Keraton Pesisir dan Keraton Pedalaman dalam Kesultanan Mataram

 urabaya kerajaan pesisir, sedangkan Mataram kerajaan pedalaman. Wajar kalau Surabaya lebih maju dalam urusan peradaban karena lebih update terhadap kemajuan pada masanya.

Kami memang kalian taklukkan, tapi kami juga mewarnai peradaban kalian

Karena pusat kerajaannya terletak di pedalaman dan hubungan antar wilayah dilakukan dengan perjalanan darat, oleh raja-raja di Jawa Timur, Mataram pada abad ke XV-XVI dianggap sebagai daerah terbelakang yang berperadaban kasar (De Graaf dan TH Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 1974). Sebagian raja-raja (Islam) Jawa Timur yang “Ketua Gank-nya” adalah Kerajaan Surabaya, merupakan keturunan pedagang Islam yang sudah lebih maju peradabannya dan berasal dari negeri asing.

Tidak lama setelah berhasil mengalahkan Pajang dalam Pertempuran Prambanan tahun 1582, Panembahan Senopati (raja pertama Mataram yang bertahta tahun 1582-1601) berupaya agar kekuasaannya diakui di Jawa Timur dengan mengerahkan pasukannya pada tahun 1589. Pada kampanye militer pertama ke Tlatah Wetan tersebut pasukan Panembahan Senopati di dekat Japan (Mojokerto) masih mampu dibendung oleh gabungan kekuatan sejumlah besar raja-raja Jawa Timur seperti Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Lumajang, Kertosono, Malang, Pasuruan, Kediri, Wirasaba, Blitar, Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Sampang, Sumenep dan Pakacangan di bawah komando Kerajaan Surabaya.

Sunan Giri Prapen sebagai “Pausnya Tanah Jawa” lalu mendamaikan Mataram dan Surabaya dengan memerintahkan Raja Surabaya (Panji Wiryakrama) dan Panembahan Senopati memilih “bungkus atau isi” sampai kedua penguasa ini sepakat untuk berdamai (sementara). Sunan Prapen juga mengeluarkan "ramalan" bahwa selanjutnya Dinasti Mataram lah yang akan menguasai seluruh Tanah Jawa. Menurut saya "ramalan" ini lebih kepada "kalkulasi matematis" sang Sunan menyaksikan kedigdayaan Angkatan Perang Mataram yang pada masanya, meskipun kerajaannya berpusat di pedalaman, tetapi sudah menguasai teknologi militer modern dengan memiliki senapan musket dan meriam sundut.

Pada tahun 1590, Panembahan Senopati merangsek menaklukkan Madiun. Meskipun sebelumnya penguasa Madiun, Panembahan Madiun dengan rela mengakui kekuasaan Sultan Pajang sebagai penguasa tertinggi Tanah Jawa pada tahun 1581 (sebelum Pajang dikalahkan Mataram tahun 1582), tetapi sikapnya terhadap Panembahan Senopati berubah menjadi negatif ketika menyaksikan nafsu berkuasa raja muda Mataram ini tampak jelas pasca mengalahkan Pajang. Panembahan Madiun yang secara terang-terangan lebih memperlihatkan ikatannya dengan raja-raja di Jawa Timur, dipukul mundur ke Wirasaba oleh pasukan Panembahan Senopati. Pertempuran di Madiun diakhiri karena “kawin paksa romantis” antara Panembahan Senopati dengan putri Panembahan Madiun bernama Ratna Dumilah.

Pernikahan ini di sisi lain menyebabkan perpecahan antara Panembahan Senopati dengan Raja Pati, Adipati Pragola, yang juga kakak iparnya (istri pertama sekaligus permaisuri Panembahan Senopati, Ratu Waskita Jawi, adalah adik kandung Adipati Pragola). Ketika nafsu imperialisme adik iparnya dirasa sudah kelewatan, pada tahun 1600 Adipati Pragola mencoba menyerang Mataram tetapi berhasil dikalahkan oleh pasukan Panembahan Senopati di Kali Dengkeng Prambanan. Mataram pun melanjutkan kebijakan ekspansionismenya sampai akhirnya memperoleh lawan berat yaitu VOC yang gagal ditaklukkannya pada tahun 1628 dan 1629; dilanjutkan keruntuhannya dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan besar ini menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kembali ke Surabaya. Setelah melalui peperangan panjang sejak tahun 1614 dimana Mataram mengerahkan kontingen raksasa berjumlah 70.000 prajurit dan senjata biologi untuk meracuni anak Sungai Brantas (Kali Mas), Surabaya akhirnya takluk pada tahun 1625. Laporan pejabat VOC ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyatakan "Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada Raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50-60 ribu jiwa penduduk tinggal tidak lebih dari seribu".

Sebelum melancarkan pukulan akhir terhadap kerajaan yang berdiri sejak tahun 1546 tersebut, Mataram menaklukkan terlebih dahulu sekutu pemasok kebutuhan pangan warga Surabaya seperti Sukadana tahun 1622 dan Madura tahun 1624. Setelah takluk, Sultan Agung menikahkan adiknya, Ratu Pandansari, dengan Pangeran Pekik (penguasa Surabaya anak dari Raden Jayalengkara) pada tahun 1630 sehingga hubungan Mataram dan Surabaya semakin kokoh.

Mataram yang “orang pedalaman” juga memperoleh banyak suntikan peradaban dari Surabaya yang "orang pesisir". Dan meskipun jejak Keraton Surabaya sendiri saat ini tidak banyak ditemui, toponimi atau nama-nama daerah dan jalan di Surabaya menandakan bahwa peradaban Kerajaan Surabaya pada masanya sangat tinggi. Ada sebuah kawasan bernama Kampung Keraton di selatan Tugu Pahlawan. Kini tempat tersebut diberi nama Jalan Kraton. Kawasan itulah yang diduga menjadi pusat Keraton Surabaya, tempat tinggal raja Surabaya pada abad XV-XVI. Beberapa kampung kuno yang tempatnya masih bisa dikunjungi hingga kini antara lain Pandean (tempat pandai besi), Kawatan (pusat kerajinan kawat), Bubutan (pusat kerajinan bubut), Plampitan (pusat lampit/industri rumah tangga), Kranggan (tempat tinggal rangga atau pejabat birokrasi), Praban (tempat tinggal praba atau putra mahkota), dan Kebonrojo (hutan tempat raja berburu).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi