Sejarah ditulis oleh pemenang ?
Sebuah pepatah Afrika mengatakan, “until lions have their historians, tales of the hunt shall always glorify the hunter.” Sampai yang namanya singa itu bisa menulis, para pemburu dapat menggembar-gemborkan aksi berburunya dan menjustifikasi pembunuhan terhadap si singa adalah perlu untuk melindungi orang lain dari kebuasannya.
Bayangkan ketika singa sudah bisa menulis. Ia bisa mendebat klaim para pemburu dan menceritakan kisah dari sudut pandangnya sendiri: bagaimana ketakutannya si pemburu menghadapi kekuatan alam liar, bagaimana hanya demi pemuasan nafsu semata membuat dirinya membunuh makhluk hidup yang tak berdaya, dan lain-lain. Sampai akhirnya terungkaplah mana sebenarnya makhluk hidup yang paling buas terhadap sesamanya.
Hal di atas paralel dengan pepatah, “sejarah ditulis oleh para pemenang”. Tidak tepat, untuk saya. Memang, layaknya hukum rimba, pihak yang menang dalam suatu konflik dapat sesuka hati mengglorifikasi dalil perjuangannya. Para pemimpin besar dalam sejarah dunia tahu betul pentingnya hal itu.
“Kita akan tercatat dalam sejarah entah sebagai negarawan-negarawan terhebat di dunia atau musuh-musuh mereka yang paling buruk,” ujar Hermann Goring, salah satu petinggi Partai Nazi pada tahun 1937, dua tahun sebelum Jerman membuka tirai Perang Dunia II. Kita semua tahu hasil akhirnya: Jerman kalah, Partai Nazi dikonotasikan sebagai inkarnasi iblis, dan orang-orangnya dicap sebagai para penjahat kemanusiaan paling biadab di dunia.
Namun, kelompok yang kalah tidak harus menjadi kelompok yang musnah. Ruang sejarah harusl disediakan bagi mereka. Idealnya, hal itu dilakukan dengan memberikan kebebasan bagi mereka untuk mencari tahu dan menyuarakan narasi sejarah alternatif tanpa direspons dengan tendensi agresif oleh pihak pemenang.
Sudah banyak contoh dalam sejarah, ketika pihak yang kalah justru lebih lantang dan menyuarakan narasi yang lebih lengkap daripada si menang. Misalnya, sejarah Perang Sipil Amerika (1861-1865), yang dalam beberapa dasawarsa awal pasca perang, lebih banyak ditulis oleh pihak Selatan (Konfenderasi) yang kalah.
Dengan semangat “The Lost Cause”, orang-orang Selatan menuliskan bahwa dalil perjuangan mereka bukan sekadar pro-perbudakan, tetapi juga usaha mempertahankan identitas masyarakat mereka. Pandangan-pandangan dari Selatan inilah yang di kemudian hari membuka lebih banyak fakta tentang Perang Sipil, mengimbangi versi Utara (Serikat) sebagai pihak yang menang.
Singkatnya, semakin banyak aspek yang muncul memicu terjadinya rekonsiliasi sejarah yang berhasil dan berperan dalam membentuk kedewasaan historis dan luasnya cakrawala pikir nasionalisme bangsa Amerika.
Memahami sejarah secara lebih utuh akan amat sulit apabila si menang melakukan eliminasi terhadap narasi sejarah si kalah. Seperti Tragedi 1965, tendensi ini adalah ciri khas Orde Baru. Seperti ditulis dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, negara menjadi sentral dan wakil-wakil negara merupakan aktor sejarah satu-satunya yang memiliki legitimasi.
Karenanya, gema suara di sekitar Tragedi 1965 selalu berkisar tentang subyek-subyek besar: pembunuhan para jendral, pudarnya pamor Sukarno, munculnya Suharto, pelarangan Partai Komunis Indonesia dan ideologinya, dan lain-lain.
Hal itulah yang coba dilawan oleh pemerhati sejarah pasca Orde Baru, beserta pula pegiat hak asasi manusia. Luka sesungguhnya dari Tragedi 1965 adalah “pembersihan” terhadap upaya kudeta yang berujung pada tewasnya kurang lebih 500 ribu orang Indonesia, baik yang tertuduh sebagai antek PKI, golongan minoritas Tionghoa, atau bahkan orang tidak bersalah yang dibuat salah. Tragedi 1965 yang terjadi di masyarakat sudah saatnya dimunculkan untuk melihat dalamnya masalah ini mengingat besarnya kejahatan kemanusiaan yang terjadi.
Namun, sayang, pemerintahan reformasi, yang seharusnya bisa bersikap netral dan mengayomi perjuangan para pembawa narasi alternatif, justru bersikap sinis terhadap kelompok yang disebut terakhir. Elemen masyarakat yang menjadi korban, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi, akibat Tragedi 1965 masih kesulitan untuk menuntut keadilan. Terlebih ketika tuntutan tak terbalas ini disambut lebih ganas oleh elemen fundamental dan ekstrim kanan.
Dalam Culture of Defeat, sejarawan Jerman, Wolfgang Schivelbusch, mengatakan bahwa kekalahan adalah pendorong utama bagi pihak yang kalah untuk menemukan dirinya kembali. Sedangkan pihak yang menang cenderung kaku dalam mempertahankan status kemenangannya, menjadi tidak kreatif, dan akhirnya jatuh. Itulah yang terjadi saat ini dalam isu Tragedi 1965.
Komentar
Posting Komentar