LEBARAN MASA KOLONIAL
Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, termasuk pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan kerja paksa, suasana lebaran Idulfitri di Indonesia tidak sebebas dan seceria sekarang. Di bawah pemerintahan Belanda, umat Islam di Indonesia diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan yang ketat dalam menjalankan ibadah lebaran dan tradisi yang terkait dengannya.
Pada masa VOC, umat Islam diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari hasil panen mereka sebagai pajak kepada pemerintah Belanda. Selain itu, pada hari raya Idulfitri, VOC memberlakukan kebijakan yang ketat untuk memastikan bahwa umat Muslim tidak melakukan praktik-praktik yang dianggap "tidak etis" atau berpotensi mengganggu ketertiban umum. Misalnya, pemerintah VOC melarang pemukiman Muslim untuk melakukan salat Id di masjid atau musala karena khawatir akan terjadi kerusuhan atau pemberontakan. Sebagai gantinya, VOC memberikan izin khusus untuk pemukiman Muslim melakukan salat Id di lapangan terbuka atau di sekitar tempat-tempat tertentu.
Pada masa kerja paksa, suasana lebaran juga tidak terlalu meriah karena umat Muslim diwajibkan untuk bekerja di bawah penjajah Belanda. Mereka juga dilarang untuk berpakaian dan mengadakan perayaan yang berlebihan. Selain itu, pada masa kerja paksa, umat Muslim juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk makanan dan sandang. Hal ini membuat suasana lebaran menjadi kurang meriah dan lebih banyak dipenuhi dengan kesedihan dan kesulitan.
Namun, meskipun kondisi tersebut cukup sulit, umat Muslim tetap berusaha untuk merayakan Idulfitri dengan cara yang mereka bisa. Mereka tetap menjaga semangat kebersamaan dan saling mengunjungi keluarga dan tetangga untuk saling bermaafan dan bersilaturahmi. Meskipun dalam kondisi yang sulit, semangat Idulfitri sebagai hari raya yang penuh kegembiraan tetap terus dijaga oleh umat Muslim di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar