Solusi penyelesaian konflik Palestina dan israel
SOLUSI SATU NEGARA FEDERAL
Solusi satu negara (bahasa Inggris: one-state solution) atau solusi binasional adalah solusi yang diusulkan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.[1] Pendukung solusi binasional menganjurkan pendirian satu negara yang mencakup wilayah Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza,[1][2] dengan status kewarganegaraan dan hak-hak yang setara untuk semua penduduk di wilayah tersebut tanpa memandang latar belakang etnis atau agama.[1] Beberapa orang menganjurkan solusi ini atas dasar ideologis,[1] sementara ada pula yang merasa bahwa ini merupakan situasi secara de facto akibat fakta di lapangan.[3][4]
Dukungan
Dalam sebuah survei oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research (PSR), terdapat peningkatan terhadap dukungan solusi satu negara dari 24% menjadi 33% hanya dalam kurun waktu 3 bulan di kalangan warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza sekitar awal Mei 2022. Khalil Shikaki, direktur PSR, berujar bahwa sebagian besar dukungan datang dari kalangan muda yang umumnya nasionalis, yang meski begitu, pertumbuhan popularitas terhadap dukungan juga tampaknya lebih menyebar kali ini.[5]
Bagi banyak warga Palestina, berlanjutnya aneksasi oleh Israel terhadap tanah warga Palestina membuat mereka sulit membayangkan terwujudnya pembentukan negara Palestina melalui negosiasi dengan Israel.[5]
Perdebatan
Walaupun masih diperdebatkan oleh para akademisi, solusi ini bukanlah solusi yang ditawarkan secara resmi oleh pemerintah atau badan internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, karena mereka lebih menganjurkan solusi dua negara. Solusi dua negara sebagai konsep umum sudah disepakati oleh pemerintah Israel dan Palestina di Konferensi Annapolis pada bulan November 2007, dan tetap menjadi landasan perundingan yang diusulkan oleh pemerintahan Barack Obama pada tahun 2011. Namun, kedua belah pihak masih belum dapat menemukan penyelesaian secara menyeluruh.[6][7]
SOLUSI DUA NEGARA BERDAULAT
Solusi dua negara (bahasa Inggris: two-state solution) merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel–Palestina menyerukan untuk dibuatnya "dua negara untuk dua warga." Dengan solusi dua negara, Negara Palestina berdampingan dengan Israel, di sebelah barat Sungai Yordan. Perbatasan antarnegara masih dipersengketakan dengan pemimpin Palestina dan negara Arab menginginkan "perbatasan pada tahun 1967", yang tidak disepakati oleh Israel. Wilayah bekas Mandat atas Palestina tidak akan menjadi bagian dari Negara Palestina, dan akan menjadi bagian dari wilayah Israel.
Sejarah dari kerangka solusi telah tertulis dalam resolusi PBB mengenai "penyelesaian damai tentang masalah Palestina" yang ada sejak tahun 1974.[1][2][3] Resolusi tersebut menyerukan untuk "kedua negara, Israel dan Palestina ... hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui" dengan "sebuah resolusi masalah sesuai dengan resolusi PBB 194". Batas negara Palestina "berdasarkan dengan batas negara sebelum tahun 1967". Resolusi terbaru pada bulan November 2013 disahkan dengan suara 165-6, dengan 6 abstain.[4] Negara yang menentang adalah Kanada, Israel, Amerika Serikat, Negara Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshall dan Palau.[5]
Palestina telah "menunjukkan niat yang serius" untuk solusi dua negara sejak pertengahan tahun 1970an, dan pemimpin negara lainnya telah mendukung konsep sejak tahun 1982 KTT Arab di Fez.[6]
Selama bertahun-tahun, hasil jajak pendapat "Israel dan Palestina mendukung solusi dua-negara."[7]
Sudah banyak upaya diplomatik yang dilakukan untuk mewujudkan solusi dua negara, mulai dari Konferensi Madrid tahun 1991. Kemudian Perjanjian Oslo 1993 dan Pertemuan Camp David 2000 yang gagal, dan dilanjutkan dengan Pertemuan Taba di awal tahun 2001. Pada tahun 2002, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa perdamaian terbaru adalah Pembahasan Perdamaian tahun 2013-2014 yang juga gagal.
Sejarah solusi dua negara
Usulan awal untuk pembentukan negara Yahudi dan Arab di Mandat Britania atas Palestina Mandat Britania atas Palestina diajukan pada laporan Komisi Peel tahun 1937, dengan Mandat Britania tetap menguasai wilayah kecil termasuk Yerusalem. Usulan itu ditolak oleh masyarakat Arab di Palestina,[8][9] namun diterima oleh sebagian besar pemimpin Yahudi.
Pemisahan diusulkan kembali pada Rencana Pembagian PBB 1947 untuk Palestina. Rencana ini mengusulkan untuk dibagi menjadi tiga wilayah, dengan Yerusalem di bawah kuasa internasional. Rencana pemisahan tersebut diterima oleh para pemimpin Yahudi. Namun, ditolak oleh pemimpin negara-negara Arab dan Palestina, yang menentang setiap pemisahan Palestina dan adanya negara Yahudi di daerah tersebut. Perang Arab-Israel 1948 untuk menguasai wilayah sengketa pecah pada akhir Mandat Britania, yang diakhiri dengan Perjanjian Gencatan Senjata 1949.[butuh rujukan]
Resolusi PBB 242 dan pengakuan hak-hak Palestina
Setelah Perang Arab-Israel 1967, Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi 242 yang menyerukan penarikan tentara Israel dari wilayah yang diduduki selama perang, dengan timbal balik "pengakuan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan setiap negara di wilayah tersebut". Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengkritik resolusi tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu membuat masalah Palestina hanya menjadi masalah pengungsi biasa.[10]:18
Pada bulan September 1974, 56 Negara Anggota mengusulkan "masalah Palestina" akan dimasukkan dalam agenda Majelis Umum. Dalam sebuah resolusi yang diadopsi pada 22 November 1974, Majelis Umum menegaskan hak-hak Palestina, yang termasuk "hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi eksternal", "hak untuk kemerdekaan dan kedaulatan nasional", dan "hak untuk kembali ke rumah mereka". Hak-hak ini telah ditegaskan kembali setiap tahunnya.[10]:24[2]
Dukungan PLO dari solusi dua negara
Tanda pertama PLO bersedia untuk menerima solusi dua negara, disampaikan oleh Said Hammami di pertengahan 1970an.[11][12]
Resolusi Dewan Keamanan mengenai solusi dua negara dapat ditilik kembali dari bulan Juni 1976 dengan berdasarkan batas negara sebelum 1967 namun diveto oleh Amerika Serikat,[13] yang mendukung solusi dua-negara, tetapi berpendapat bahwa batas negara harus dinegosiasikan langsung oleh kedua pihak. Gagasan tersebut medapat dukungan penuh di Majelis Umum PBB sejak pertengahan 1970an.[14]
Deklarasi Kemerdekaan Palestina 15 November 1988, yang didasarkan pada Rencana Pembagian PBB 1947 dan "resolusi PBB sejak tahun 1947" ditafsirkan sebagai pengakuan tidak langsung dari Israel, dan dukungan untuk solusi dua negara. Rencana Pembagian kembali diajukan untuk memberikan legitimasi bagi negara Palestina. Selanjutnya, beberapa klarifikasi dilakukan untuk pengakuan Palestina atas Israel secara langsung pertama kalinya.[15][16]
Upaya diplomatik
Pada tahun 1975, Majelis Umum membentuk Komisi Pelaksanaan Hak Asasi Rakyat Palestina. Pada tahun 1976, Komisi menyampaikan dua rekomendasi, yang pertama adalah Hak kembali Palestina ke rumah mereka dan mendapat seluruh hartanya, dan yang kedua adalah hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Dewan Keamanan membahas rekomendasi tersebut namun gagal untuk menetapkan keputusan karena diveto Amerika Serikat.[10]:25
Setelah Intifadhah Pertama dimulai pada tahun 1987, berbagai upaya diplomatik dilakukan untuk menegosiasikan solusi dua negara antara kedua pihak, yang diawali dengan Konferensi Madrid tahun 1991. Negosiasi yang paling berpengaruh adalah Perjanjian Oslo, yang secara resmi membagi wilayah Palestina menjadi tiga pembagian administratif dan menciptakan dasar batas negara Israel dengan wilayah Palestina saat ini. Perjanjian ini ditegaskan pada Pertemuan Camp David 2000, dan ditindaklanjuti pada Pertemuan Taba di Januari 2001, tetapi tidak ada kesepakatan akhir yang dicapai. Pecahnya Intifadhah Kedua pada tahun 2000 telah menunjukkan kekecewaan rakyat Palestina dengan Perjanjian Oslo dan meyakinkan warga Israel bahwa perundingan menjadi sia-sia.
Kemungkinan solusi dua negara telah dibahas oleh pemimpin Saudi dan AS.[17] Pada tahun 2002, Putra Mahkota (Raja sampai Kanuari 2015) Abdullah dari Arab Saudi mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab, yang mendapatkan dukungan penuh dari Liga Arab, sementara pemimpin Israel terus menolak membahas prakarsa tersebut. Presiden Bush mengumumkan dukungannya bagi negara Palestina, membuka jalan bagi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1397,[18] yang mendukung solusi dua negara.
Pada Konferensi Annapolis bulan November 2007, tiga pihak utama—PLO, Israel, dan AS—setuju pada solusi dua negara sebagai poin utama negosiasi. Namun, pertemuan tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan.
Setelah konflik yang terjadi antara Fatah dan Hamas, Hamas mengambil alih Jalur Gaza, yang memecah Otoritas Palestina menjadi dua pihak, masing-masing mengklaim diri sebagai perwakilan rakyat Palestina. Fatah menguasai Otoritas Nasional Palestina di Tepi Barat dan Hamas menguasai Gaza.
Prakarsa terbaru pada tahun 2013-14 di bawah panduan John Kerry, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Pertemuan ini juga gagal untuk mencapai kesepakatan.
Viabilitas
Pada tahun 2010, ketika pertemuan langsung dijadwalkan akan dimulai kembali, permukiman di Tepi Barat semakin berkembang dan dukungan kuat dari Pemerintah Israel telah mengurangi lahan dan sumber daya yang ada untuk Palestina membuat Palestina dan Israel sayap kiri ragu bahwa solusi dua negara dapat dilakukan.[19] Pada bulan Januari 2012, laporan Ketua Misi Uni Eropa di Yerusalem Timur menemukan bahwa Israel melanjutkan kegiatan pembangunan permukiman dan situasi yang tidak stabil bagi penduduk Palestina di Yerusalem Timur, dan juga di area C, membuat solusi dua negara kurang memungkinkan untuk terlaksana.[20] Kementerian Luar Negeri Israel menyangkal laporan Uni Eropa dan mengklaim laporan itu "berdasarkan penggambaran kenyataan di lapangan yang parsial, bias dan memihak satu sisi.".[21] Pada Mei 2012, Dewan Uni eropa menekankan "perhatian mendalam mengenai perkembangan di lapangan yang mengancam solusi dua-negara menjadi mustahil untuk dilakukan'.[22]
Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengakui Palestina sebagai "negara pengamat non-anggota" dengan suara 138-9 dan 46 abstain. Keesokan harinya, PM Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan akan membangun 3.000 rumah baru di atas tanah sebelah timur di Yerusalem Timur, di daerah yang mereka sebut "E-1".[23] langkah itu segera dikritik oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, dengan duta besar Israel menjadi dipanggil untuk bertemu dengan perwakilan pemerintah Britania Raya, Prancis dan Jerman, dan lainnya. Keputusan Israel untuk membangun rumah disebut oleh pemerintahan Obama sebagai "kontraproduktif", sementara Australia mengatakan bahwa rencana pembangunan "mengancam viabilitas dari solusi dua negara". Hal ini karena mereka mengklaim usulan permukiman E-1 akan membagi wilayah yang berada di bawah kendali Otoritas Nasional Palestina menjadi dua, dan wilayah Otoritas tidak akan bisa mencapai Sungai Yordan dan Laut Mati secara langsung dan harus melewati wilayah Israel.[24][25][26][27][28]
Permukiman di Tepi Barat
Resolusi PBB menegaskan tidak sahnya pemukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.[29] Beberapa usulan ditawarkan untuk kompensasi pemukim yang rumahnya ditinggalkan, seperti yang terjadi setelah Israel menarik permukiman dari Gaza pada tahun 2005 dan dari Semenanjung Sinai pada tahun 1982.[30][oleh siapa?]
Opini publik di Israel dan Palestina
Banyak warga Palestina dan Israel, serta Liga Arab,[31] telah menyatakan bahwa mereka akan menerima solusi dua negara berdasarkan Perjanjian Gencatan Senjata 1949, atau lebih sering disebut "perbatasan 1967". Pada tahun 2002, jajak pendapat yang dilakukan oleh PIPA menunujukkan 72% responden Palestina dan Israel mendukung penyelesaian masalah berdasarkan perbatasan 1967 asalkan masing-masing pihak dapat memastikan bahwa pihak lain akan bersikap kooperatif dalam membuat konsesi yang diperlukan untuk suatu penyelesaian.[32] Jajak pendapat Gallup pada tahun 2013 menunjukkan 70% warga Palestina di tepi Barat dan 48% warga Palestina di Jalur Gaza, serta 52% warga Israel mendukung "Negara Palestina yang merdeka hidup berdampingan dengan Israel".[33]
Dukungan untuk solusi dua negara akan berbeda-beda tergantung kata-kata yang terdapat pada pertanyaan. Beberapa jurnalis Israel menunjukkan bahwa Palestina tidak siap untuk menerima sebuah Negara Yahudi.[34][35] Menurut suatu jajak pendapat, " kurang dari 2 dari 10 orang-orang Arab, baik Palestina dan negara lain, yakin pada hak Israel untuk ada sebagai bangsa dengan mayoritas Yahudi."[36] Pada jajak pendapat lain, yang diadakan oleh Departemen Luar Negeri AS, menunjukkan bahwa 78% warga Palestina dan 74% warga Israel meyakini kesepakatan damai yang akan menjadikan kedua negara hidup berdampingan sebagai tetangga yang baik sebagai hal yang penting atau diinginkan.[37]
Dalam sebuah jajak pendapat pada tahun 2007, 72% responden Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza menyetujui solusi satu negara atau dua negara; 46% memilih solusi dua-negara, dan 26% memilih solusi satu negara.[38] Dukungan solusi tersebut lebih rendah di kalangan muda Palestina, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice menyatakan: "Semakin banyak warga Palestina yang membahas tentang solusi dua-negara adalah warga di usia saya."[39] Sebuah survei yang dilakukan sebelum pecahnya pertempuran di 2014 oleh Washington Institute for Near East Policy menunjukkan 60% warga Palestina menganggap tujuan dari gerakan nasional harus "bekerja mengklaim kembali semua sejarah Palestina dari sungai hingga laut" dibandingkan dengan hanya 27% yang mendukung gagasan bahwa mereka harus bekerja "untuk mengakhiri pendudukan di Tepi Barat dan Gaza dan mencapai solusi dua negara." WINEP mengatakan bahwa "ini adalah temuan baru jika dibandingkan dengan pertanyaan yang serupa (namun tak sama) yang diajukan terdahulu, ketika dukungan untuk solusi dua negara biasanya berkisar antara 40-55 persen".[40]
Solusi dua negara juga didukung dalam jajak pendapat di Israel jajak pendapat meskipun terjadi penurunan dukungan dari waktu ke waktu.[41] Jajak pendapat Haaretz pada tahun 2014 menanyakan "Dengan mempertimbangkan kerangka kerja dalam sebuah kesepakatan, dengan sebagian besar pemukim dikuasai Israel, Yerusalem akan dibagi, pengungsi tidak kembali ke Israel, dan akan ada keamanan yang ketat, apakah anda akan mendukung perjanjian ini?", hanya 35% dari Israel mengatakan setuju.[40]
Usulan kewarganegaraan ganda
Sejumlah usulan mengenai pemberian kewarganegaraan Palestina atau izin tinggal untuk warga Yahudi dengan timbal balik Israel menyingkirkan instalasi militer dari Tepi Barat telah diajukan oleh berbagai tokoh[45] seperti Yasir Arafat[46]
Menteri Israel Moshe Ya'alon mengatakan di bulan April 2010 bahwa "sama seperti orang Arab yang tinggal di Israel, maka seharusnya orang Yahudi dapat tinggal di Palestina." ... "Jika kita berbicara tentang perdamaian, mengapa [Palestina] bersikukuh agar wilayah yang mereka terima akan dibersihkan dari orang-orang Yahudi?".[47]
Gagasan tersebut diungkapkan oleh pendukung dari solusi dua negara[48] dan pendukung dari konservatif atau fundamentalis di Israel.
SOLUSI ANEKSASI GAZA OLEH MESIR dan TEPI BARAT OLEH YORDANIA
Solusi tiga negara, juga disebut solusi Mesir-Yordania, adalah solusi yang diusulkan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina dengan mengembalikan wilayah Tepi Barat kepada Yordania dan Jalur Gaza kepada Mesir. Pada dasarnya solusi ini ingin mengembalikan situasi seperti sebelum Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan sesudah gencatan senjata pada tahun 1949. Contoh pendukung solusi ini adalah ahli politik Ian Bremmer karena ia merasa bahwa solusi dua negara dan satu negara tidak dapat diwujudkan.[1][2] Mantan Duta Besar Amerika untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa John R. Bolton juga pernah mengusulkan solusi tiga negara.[3] Namun, solusi dua negara tetap menjadi solusi yang lebih diinginkan oleh pemerintahan dan badan internasional. New York Times juga melaporkan pada Januari 2009 bahwa Mesir dan Yordania merasa khawatir bahwa suatu hari mereka harus kembali mengemban tanggung jawab di Gaza dan Tepi Barat.[4] Usulan untuk memberikan kewarganegaraan Yordania kepada orang Palestina juga sangat ditentang oleh pemerntah Yordania.[5]
Komentar
Posting Komentar