Mutasyarif Yerusalem
1. Rakyat Arab di Palestina gak keberatan berada di bawah kuk Turki muslim.
Artikel Wikipedia ini cukup bagus merangkum riwayat nasionalisme Palestina: Palestinian nationalism - Wikipedia. Dikatakan oleh sejarawan Rashid Khalidi di bukunya Palestinian Identity: The Construction of Modern National Consciousness (1997), nasionalisme Arab Palestina mulai ada benih-benihnya berbarengan dengan gelombang nasionalisme lain antara abad 19 di era Ottoman sampai era Mandat Britania. Tapi nasionalisme Palestina baru benar-benar terbentuk setelah ada Negara Israel.
Pejabat Turki di depan Dome of Rock, Haram al-Sharif
Tentu saja ini menjadikan nasionalisme Palestina sebagai reaksi terhadap Zionisme. Tapi waktu perang Arab-Israel 1948 berakhir dan Mesir-Yordania menduduki sebagian dari Mandat Palestina, penduduk Arab Palestina tidak 'protes' dan melawan 'penjajah' Mesir dan Yordania untuk memiliki negara sendiri. Padahal Pemerintah Seluruh Palestina di Gaza jelas-jelas berada di bawah kendali pemerintah Mesir dan seluruh Tepi Barat dianeksasi oleh Yordania (bahkan penduduk Tepi Barat dikasih KTP Yordania dan perwakilan di parlemen Yordania). Ini menunjukkan bahwa di 1948–1967 nasionalisme Palestina belum benar-benar lahir, karena rakyat Arab Palestina tidak keberatan diperintah oleh Kairo maupun Amman.
Raja Yordania, Abdullah I, di Haram al-Sharif
Nasionalisme Palestina baru benar-benar lahir waktu faksi-faksi seperti Fatah, PFLP, dll mengangkat senjata melawan Israel di tahun 1960an di bawah pimpinan Yasser Arafat. Di situlah mereka benar-benar tegas minta "Negara Palestina", bukan cuma kepingin "mengusir Israel".
Saya pribadi menyimpulkan bahwa nasionalisme Palestina memang jadinya berbeda dengan nasionalisme Indonesia yang merangkul berbagai etnis berdasarkan kesamaan nasib dan bahasa. Nasionalisme Palestina lahir agak 'terlambat' karena sebelumnya mereka gak keberatan berada di bawah kuk penguasa muslim atau Arab, apakah itu dinasti Osmanli, dinasti Muhammad Ali, atau dinasti Hasyimiyah. Perlawanan mereka hanya kepada Zionisme. Itu sebabnya banyak yang menuduh nasionalisme Palestina lemah karena hanya sebagai reaksi atas Zionisme. Tapi sejarawan James L. Gelvin di bukunya The Israel–Palestine Conflict: One Hundred Years of War (2005) mengatakan, fakta bahwa nasionalisme Palestina adalah reaksi dari Zionisme tidak membuatnya jadi kurang valid, karena banyak nasionalisme terbentuk juga sebagai reaksi atas "pihak yang lain". Ya seperti nasionalisme Indonesia sebagai reaksi dari penjajahan Belanda. Jadi ya sah-sah saja.
2. Istilah "Penjajahan" lebih banyak diterapkan ke kolonialisme Eropa.
Menurut KBBI: (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) )
jajah/ja·jah/ v, menjajah/men·ja·jah/ v 1 bepergian keluar masuk suatu daerah (negeri dan sebagainya) dari kota ke kota, dari desa ke desa: ia melakukan perjalanan ~ Pulau Sumatra; 2 menguasai dan memerintah suatu negeri (daerah dan sebagainya): Belanda ~ negeri kita lebih kurang 350 tahun lamanya;
Istilah "jajah" dan "jelajah" memang sama akarnya, jadi erat dengan era penjelajahan (Age of Discovery - Wikipedia) yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa untuk menemukan jalur laut menuju sumber rempah-rempah di timur. Memang era ini melahirkan kolonialisme Eropa di seluruh dunia.
Jadi Ottoman yang menguasai negeri Palestina sejak 1516 (merebutnya dari kesultanan Mamluk Mesir) sering tidak "disebut" sebagai "penjajahan" karena terjadi sebelum era kolonialisme Eropa.
3. Ini yang menurut saya yang paling penting: kekuasaan Ottoman atas Palestina tidak mengubah lanskap demografi di negeri itu. Kehidupan rakyat Arab Palestina tidak berubah selama ratusan tahun. Arab muslim, Arab Kristen, Arab Druze, Yahudi Palestina maupun Samaria hidup di sana selama turun temurun. Saya tidak menyangkal bahwa ada saja konflik komunal di antara kelompok-kelompok ini, tapi dampaknya tidak besar. Orang-orang Turki tidak kemudian berbondong-bondong membanjiri Palestina dan melakukan Turkifikasi atas Palestina. Memang pejabat-pejabat pemerintahan dipegang oleh orang-orang Turki, tapi kehidupan masyarakat di sana pada dasarnya tidak banyak berubah. Tuannya boleh berubah, tapi gak ngaruh juga secara dia hidup jauh di Konstantinopel kan.
4. Dan yang terakhir, kekuasaan Ottoman sudah berlangsung lama. Tidak banyak memori masih tersisa di kalangan Arab Palestina sekarang tentang gaya hidup mereka di bawah kekuasaan Ottoman dulu.
Ini tentunya kontras dengan era Israel sekarang.
1. Rakyat Arab Palestina di tahun 1948 dulu keberatan banget waktu imigran-imigran Yahudi ini tiba-tiba mendeklarasikan akan bikin "negara Yahudi/Zionis" di tanah yang sudah mereka tempati ratusan tahun itu. Dari dulu mayoritas di situ adalah penduduk Arab muslim, kok tahu-tahu imigran-imigran Yahudi ini bikin "negara Yahudi" di situ??
2. Rakyat Arab Palestina melihat pendudukan Israel sebagai perpanjangan tangan dari kolonialisme Eropa, khususnya Britania dan Amerika Serikat. Apalagi mayoritas Yahudi yang berimigrasi ke sana adalah Azhkenazi yang berasal dari Eropa.
3. Berdirinya Negara Israel menyebabkan perubahan demografi yang radikal. Demografi Mandat Palestina dulu dengan Israel-Palestina sekarang sangatlah berbeda, karena orang-orang Yahudi berimigrasi (aaliyah) ke sana sehingga mengubah dari mayoritas Arab muslim menjadi mayoritas Yahudi (dengan pengecualian beberapa kota-kota Arab). Banyak keluarga-keluarga Arab Palestina yang sejak 1948 hidup di pengungsian di Tepi Barat, Gaza, Suriah, Lebanon, dll.
Saya pernah menjelaskan perubahan demografi itu di sini:
4. Pendirian Negara Israel dan pendudukan atas Tepi Barat terjadi di abad 20, di saat seluruh dunia nasionalisme sangat dijunjung tinggi. Dan masih banyak memori dan trauma dari orang-orang Arab Palestina yang tersingkir karena perang atau karena bully dari pemerintahan pendudukan Israel.
Saya juga pernah menjelaskan kenapa Israel cocok kalau disebut sebagai "menjajah" Palestina.
Komentar
Posting Komentar