kelas pekerja yang beraliran Syiah dengan milisi Ba'athis, berbagai perwira tentara Nasionalis Arab, terutama perwira yang berafiliasi dengan Sunni langsung mengambil alih kekuasaan.[10] Dari kubu Pan-Arabisme, Abdul Salam Arif menjadi presiden. Namun, kekuasaannya terus-menerus ditentang oleh anggota kabinetnya yang memilih jalur yang lebih sektarian dan kekerasan. Para anggota kabinet Arif kemudian bergabung menjadi anggota Partai Ba'ath. Untuk menenangkan elemen-elemen ini, loyalitas komunalisme dan sektarianisme dipulihkan di bawah kepresidenan Arif, serta kekuatan politik nasionalis Arab Sunni. Dengan demikian, kebijakan sektarian tetap ada dan semakin meningkatkan ketegangan sektarian dan antar-komunal.[7] Dalam suasana tegang tersebut, berbagai perwira dan kelompok merencanakan kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan Arif dan merebut kekuasaan.[10] Akhirnya, dalam kudeta tak berdarah pada tahun 1968, Partai Ba'ath merebut kekuasaan untuk kedua kalinya dalam satu dekade.[11]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi