Intervensi AS dalam pergantian rezim di dunia
Keterlibatan Amerika Serikat dalam pergantian rezim meliputi tindakan terang-terangan dan tindakan rahasia untuk mengubah, mengganti, atau mempertahankan pemerintahan negara-negara asing. Pada paruh akhir abad ke-19, pemerintah Amerika Serikat mulai melakukan pergantian rezim di Amerika Latin dan Pasifik barat daya, termasuk perang Meksiko–AS, Spanyol–AS dan Filipina–AS. Pada permulaan abad ke-20, Amerika Serikat membangun atau mendirikan pemerintahan bersahabat di berbagai negara, termasuk Panama, Honduras, Nikaragua, Meksiko, Haiti, dan Republik Dominika.
Usai Perang Dunia II, pemerintah AS memperluas wilayah operasi pergantian rezimnya. Negara ini berlomba-lomba melawan Uni Soviet untuk menguasai kepemimpinan dan pengaruh global dalam Perang Dingin. Operasi besar di luar wilayah operasi tradisional AS (Amerika Tengah dan Karibia) meliputi kudeta Iran 1953 yang diotaki AS dan Britania Raya, invasi Teluk Babi Kuba tahun 1961, pembantaian anti-komunis di Indonesia, dan dukungan untuk Perang Kotor di Argentina. Selain itu, AS campur tangan dalam pemilihan umum nasional di beberapa negara, termasuk Jepang pada tahun 1950-an dan 1960-an supaya Partai Demokrat Liberal berhaluan tengah-kanan tetap berkuasa menggunakan dana rahasia, Filipina untuk membantu kampanye presiden Ramon Magsaysay tahun 1953, dan Lebanon untuk membantu partai-partai Kristen dalam pemilu 1957 menggunakan suntikan dana rahasia.[3] AS diketahui melakukan sedikitnya 81 campur tangan terang-terangan dan rahasia dalam pemilihan umum di berbagai negara pada tahun 1946 sampai 2000.[4]
Selain itu, pada tahun 1945, Amerika Serikat meratifikasi[5] Piagam PBB, dokumen hukum internasional utama dunia[6] yang mewajibkan pemerintah AS patuh dengan pasal-pasalnya, termasuk Pasal 2(4) yang melarang ancaman atau pemaksaan dalam hubungan internasional, kecuali dalam keadaan tertentu.[7] Karena itu, setiap dasar hukum yang dipakai untuk membenarkan pergantian rezim oleh negara asing membutuhkan alasan yang sangat kuat.[8]
Setelah Uni Soviet bubar, Amerika Serikat memimpin atau mendukung perang untuk menentukan arah pemerintahan beberapa negara. AS beberapa kali menetapkan tujuan resmi untuk beberapa konflik, termasuk melakukan Perang Melawan Teror dalam perang Afghanistan 2001 dan menggulingkan rezim diktator dalam Perang Irak 2003 dan intervensi militer di Libya 2011.
Intervensi abad ke-19
1846: Meksiko
Perang Meksiko–Amerika Serikat adalah konflik bersenjata antara Amerika Serikat dan Meksiko tahun 1846 sampai 1848 usai aneksasi Texas oleh AS pada tahun 1845. Meksiko menganggap Texas sebagai bagian wilayahnya dan mengabaikan Revolusi Texas 1836.
Tentara Amerika Serikat menduduki New Mexico dan California, lalu menyerbu wilayah Meksiko Timur Laut dan Meksiko Barat Laut. Regu tentara AS lainnya menduduki Kota Meksiko. Perang ini dimenangi oleh Amerika Serikat. Perjanjian Guadalupe Hidalgo mencantumkan perubahan besar akibat perang ini, yaitu penyerahan wilayah Alta California dan New Mexico kepada AS dengan imbalan $18 juta. Selain itu, Amerika Serikat memutihkan utang pemerintah Meksiko kepada warga negara AS. Meksiko menerima lepasnya Texas dan menetapkan Rio Grande sebagai perbatasan negaranya. Perang ini tidak memicu pergantian rezim di Meksiko.
1887–1889: Samoa
Krisis Samoa adalah konfrontasi antara Amerika Serikat, Jerman, dan Britania Raya sejak 1887 sampai 1889. Ketiga negara ini mendukung orang-orang berbeda yang mengaku mewarisi takhta kerajaan Kepulauan Samoa dalam Perang Saudara Samoa.[9] Perang Saudara Samoa Kedua pecah tahun 1898 dan melibatkan AS (mendukung raja petahana) dan Jerman. Melalui Konvensi Tiga Pihak 1899, perang ini berakhir dengan pembagian Kepulauan Samoa menjadi Samoa Amerika dan Samoa Jerman.[10][11]
1893–1917: Imperium dan ekspansionisme AS
1890-an
1893: Kerajaan Hawaii
Elemen anti-monarki di Hawaii yang rata-rata merupakan warga negara Amerika Serikat menggulingkan Kerajaan Hawaii. Pada tanggal 17 Januari 1893, penguasa monarki pribumi, Ratu Lili'uokalani, digulingkan. Hawaii awalnya ditata ulang menjadi republik merdeka, tetapi tujuan utama penggulingan ini adalah aneksasi Hawaii oleh Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1898.
1898: Kuba dan Puerto Rico
Sebagai bagian dari Perang Spanyol–Amerika Serikat, AS menyerbu dan menduduki Kuba dan Puerto Rico yang saat itu dikuasai Spanyol pada tahun 1898. Kuba diduduki AS pada tahun 1898 sampai 1902 di bawah kepemimpinan gubernur militer Leonard Wood, lalu tahun 1906 sampai 1909, tahun 1912, dan tahun 1917 sampai 1922. Kuba diatur berdasarkan Amendemen Platt sampai 1934.
Kampanye Puerto Rico adalah operasi militer laut dan darat Amerika Serikat di pulau Puerto Rico semasa Perang Spanyol–Amerika Serikat. Angkatan Laut Amerika Serikat menyerang ibu kota kolonial kepulauan tersebut, San Juan. Meski kerusakan kota minim, militer AS mampu memblokade Teluk San Juan. Serangan darat dimulai tanggal 25 Juli dengan mengerahkan 1.300 tentara infanteri. Semua aksi militer di Puerto Rico dihentikan tanggal 13 Agustus setelah Presiden AS William McKinley dan Duta Besar Prancis Jules Cambon, mewakili pemerintah Spanyol, menandatangani perjanjian gencatan senjata. Menurut perjanjian ini, Spanyol menyerahkan kedaulatannya atas wilayah Puerto Rico, Kuba, Filipina, dan Guam.
1899: Filipina
Perang Filipina–Amerika Serikat adalah bagian dari serangkaian konflik dalam perjuangan kemerdekaan Filipina melawan pendudukan Amerika Serikat. Pertempuran pecah antara militer AS dan tentara revolusi Filipina pada 4 Februari 1899 dan memuncak pada Pertempuran Manila tahun 1899. Pada tanggal 2 Juni 1899, Republik Filipina Pertama secara resmi menyatakan perang melawan Amerika Serikat.[12] Perang berakhir secara resmi pada tanggal 4 Juli 1902.[13] Intervensi AS ini bertujuan mencegah pergantian rezim dan mempertahankan kekuasaan AS di Filipina.
1898–1901: Tiongkok
Pemberontakan Boxer adalah gerakan proto-nasionalis di Tiongkok pada tahun 1898 sampai 1901. Namanya demikian karena gerakan ini dipimpin oleh orang-orang yang mengaku bagian dari Perkumpulan Petinju Berbudi dan Harmonis. Amerika Serikat adalah bagian dari Aliansi Delapan Bangsa yang membawa 20.000 tentara bersenjata ke Tiongkok, mengalahkan Tentara Kekaisaran Tiongkok, dan mencaplok Beijing. Aliansi Delapan Bangsa adalah koalisi militer yang dibentuk untuk meredam pemberontakan. Aliansi ini terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Britania, Prancis, Jerman, Italia, dan Austria-Hungaria.[14]Protokol Boxer tanggal 7 September 1901 mengakhiri pemberontakan ini.[15] Intervensi ini tidak memicu pergantian rezim di Tiongkok.
1900-an
1903: Panama
Pada tahun 1903, AS membantu pemisahan Panama dari Republik Kolombia. Pemisahan ini direncanakan oleh sebuah faksi Panama yang dibeking Panama Canal Company, perusahaan Prancis–AS yang ingin membangun jalur perairan melintasi Tanah Genting Panama sehingga menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik. Pada tahun 1903, AS menandatangani Perjanjian Hay-Herrán dengan Kolombia. Perjanjian ini mengizinkan Amerika Serikat menggunakan Tanah Genting Panama dengan kompensasi dalam bentuk uang.[16][17] Perjanjian tersebut ditandatangani di tengah Perang Seribu Hari. Terusan Panama saat itu sedang dibangun dan Zona Terusan Panama dibangun, kemudian menjadi wilayah berdaulat Amerika Serikat. AS mengembalikan zona ini ke Panama pada tahun 2000.
1900s–1920-an: Honduras
Sebagai bagian dari "Perang Pisang", sejak akhir Perang Spanyol–Amerika Serikat tahun 1898 dan penetapan Kebijakan Tetangga Baik tahun 1934, AS melancarkan serangkaian invasi dan intervensi militer di Amerika Tengah dan Karibia.[18] Korps Marinir Amerika Serikat, pihak yang sering diterjunkan dalam perang, menerbitkan buku panduan berjudul The Strategy and Tactics of Small Wars pada tahun 1921 berdasarkan pengalaman mereka. Kadang-kadang, Angkatan Laut AS memberi bantuan tembakan senjata dan Angkatan Darat AS ikut diterjunkan. United Fruit Company dan Standard Fruit Company mendominasi ekspor pisang, komoditas penting Honduras, beserta kepemilikan kebun pisang dan rel kereta api di sana. AS melakukan invasi dan mengerahkan tentaranya pada tahun 1903 (mendukung kudeta oleh Manuel Bonilla), 1907 (mendukung Bonilla melawan kudeta yang didukung Nikaragua), 1911 dan 1912 (mempertahankan rezim Miguel R. Davila dari pemberontakan), 1919 (menjaga perdamaian selama perang saudara dan mendirikan pemerintahan sementara yang dipimpin Francisco Bográn), 1920 (mempertahankan rezim Bográn dari mogok massal), 1924 (mempertahankan rezim Rafael López Gutiérrez dari pemberontakan) dan 1925 (mempertahankan pemerintahan terpilih Miguel Paz Barahona) untuk melindungi kepentingan AS.[19] Penulis O. Henry menciptakan istilah "republik pisang" (banana republic) pada tahun 1904 untuk menyebut Honduras.
1910-an
1912–1933: Nikaragua
Militer Amerika Serikat menyerbu Nikaragua pada tahun 1912 setelah negara ini membombardirnya lewat darat dan laut selama bertahun-tahun. AS memberi dukungan politik untuk pihak-pihak konservatif yang memberontak melawan Presiden José Santos Zelaya yang berhaluan liberal. Motif AS adalah (1) ketidaksetujuan dengan usulan Terusan Nikaragua karena AS sudah memegang Zona Terusan Panama, tempat dibangunnya Terusan Panama, dan (2) upaya Presiden Zelaya untuk membatasi pemanfaatan sumber daya alam Nikaragua oleh pihak asing. Pada tanggal 17 November 1909, dua warga negara Amerika Serikat dieksekusi atas perintah Zelaya setelah keduanya mengaku meletakkan ranjau di Sungai San Juan dan berniat meledakkan Diamante. AS beralasan bahwa intervensi ini bertujuan melindungi warga negara dan properti Amerika Serikat. Zelaya mundur pada tahun yang sama. AS menduduki negara ini pada tahun 1912 sampai 1933.
1914: Meksiko
Tentara Amerika Serikat menyerbu Veracruz di Meksiko pada tahun 1914 usai Skandal Tampico. AS menduduki kota ini selama enam bulan.
1915–1934: Haiti
Amerika Serikat menduduki Haiti pada tahun 1915 sampai 19344. Bank-bank AS meminjamkan uang kepada Haiti dan meminta pemerintah AS turun tangan. AS mendirikan pemerintahan baru di Haiti tahun 1917 dan merumuskan undang-undang dasar baru yang menghapus larangan kepemilikan tanah oleh orang asing. Caco awalnya merupakan milisi bersenjata yang beranggotakan mantan budak yang memberontak dan menguasai kawasan pegunungan usai Pemberontakan Haiti tahun 1804. Kelompok-kelompok seperti ini melancarkan perang gerilya melawan pendudukan AS yang dikenal dengan sebutan "Perang Caco."[20]
1916–1924: Republik Dominika
Marinir Amerika Serikat menyerbu Republik Dominika dan mendudukinya pada tahun 1916 sampai 1924. Sebelumnya, militer AS melakukan intervensi pada tahun 1903, 1904, dan 1914. Angkatan Laut Amerika Serikat menempatkan personelnya di semua jabatan pemerintahan penting dan mengendalikan militer dan kepolisian Dominika.[21] Dalam kurun dua hari, presiden yang terpilih secara konstitusional, Juan Isidro Jimenes, menyatakan mundur.[22]
PDI dan masa damai antarperang
1918: Rusia
Setelah pemerintahan Bolshevik yang baru menarik diri dari Perang Dunia I, militer AS bersama sekutunya menyerbu Rusia pada tahun 1918. Sekitar 250.000 tentara, termasuk tentara Eropa, AS, dan Kekaisaran Jepang, menyerbu Rusia untuk membantu Tentara Putih melawan Tentara Merah yang mewakili pemerintahan Soviet baru dalam Perang Saudara Rusia. Pihak penyerbu melakukan invasi ke Rusia Utara lewat Arkhangelsk dan invasi ke Siberia lewat Vladivostok. Pasukan penyerbu mencakup 13.000 tentara AS yang baru saja menyelesaikan Perang Dunia I dan ditugaskan menggulingkan pemerintahan Soviet baru dan mengembalikan rezim Tsaris. AS dan negara-negara Barat gagal dan mundur pada tahun 1920. Namun, militer Jepang terus menduduki sebagian wilayah Siberia sampai 1922 dan Sakhalin utara sampai 1925.[23]
1941: Panama
Pemerintah Amerika Serikat menggunakan kontaknya di Garda Nasional Panama, pasukan yang dilatih AS, untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah Panama pada Oktober 1941. AS meminta pemerintah Panama mengizinkan AS membangun lebih dari 130 instalasi militer baru di dalam dan luar Zona Terusan Panama. Pemerintah Panama menolak permintaan ini setelah mengetahui besaran imbalan AS.[24] Presiden Arnulfo Arias melarikan diri dari Panama. Ricardo Adolfo de la Guardia Arango, pemimpin kudeta dan sekutu pemerintah AS, diangkat sebagai presiden.[25]
Era Perang Dingin
1940-an
1945–1950: Korea Selatan
Setelah Kekaisaran Jepang menyerah bulan Agustus 1945, komite di seluruh Korea di bawah kepemimpinan Lyuh Woon-Hyung mulai merencanakan transisi kemerdekaan Korea. Pada tanggal 28 Agustus 1945, komite-komite ini membentuk pemerintahan nasional sementara Korea. Beberapa minggu kemudian, mereka memberi nama Republik Rakyat Korea (RRK).[26][27] Pada tanggal 8 September 1945, pemerintah Amerika Serikat menerjunkan pasukan di Korea, lalu mendirikan Pemerintahan Militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea (USAMGK) untuk memerintah di Korea sebelah selatan garis lintang utara ke-38. USAMGK mempekerjakan gubernur-gubernur Jepang dan sejumlah pejabat Jepang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kolonial kekaisaran Jepang sekaligus para kolaborator Korea. Karena itu, pemerintahan ini tidak populer dan memancing pemberontakan rakyat.[28] USAMGK menolak mengakui pemerintahan RRK yang dibentuk untuk memerintah negara ini secara mandiri dan Pemerintahan Sementara Republik Korea yang berpusat di Tiongkok sepanjang Perang Dunia II dan berperang melawan Jepang. USAMGK mengeluarkan dekret militer untuk membubarkan pemerintahan RRK.[29][30] Pada Oktober 1948, USAMGK mengirim beberapa unit untuk menyerang warga Korea yang menuntut kemerdekaan Korea dan melakukan sejumlah tindak kekerasan, termasuk pembunuhan ratusan warga sipil Korea di Pulau Jeju yang diduga membantu pihak pendukung kemerdekaan.[31][32][33]
Pada tahun 1952, Kepala Staf Gabungan memerintahkan Jenderal Mark W. Clark merumuskan rencana untuk menggulingkan Presiden Korea Selatan Syngman Rhee. Ia khawatir krisis politik yang terjadi akibat sikap otoriternya akan menghambat sejumlah operasi militer. Operasi Everready dibatalkan setelah Rhee bersedia memenuhi permintaan Amerika Serikat dan membebaskan pemimpin oposisi dari penjara. Rencana ini kembali dipertimbangkan pada tahun 1953 ketika AS khawatir Rhee menolak Perjanjian Gencatan Senjata Korea.[34][35]
1946–1949: Tiongkok
Pemerintah Amerika Serikat memberi bantuan militer, logistik, dan lain-lain kepada pasukan Partai Nasionalis Tiongkok (KMT) sayap kanan yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek dalam Perang Saudara Tiongkok melawan pasukan Partai Komunis Tiongkok. AS mengerahkan tentara KMT dari Tiongkok tengah ke Manchuria. Sekitar 50.000 tentara AS dikirim untuk menjaga situs-situs strategis di Hupeh dan Shandong. AS melatih dan mempersenjatai pasukan KMT dan mendatangkan tentara Korea dan bahkan tentara kekaisaran Jepang untuk membantu pasukan KMT menduduki zona-zona Tiongkok dan mengepung wilayah yang dikuasai Komunis.[36] Presiden Harry Truman menjelaskan bahwa: "Apabila kami langsung meminta Jepang menyerah dan kembali ke pesisir, seluruh Tiongkok akan dikuasai Komunis. Kami perlu mengambil langkah radikal dengan memanfaatkan musuh sebagai pasukan pertahanan sampai kami dapat menerbangkan tentara Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Marinir untuk menjaga pelabuhan."[37] Kurang dari dua tahun setelah Perang Tiongkok-Jepang, KMT menerima $4,43 miliar dari Amerika Serikat—sebagian besar di antaranya berupa bantuan militer.[36][38]
1946–1949: Yunani
Militer Britania Raya dan pasukan Yunani di bawah pemerintahan Yunani berusaha menguasai negara ini dalam Perang Saudara Yunani melawan Tentara Demokratik Yunani (DSE). DSE rata-rata beranggotakan partisan komunis yang pernah menjadi bagian dari Tentara Pembebasan Rakyat Yunani (ELAS) dan membebaskan hampir seluruh Yunani dari pendudukan militer Reich Ketiga pada musim panas 1944.[39] Pada awal 1947, pemerintah Britania tidak mampu lagi menanggung biaya perang melawan DSE. Sesuai Perjanjian Persentase Oktober 1944 antara Winston Churchill dan Josef Stalin, Yunani tetap menjadi bagian dari lingkup pengaruh Barat. Karena itu, Britania meminta pemerintah Amerika Serikat turun tangan. AS kemudian mengirimkan peralatan militer, penasihat militer, dan persenjataan ke Yunani.[40][41][42][43] Seiring meningkatnya bantuan militer AS, pemerintah Yunani memenangi perang ini pada September 1949.[44]
1946– 1954: Filipina
Amerika Serikat membantu meredam pemberontakan petani pro-komunis bernama Pemberontakan Hukbalahap atau Pemberontakan Huk.[45]
1952: Mesir
Proyek FF ("FF" singkatan dari "Fat Fucker") adalah program CIA yang awalnya dirancang untuk memodernkan Kerajaan Mesir di bawah kepemimpinan Farouk I dan memasukkan Mesir ke kubu anti-soviet. Namun, keengganan raja memaksa Kermit Roosevelt Jr. membantu upaya pergantian rezim. Setelah mendengar rumor kegelisahan di tubuh militer Mesir, Roosevelt bertemu para pemimpin nasionalis, anti-komunis, Gerakan Perwira Bebas, termasuk sosok yang kelak menjadi presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan menyampaikan dukungan AS untuk kudeta mereka. Pada tanggal 23 Juli 1952, Gerakan Perwira Bebas menggulingkan kerajaan dan mendirikan Republik Mesir.[46]
1947–1970-an: Italia
Pada tahun 1947, Partai Demokrasi Kristen (DC) yang dibeking Amerika Serikat dan diketuai oleh Alcide De Gasperi semakin tidak populer. Partai Komunis Italia (PCI) tumbuh pesat karena bahu-membahu mendukung para petani di Sisilia, Toscana, dan Umbria. Gerakan ini juga dibantu oleh reformasi yang dicanangkan oleh Fausto Gullo, Menteri Pertanian Italia yang berhaluan komunis.[47] DC memecat semua menteri sayap kiri dari kabinet pada 31 Mei. PCI kehilangan dominasi politik selama dua puluh tahun berikutnya. De Gasperi melakukannya di bawah tekanan Menteri Luar Negeri AS George Marshall yang memberitahu bahwa anti-komunisme adalah syarat mendapatkan bantuan luar negeri Amerika Serikat[47][48] dan Duta Besar James C. Dunn yang secara langsung meminta de Gasperi membubarkan parlemen dan melenyapkan PCI.[49]
Central Intelligence Agency (CIA) mengakui transfer dana sebesar $1 juta kepada partai-partai berhaluan sentris Italia dalam rangka pemilu 1948. CIA juga menerbitkan surat-surat palsu untuk mencemarkan nama baik para pemimpin Partai Komunis Italia (PCI). Sejumlah lembaga AS menulis sepuluh juta surat, membuat siaran radio gelombang pendek, dan mendanai penerbitan buku dan artikel. Semua publikasi ini memperingatkan warga Italia tentang hal-hal yang akan terjadi apabila partai komunis menang pemilu. Majalah Time ikut menggalang dukungan warga Amerika Serikat dengan menampilkan ketua Partai Demokrasi Kristen dan Perdana Menteri Alcide De Gasperi di sampul dan artikel utamanya dalam edisi 19 April 1948.[50][51][52][53] Sementara itu, AS diam-diam membujuk Partai Buruh Britania untuk menekan kalangan demokrat sosial supaya mengakhiri dukungannya untuk PCI dan mendorong perpecahan Partai Sosialis Italia.[54]
CIA menghabiskan $65 juta untuk membantu pemilihan politikus-politikus Italia,[55] termasuk "setiap Demokrat Kristen yang pernah menang pemilu nasional di Italia."[56]
1949: Suriah
Pemerintahan Shukri al-Quwatli yang terpilih secara demokratis digulingkan oleh junta yang dipimpin kepala staf Angkatan Darat Suriah, Husni al-Za'im. Ia diangkat menjadi Presiden Suriah pada 11 April 1949. Motif utama keterlibatan AS dalam kudeta tersebut masih sangat kontroversial. Namun, banyak bukti menunjukkan bahwa rencana pembangunan Jalur Pipa Trans-Arab yang sebelumnya mandek di Parlemen Suriah akhirnya disetujui oleh Za'im satu bulan setelah kudeta.[sintesa tidak tepat?]
1950-an
1953: Iran
Kudeta Iran 1953 (dikenal dengan sebutan "kudeta 28 Mordad" di Iran)[57] adalah penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh yang terpilih secara demokratis pada tanggal 19 Agustus 1953. Kudeta ini direncanakan oleh badan intelijen Britania Raya ("Operasi Boot") dan Amerika Serikat ("Proyek TPAJAX").[58][59][60] Usai kudeta, Mohammad-Rezā Shāh Pahlavi menjelma dari raja konstitusional menjadi raja otoriter yang sangat bergantung kepada dukungan Amerika Serikat sampai ia digulingkan pada Februari 1979.[61]
1954: Guatemala
Dalam operasi CIA bernama Operasi PBSUCCESS, pemerintah Amerika Serikat melakukan kudeta yang menggulingkan pemerintahan Presiden Jacobo Árbenz yang terpilih secara demokratis, lalu mengangkat Carlos Castillo Armas, seorang diktator sayap kanan brutal.[62][63][64] Kesuksesan PBSUCCESS menjadikan operasi ini contoh bagi operasi-operasi CIA selanjutnya karena CIA berbohong soal jumlah korban kepada presiden Amerika Serikat.[65]
1955–1960: Laos
Pemerintahan AS mengambil alih alokasi anggaran militer Pemerintah Kerajaan Lao dalam perang saudara melawan pemerintahan komunis Pathet Lao yang menguasai separuh Laos. AS mendanai 100% anggaran militer pemerintah. Pada tahun 1957, AS membayar gaji Angkatan Darat Kerajaan Lao. AS juga mendirikan kantor rahasia Programs Evaluation Office untuk staf lapangan sipil AS dengan pengalaman militer karena AS telanjur menandatangani perjanjian yang melarang penasihat militer AS.[66][67] Pada Juli 1959, AS mengirim unit komando berpakaian sipil untuk melatih Angkatan Darat Kerajaan Lao.[68] Intervensi ini tidak memicu pergantian rezim.
1956–1957: Suriah
CIA menyusun rencana kudeta bernama Operasi Straggle pada akhir Oktober 1956 untuk menggulingkan pemerintah Suriah. Rencana ini melibatkan perebutan kekuasaan oleh militer Suriah di kota-kota penting dan pos perbatasan.[69][70][71] Rencana ini tertunda ketika Israel menyerbu Mesir pada Oktober 1956. Agen-agen AS mengira operasi mereka akan gagal ketika negara-negara Arab masih melawan "agresi Israel". Operasi ini terungkap dan para agen AS terpaksa menyelamatkan diri dari Suriah.[72]
Rencana kudeta kedua bernama Operasi Wappen pada tahun berikutnya melibatkan pembunuhan beberapa pejabat senior penting Suriah, memantik insiden militer di perbatasan Suriah agar pemerintah Suriah disalahkan dan dijadikan alasan invasi oleh Irak dan Yordania, propaganda AS yang menyasar penduduk Suriah, dan "sabotase, konspirasi nasional, dan berbagai bentuk pemaksaan" yang seolah-olah dilakukan oleh pemerintah Suriah.[71][73][74][75] Operasi ini gagal karena perwira militer Suriah yang disuap jutaan dolar untuk melakukan kudeta mengungkap rencana ini ke intelijen Suriah. Departemen Luar Negeri AS membantah tuduhan rencana kudeta. Media AS menuduh Suriah menjadi "negara satelit" Uni Soviet.[74][76][77]
1957–1959: Indonesia
Sebagai anggota pendiri Gerakan Non-Blok dan tuan rumah Konferensi Asia-Afrika April 1955, Indonesia berencana membuat kebijakan luar negeri independen yang tidak berpihak secara militer ketika Perang Dingin.[78][79] Pada tahun 1957, CIA mendukung rencana kudeta yang gagal oleh perwira militer Indonesia yang tidak loyal. Pilot-pilot CIA seperti Allen Lawrence Pope menerbangkan pesawat milik organisasi palsu CIA bernama Civil Air Transport (CAT) yang mengebom target-target sipil dan militer di Indonesia. CIA memerintahkan para pilot CAT untuk menyerang jalur pelayaran komersial supaya kapal kargo asing takut berlayar ke perairan Indonesia. Tujuannya adalah melemahkan ekonomi Indonesia sehingga membuat pemerintahan demokratis Indonesia tidak stabil. Pengeboman udara oleh CIA menenggelamkan sejumlah kapal komersial.[80] Bom di sebuah pasar juga menewaskan beberapa warga sipil.[81] Upaya kudeta ini gagal[82] dan Presiden Dwight Eisenhower membantah keterlibatan AS.[83]
1958: Lebanon
Amerika Serikat melancarkan Operasi Blue Bat pada Juli 1958 untuk campur tangan dalam krisis Lebanon 1958. Ini adalah penerapan pertama Doktrin Eisenhower. Menurut doktrin ini, AS harus campur tangan untuk melindungi rezim-rezim yang yang dianggap terancam oleh komunisme internasional. Tujuan operasi ini adalah mendukung pemerintahan presiden pro-Barat Camille Chamoun melawan oposisi dalam negeri dan ancaman Suriah dan Mesir.[butuh rujukan]
1959: Irak
Richard Sale dari United Press International, mengutip Adel Darwish dan sejumlah pakar, melaporkan bahwa upaya pembunuhan Perdana Menteri Abd al-Karim Qasim bulan Oktober 1959 yang melibatkan Saddam Hussein muda dan sejumlah konspirator Ba'athis merupakan kerja sama CIA dan intelijen Mesir.[84] Bryan R. Gibson meragukan pernyataan Sale dan Darwish dan mengutip dokumen-dokumen rahasia yang menunjukkan bahwa CIA kesulitan menentukan waktu pembunuhan dan Dewan Keamanan Nasional "kembali menegaskan kebijakan nonintervensi" enam hari sebelum waktu pembunuhan.[85] Meski upaya pembunuhan ini gagal karena Saddam yang seharusnya menjadi penembak pengalih melepaskan tembakan ke arah Qasim—Saddam terpaksa mengasingkan diri selama lebih dari tiga tahun di Republik Arab Bersatu pimpinan Mesir dengan ancaman mati apabila ia pulang ke Irak—Saddam dan Partai Ba'ath mendadak terkenal di Irak, padahal sebelumnya kurang dikenal masyarakat, dan berperan pentin dalam citra publik Saddam sebagai Presiden Irak.[86][87] Saddam diduga kuat mengunjungi kedutaan besar AS di Kairo saat dalam pengasingan.[88]
1960-an
1960: Laos
Pada tanggal 9 Agustus 1960, Kapten Kong Le dan batalyon payung terjunnya menduduki ibu kota Vientiane dalam kudeta damai sambil mengusung agenda "Netralis" dengan tujuan mengakhiri perang saudara Laos, mengakhiri campur tangan asing di negara tersebut, mengakhiri korupsi akibat bantuan luar negeri, dan memperbaiki kesejahteraan tentara.[89][90] Dengan bantuan CIA, Marsekal Lapangan Sarit Thanarat, Perdana Menteri Thailand, membentuk kelompok penasihat militer rahasia Thailand bernama Kaw Taw. Kaw Taw dan CIA merancang kontra-kudeta November 1960 terhadap pemerintahan Netralis baru di Vientiane. Mereka mengirim artileri, tentara artileri, dan penasihat kepada Jenderal Phoumi Nosavan, sepupu jauh Sarit. Kaw Taw juga mengerahkan Unit Bantuan Udara Kepolisian (PARU) dalam operasi militer di Laos.[91] Melalui organisasi palsu CIA bernama Air America yang memasok perlengkapan perang beserta bantuan militer dan bantuan rahasia AS dari Thailand, pasukan yang dipimpin Jenderal Phoumi Nosavan menduduki Vientiane pada bulan November 1960.[92][93]
1961: Republik Dominika
Pada Mei 1961, penguasa Republik Dominika, Rafael Trujillo, dibunuh menggunakan senjata yang dipasok oleh Central Intelligence Agency (CIA).[94][95] Memorandum internal CIA menyatakan bahwa penyelidikan Office of Inspector General pada tahun 1973 mengungkap "besarnya kerja sama antara CIA dan para perencana pembunuhan." Menurut CIA, perannya dalam "mengganti" pemerintahan Republik Dominika "'berhasil' karena mengubah Republik Dominika dari kediktatoran totaliter menjadi demokrasi ala Barat."[96][97] Juan Bosch, penerima dana CIA, terpilih sebagai presiden Republik Dominika tahun 1962 dan digulingkan tahun 1963.[98]
1961: Teluk Babi
CIA membentuk pasukan yang terdiri dari eksil Kuba yang dilatih CIA untuk menyerbu Kuba. Pasukan ini menerima bantuan dan perlengkapan dari militer Amerika Serikat dan berencana menggulingkan pemerintahan Fidel Castro. Penyerbuan ini terjadi pada April 1961, tiga bulan setelah John F. Kennedy dilantik sebagai presiden Amerika Serikat. Angkatan bersenjata Kuba yang dilatih dan dipersenjatai negara-negara Blok Timur mengalahkan pasukan eksil tersebut selama tiga hari.
1960-an: Kuba
Operasi MONGOOSE adalah upaya pemerintah Amerika Serikat selama bertahun-tahun untuk menggulingkan pemerintahan Kuba.[99] Operasi ini terdiri dari perang ekonomi, termasuk embargo terhadap Kuba "untuk memicu kegagalan rezim Komunis dalam memenuhi kebutuhan ekonomi Kuba", inisiatif diplomatik untuk mengucilkan Kuba, dan operasi psikologis "supaya opini masyarakat terhadap pemerintah semakin negatif."[100] Perang ekonomi tersebut juga melibatkan penyusupan agen-agen CIA untuk menyabotase target-target sipil seperti jembatan kereta api, gedung penyimpanan molase, pembangkit listrik, dan hasil panen tebu sambil mengabaikan rentetan permintaan Kuba agar pemerintah Amerika Serikat menghentikan operasi militernya.[100][101] Selain itu, CIA berkali-kali merencanakan pembunuhan Fidel Castro, kepala pemerintahan Kuba, bahkan sampai melibatkan mafia Amerika Serikat.[102][103][104]
1961–1964: Brasil
Ketika presiden Brasil mundur bulan Agustus 1961, ia secara sah digantikan oleh João Belchior Marques Goulart, wakil presiden yang terpilih secara demokratis.[105] João Goulart adalah pendukung hak-hak demokratis, legalisasi Partai Komunis, dan reformasi ekonomi dan tanah, tetapi pemerintah AS menuntut Goulart menerapkan program pengetatan anggaran. Pemerintah Amerika Serikat menjalankan rencana bernama Operasi Brother Sam untuk destabilisasi Brasil dengan memangkas bantuan ke pemerintah Brasil, membantu gubernur-gubernur Brasil yang menolak presiden baru ini, dan mendorong perwira militer senior Brasil untuk merebut kekuasaan dan mengangkat kepala staf angkatan darat, Jenderal Humberto de Alencar Castelo Branco, sebagai pemimpin kudeta.[106][107] Jenderal Branco memimpin penggulingan pemerintahan konstitusional Goulart pada bulan April 1964 dan diangkat sebagai presiden pertama rezim militer. Ia langsung mengumumkan keadaan darurat dan menangkap lebih dari 50.000 lawan politik dalam satu bulan pertamanya. AS menyatakan puas dan kembali mengucurkan bantuan dan investasi ke negara tersebut.[108]
1963: Irak
Beberapa sumber, khususnya Said Aburish, menduga bahwa kudeta Februari 1963 yang menjadi awal berdirinya pemerintahan Ba'athis di Irak "diotaki" oleh CIA.[109] Akan tetapi, tidak ada dokumen rahasia AS yang menguatkan tuduhan ini.[110] Tareq Y. Ismael, Jacqueline S. Ismael, dan Glenn E. Perry menulis bahwa "pasukan perwira Ba'this menggulingkan Qasim pada tanggal 8 Februari 1963 setelah bekerja sama dengan CIA."[111] Sebaliknya, Gibson menulis bahwa "banyak bukti menunjukkan bahwa CIA bukan otak kudeta Ba'athis Februari 1963."[112] Amerika Serikat menawarkan bantuan material kepada pemerintahan Ba'athis yang baru setelah kudeta, walaupun ada pembantaian anti-komunis dan kekerasan terhadap pemberontak dan warga sipil Kurdi.[113] Karena itu, Nathan Citino mengatakan, "Meskipun Amerika Serikat tidak memicu kudeta 14 Ramadan, setidaknya AS membiarkan atau bahkan membantu kekerasan yang terjadi kemudian."[114] Pemerintahan Ba'athis bubar pada bulan November 1963 akibat persoalan penyatuan wilayah dengan Suriah (cabang saingan Partai Ba'ath merebut kekuasaan di Suriah pada Maret).[115] Ada banyak diskusi ilmiah seputar tuduhan Raja Hussein dari Yordania dan berbagai pihak bahwa CIA (atau lembaga AS lainnya) memberi daftar orang komunis dan orang berhaluan kiri kepada pemerintah Ba'athis. Orang-orang di dalam daftar tersebut kelak ditangkap atau dibunuh oleh milisi Partai Ba'ath—Garda Nasional. Gibson dan Hanna Batatu menekankan bahwa identitas anggota Partai Komunis Irak diketahui secara terbuka dan Ba'ath tidak perlu bergantung kepada intelijen AS, sedangkan Citino menilai tuduhan tersebut mungkin saja benar karena kedutaan besar AS di Irak benar-benar membuat daftar tersebut dan anggota Garda Nasional Irak yang terlibat pembantaian dilatih di Amerika Serikat.[116][117][118]
1963: Vietnam
Meski Amerika Serikat bersekutu dengan Vietnam Selatan pada Perang Vietnam, pemerintahan Kennedy semakin frustrasi dengan pemerintahan Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem yang korup dan represif. Karena Diem menolak melakukan reformasi, sejumlah pejabat Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mendukung pihak-pihak yang ingin menggantinya. Mereka mengirim Kawat 243 pada tanggal 24 Agustus 1963 yang menginstruksikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Vietnam Selatan, Henry Cabot Lodge Jr., untuk "mempertimbangkan semua pemimpin alternatif potensial dan membuat rencana terperinci tentang cara mengangkat pengganti Diem apabila perlu". Lodge dan penghubungnya, Lucien Conein, mengontak perwira-perwira Angkatan Darat Republik Vietnam yang tidak puas dan meyakinkan mereka untuk menggulingkan Diem. Upaya-upaya ini berbuah kudeta pada tanggal 2 November 1963 yang menewaskan Diem dan adiknya.[119]
Pentagon Papers menyimpulkan bahwa "Sejak Agustus 1963, kami menyetujui, mengizinkan, dan mendukung rencana kudeta oleh jenderal-jenderal Vietnam dan menawarkan bantuan penuh untuk pemerintahan baru. Pada bulan Oktober, kami menghentikan bantuan untuk Diem secara kasar dan memberi lampu hijau kepada para jenderal. Kami menghubungi mereka secara rahasia sepanjang perencanaan dan pelaksanaan kudeta dan berusaha meninjau rencana operasinya dan merencanakan pemerintahan baru."[120]
1965–66: Republik Dominika
Dalam Perang Saudara Dominika, junta pimpinan Presiden Joseph Donald Reid Cabral melawan pasukan "konstitusionalis" atau "pemberontak" yang mendukung pengangkatan kembali presiden pertama Republik Dominika yang terpilih secara demokratis, Juan Emilio Bosch Gaviño, yang tidak sempat menyelesaikan masa jabatannya karena dikudeta. AS melancarkan "Operasi Power Pack," operasi yang menempatkan militer AS di antara pihak pemberontak dan pihak junta untuk mencegah laju pemberontak.[121][122] Sebagian besar penasihat sipil tidak menyarankan intervensi langsung supaya junta bisa mengakhiri perang saudara ini, tetapi Presiden Lyndon B. Johnson lebih mendengarkan duta besarnya di Santo Domingo, William Tapley Bennett, yang menyarankan AS turun tangan.[123] Kepala Staf Jenderal Wheeler memberitahu seorang bawahannya: "Misi rahasiamu adalah mencegah Republik Dominika jatuh ke tangan Komunis."[124] 41 kapal AS dikirim untuk mengepung pulau saat AS melancarkan invasi. Pada akhirnya, 42.000 tentara dan marinir dikerahkan ke Republik Dominika dan AS menduduki negara tersebut.[125]
1965–1967: Indonesia
Perwira junior dan komandan penjaga istana Presiden Sukarno menuduh petinggi senior militer Indonesia merencanakan kudeta bekingan CIA terhadap Presiden Sukarno dan membunuh enam jenderal senior pada tanggal 1 Oktober 1965. Jenderal Muhammad Suharto dan perwira militer senior lainnya menyerang para perwira junior pada hari itu juga dan menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan pembunuhan enam jenderal tersebut.[126] Militer melakukan kampanye propaganda yang didasari kebohongan dan memanas-manasi warga sipil untuk menyerang orang-orang yang diduga mendukung PKI dan lawan politik lainnya. Militer Indonesia bersama warga sipil melakukan serangkaian pembunuhan massal selama beberapa bulan berikutnya. CIA mengakui bahwa "berdasarkan jumlah korban tewas, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20."[127] Jumlah warga sipil yang tewas berkisar antara setengah juta sampai satu juta jiwa.[128][129][130] Namun, perkiraan terkini berjumlah dua sampai tiga juta jiwa.[131][132] Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green mendorong para pemimpin militer Indonesia untuk mengambil tindakan kekerasan terhadap lawan politik.[127] Dokumen Kedutaan Besar AS di Jakarta yang baru terungkap tahun 2017 membenarkan bahwa AS memiliki informasi terperinci dan berkelanjutan tentang pembunuhan massal ini dan secara aktif membantu dan mendorong militer Indonesia untuk kepentingan geopolitik AS.[133][134][135][136] Diplomat-diplomat AS mengatakan kepada wartawan Kathy Kadane pada tahun 1990 bahwa mereka memberikan daftar ribuan nama terduga pendukung PKI dan orang-orang berhaluan kiri lainnya kepada militer Indonesia. Mereka juga mengatakan bahwa pejabat-pejabat AS kemudian mencoret nama orang-orang yang sudah dibunuh.[137][138] Sebagian besar basis pendukung Presiden Sukarno lenyap, dipenjara, dan ketakutan. Karena itu, ia terpaksa mundur pada tahun 1967 dan digantikan oleh rezim militer otoriter yang dipimpin Jenderal Suharto.[139][140] Beberapa sejarawan menggolongkan pembunuhan massal ini sebagai genosida.[141][142][143]
1967: Yunani
Pada tanggal 21 April 1967, beberapa minggu menjelang pemilihan umum, sekelompok perwira militer sayap kanan yang dipimpin Brigadir Jenderal Stylianos Pattakos dan Kolonel George Papadopoulos dan Nikolaos Makarezos melakukan kudeta.[144] Mereka mengerahkan tank di tempat-tempat strategis di Athena dan berhasil menguasai kota.
Pada saat yang sama, beberapa satuan mobil ditugaskan untuk menangkap politikus penguasa, tokoh besar, dan warga biasa yang diduga simpatisan sayap kiri berdasarkan daftar yang sudah disiapkan sebelumnya. Salah satu orang pertama yang ditangkap adalah Letnan Jenderal Grigorios Spandidakis, Komandan Pemimpin Angkatan Darat Yunani. Para kolonel membujuk Spandidakis untuk bergabung dengan mereka dan mengaktifkan rencana aksi untuk melanjutkan kudeta. Pada pagi-pagi buta, seluruh Yunani dikuasai oleh para kolonel. Semua politikus penguasa, termasuk pelaksana tugas Perdana Menteri Panagiotis Kanellopoulos, ditangkap dan ditahan di tempat rahasia. Pada pukul 06:00 Waktu Eropa Timur, Papadopoulos mengumumkan bahwa sebelas pasal konstitusi Yunani ditangguhkan.[145]
Pendiri Partai Persatuan Tengah yang berhaluan kiri, Georgios Papandreou, ditangkap usai penyerbuan malam hari di vilanya di Kastri, Attica. Andreas ditangkap pada saat yang sama setelah tujuh tentara bersenjatakan bayonet dan senjata mesin memaksa masuk rumahnya. Andreas Papandreou menyelamatkan diri ke atap rumahnya, tetapi menyerah setelah salah satu tentara menodong putranya yang maish berusia 14 tahun, George Papandreou.[145] Gust Avrakotos, pejabat tinggi CIA di Yunani yang dekat dengan para kolonel, konon menyarankan mereka untuk "menembak orang brengsek itu karena dia akan kembali menghantuimu".[146]
Tokoh-tokoh AS yang mengkritik kudeta ini meliputi Senator Lee Metcalf yang mengkritik pemerintahan Johnson karena memasok bantuan untuk "rezim militer yang beranggotakan kolaborator dan simpatisan Nazi". Phillips Talbot, Duta Besar AS di Athena, menolak kudeta ini karena mencerminkan "pemerkosaan demokrasi". John M. Maury, kepala kantor CIA di Athena, menjawab, "Bagaimana caranya memerkosa pelacur?"[145] CIA mengklaim bahwa kudeta ini tidak disangka-sangka oleh mereka.[147]
1970-an
1971: Bolivia
Pemerintah AS membantu kudeta tahun 1971 pimpinan Jenderal Hugo Banzer yang menggulingkan Presiden Bolivia, Juan José Torres.[148][149] Torres mengecewakan AS karena mendirikan "Asamblea del Pueblo" (Majelis Rakyat). Lapisan-lapisan masyarakat proletar diwakili di majelis ini (penambang, guru berserikat, pelajar, petani) dan mengubah haluan negara ini ke sayap kiri. Banzer memimpin pemberontakan militer pada 18 Agustus 1971 yang berhasil merebut kekuasaan pada 22 Agustus 1971. AS kemudian memberi bantuan militer dan bantuan lain kepada pemerintahan diktator Banzer. Banzer sendiri membungkam kebebasan berbicara dan pembangkangan, menyiksa ribuan orang, "melenyapkan" dan membunuh ratusan orang, dan membubarkan serikat pekerja dan universitas.[150][151] Torres menyelamatkan diri ke luar negeri, lalu diculik dan dibunuh pada tahun 1976. Pembunuhan ini adalah bagian dari Operasi Condor, kampanye penindasan politik dan terorisme negara oleh diktator sayap kanan Amerika Selatan yang didukung AS.[152][153][154]
1972–1975: Irak
AS diam-diam menyalurkan jutaan dolar ke pemberontak Kurdi yang dibantu Iran untuk melawan pemerintah Irak.[155][156] Peran AS sangat rahasia sampai-sampai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan "Komite 40" yang dibentuk untuk mengawasi operasi rahasia tidak tahu. Tentara Partai Demokratik Kurdi dipimpin oleh Mustafa Barzani. Tanpa sepengetahuan suku Kurdi, AS justru ingin pemberontakan ini gagal. Tujuannya adalah membuat pemerintah Irak teralihkan dan sibuk.[157][158] AS mendadak berhenti membantu pihak Kurdi pada tahun 1975. Meski pihak Kurdi berkali-kali meminta bantuan, AS menolak mengulurkan bantuan kemanusiaan untuk ribuan orang Kurdi yang mengungsi akibat gagalnya pemberontakan.[159][160]
1973: Chili
Presiden Salvador Allende yang terpilih secara demokratis digulingkan oleh angkatan bersenjata dan kepolisian nasional Chili. Kudeta ini terjadi setelah kerusuhan sosial dan politik yang berlarut-larut antara Kongres Chili yang berhaluan kanan dan Allende sekaligus perang ekonomi yang dimulai oleh pemerintah AS.[161] Sebelum kudeta, kepala staf angkatan darat Chili, René Schneider, seorang jenderal yang berkomitmen melindungi tatanan konstitusional, dibunuh pada tahun 1970 dalam upaya penculikan gagal yang dibantu CIA.[162][163] Pemerintahan Augusto Pinochet yang berkuasa setelah kudeta diketahui melenyapkan kurang lebih 3.200 pembangkang politik, memenjara 30.000 orang (banyak diantaranya disiksa), dan memaksa 200.000 penduduk Chili mengungsi di luar negeri.[164][165][166] CIA, lewat Project FUBELT (atau Track II), diam-diam menyusun rencana kudeta. AS awalnya membantah keterlibatan apapun, tetapi banyak dokumen rahasia yang terungkap seiring waktu berlalu.[167]
1979–1989: Afghanistan
Dalam "Operasi Cyclone", pemerintah Amerika Serikat diam-diam mengirim senjata dan dana untuk sejumlah panglima perang dan faksi gerilyawan Jihad bernama Mujahidin di Afghanistan. Mujahidin saat itu berjuang menggulingkan pemerintah Afghanistan dan pasukan militer Soviet yang mendukungnya. Melalui Inter-Services Intelligence (ISI), badan intelijen Pakistan, AS menyalurkan senjata, uang, dan pelatihan bagi para pejuang Afghanistan, termasuk kelompok jihad yang kelak dikenal dengan nama Taliban. AS mengeluarkan $800 juta untuk membantu 35.000 petempur asing dari Arab.[168][169][170][171] Petempur Arab Afghanistan juga "diuntungkan secara tidak langsung oleh pendanaan CIA melalui ISI dan organisasi pemberontak."[172][173] Sebagian penerima bantuan CIA adalah komandan-komandan Arab seperti Jalaluddin Haqqani dan Gulbuddin Hekmatyar yang menjadi sekutu penting Osama Bin Laden selama bertahun-tahun.[174][175][176] Menurut mantan Menteri Luar Negeri Robin Cook, sejumlah militan yang didanai CIA kelak menjadi bagian dari Al Qaeda, termasuk Osama Bin Laden.[177][178][179][180][181] Namun, tuduhan ini dibantah oleh Steve Coll ("Apabila CIA benar-benar mengontak bin Laden pada 1980-an dan menutup-nutupinya, CIA telah melakukan kerja yang bagus"),[182] Peter Bergen ("Teori bahwa bin Laden dilatih oleh CIA itu pernyataan tanpa bukti pendukung"),[183] dan Jason Burke ("Sering sekali orang bilang bahwa bin Laden didanai oleh CIA. Ini tidak benar dan tidak mungkin karena tidak sesuait dengan struktur pendanaan yang dirancang oleh Jenderal Zia ul–Haq, penguasa Pakistan tahun 1977").[184] Walaupun Operasi Cyclone secara resmi berakhir tahun 1989 dengan penarikan tentara Soviet dari Afghanistan, kucuran dana AS untuk Mujahidin terus berlanjut sampai 1992 ketika mereka menggulingkan pemerintah Afghanistan di Kabul.[185]
1980-an
1980-1989: Polandia
Berbeda dengan Carter, pemerintahan Reagan mendukung gerakan Solidarność di Polandia dan—berdasarkan intelijen CIA—melakukan kampanye hubungan masyarakat untuk mencegah "potensi laju pasukan militer Soviet dalam jumlah besar ke Polandia."[186] Michael Reisman dari Yale Law School menyebut operasi di Polandia sebagai salah satu aksi rahasia CIA pada masa Perang Dingin.[187] Kolonel Ryszard Kukliński, perwira senior Staf Polandia, diam-diam mengirim laporan ke CIA.[188] CIA melakukan transfer tunai sebesar $2 juta per tahun ke Solidarność dengan total $10 juta selama lima tahun. Tidak ada hubungan langsung antara CIA dan Solidarność. Semua dana ditransfer melalui pihak ketiga.[189] Pejabat-pejabat CIA dilarang bertemu petinggi Solidarność. Kontak CIA dengan aktivis Solidarność tidak seintens AFL-CIO. AFL-CIO menggalang $300.000 dari anggota-anggotanya untuk memasok materi dan uang tunai langsung ke Solidarity tanpa syarat. Kongres Amerika Serikat memerintahkan National Endowment for Democracy untuk menyebarkan nilai demokrasi. NED mengalokasikan $10 juta untuk Solidarność.[190]
Ketika pemerintah Polandia menetapkan jam malam pada bulan Desember 1981, Solidarność tidak diberitahu. Ada beberapa penjelasan; sejumlah pihak percaya bahwa CIA kecolongan, tetapi ada pula pihak yang menduga pengambil kebijakan AS lebih memilih pembersihan internal daripada "intervensi Soviet".[191] Dukungan CIA untuk Solidarność terdiri dari uang, perlengkapan, dan pelatihan yang dikoordinasikan oleh Special Operations.[192] Henry Hyde, anggota komite intelijen DPR AS, menyatakan bahwa AS mengirim "pasokan dan bantuan teknis seperti koran rahasia, siaran, propaganda, uang, bantuan organisasi, dan saran".[193] Anggaran awal aksi rahasia CIA sebesar $2 juta, lalu dinaikkan. Pada tahun 1985, CIA berhasil menyusup ke Polandia.[194]
1980–1992: El Salvador
Pemerintah El Salvador terlibat perang saudara mematikan melawan Front Pembebasan Nasional Farabundo Martí (FMLN), organisasi payung kelompok oposisi sayap kiri, dan para pemimpin koperasi petani, pemimpin buruh, dan pendukung reformasi tanah dan perbaikan kondisi bagi "campesinos" (petani penyewa dan buruh tani lainnya) yang mendukung FMLN. Militer Salvador mengirim pasukan pembunuh untuk meneror warga sipil di pedesaan supaya berhenti mendukung FMLN.[195] Tentara pemerintah membunuh lebih dari 75.000 warga sipil sepanjang perang pada tahun 1980–1992.[196][197][198][199][200][201] Pemerintah AS memberi pelatihan militer dan senjata untuk militer Salvador. Batalyon Atlacatl, batalyon kontra-pemberontak, dibentuk tahun 1980 di School of the Americas milik Angkatan Darat AS dan berperan penting dalam kebijakan "bumi hangus" melawan FLMN dan desa-desa pendukungnya. Tentara Atlacatl dipersenjatai dan diatur oleh penasihat militer AS yang beroperasi di El Salvador.[202][203][204] Batalyon Atlacatl juga terlibat dalam pembantaian El Mozote bulan Desember 1981.[205] Pada Mei 1983, sejumlah perwira AS menduduki pucuk militer Salvador, mengambil keputusan penting, dan mengatur jalannya perang.[206][207][208][209] Komisi pencari fakta Kongres AS menemukan bahwa militer Salvador menerapkan kebijakan penindasan yang "menghancurkan beberapa desa, mengepung pasukan gerilya, dan memutus pasokan mereka."[210] Strategi "laut kering" atau "bumi hangus" didasarkan pada taktik kontra-pemberontak junta di Guatemala dan diturunkan/diadaptasi dari strategi AS semasa Perang Vietnam dan diajarkan oleh penasihat militer AS.[211][212]
1982–1989: Nikaragua
Pemerintah AS berusaha menumbangkan pemerintahan Nikaragua dengan diam-diam mempersenjatai, melatih, dan mendanai Contra, kelompok militan yang berpusat di Honduras dan dibentuk untuk menyabotase Nikaragua sekaligus mengganggu jalannya pemerintahan Nikaragua.[213][214][215][216] Sebagai bagian dari latihan, CIA menyebarkan "buku panduan teror" terperinci berjudul "Psychological Operations in Guerrilla War" yang mencantumkan cara meledakkan gedung pemerintah, membunuh hakim, mempersiapkan martir atau penyerang bunuh diri, dan menekan warga sipil.[217] Selain membantu Contra, pemerintah AS juga meledakkan jembatan dan meranjau perairan Corinto; tenggelamnya beberapa kapal sipil Nikaragua dan kapal asing menewaskan warga sipil.[218][219][220][221] Karena Amendemen Boland melarang pemerintah AS mendanai aktivitas Contra, pemerintahan Ronald Reagan diam-diam menjual senjata kepada pemerintah Iran untuk mendanai aparat rahasia pemerintah AS yang terus mendanai Contra secara ilegal. Keputusan ini dikenal sebagai Skandal Iran-Contra.[222] AS terus mempersenjatai dan melatih Contra meskipun pemerintahan Sandinista menang pemilu tahun 1984.[223][224]
1983: Grenada
Melalui Operasi Urgent Fury, militer Amerika Serikat menyerbu negara pulau Grenada untuk menggulingkan pemerintahan Marxis yang tidak disukai pemerintahan Reagan.[225][226] Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencap invasi AS sebagai "pelanggaran berat hukum internasional",[227] tetapi resolusi yang didukung mayoritas suara di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa diveto di AS.[228][229]
1989: Panama
Pada bulan Desember 1989, dalam operasi militer berjulukan Operation Just Cause, Amerika Serikat menyerbu Panama. Presiden George H. W. Bush memulai perang ini sepuluh tahun setelah Perjanjian Torrijos–Carter diratifikasi untuk memindahkan kedaulatan Terusan Panama dari Amerika Serikat ke Panama pada tahun 2000. AS menggulingkan pemimpin de facto, jenderal, dan diktator Manuel Noriega dan mengekstradisinya ke AS. Presiden terpilih Guillermo Endara kemudian dilantik dan Pasukan Pertahanan Panama dibubarkan.
Pasca-Perang Dingin
1990-an
1991: Kuwait
Usai serbuan Irak ke Kuwait bulan Agustus 1990, pemerintah Amerika Serikat melobi berbagai negara di Dewan Keamanan PBB untuk mendukung resolusi yang mengizinkan negara-negara anggota PBB menggunakan "cara apapun bila perlu" untuk mengusir tentara Irak dari Kuwait.[230] Setelah Resolusi 678 Dewan Keamanan PBB disahkan, AS menyusun pasukan koalisi beranggotakan 34 negara untuk melancarkan invasi. Operasi ini dimulai pada bulan Januari 1991 dengan julukan "Operasi Desert Storm". Koalisi pimpinan AS memukul mundur pasukan Irak dari Kuwait dan mengangkat kembali Sheikh Jaber al-Ahmad al-Sabah sebagai amir Kuwait.[231]
1991: Haiti
Delapan bulan setelah pemilihan umum demokratis pertama di Haiti, Presiden terpilih Jean-Bertrand Aristide digulingkan oleh militer Haiti. Sejumlah pihak menduga CIA "membayar orang-orang penting di dalam pasukan kudeta yang diidentifikasi sebagai penyelundup obat-obatan terlarang untuk memperoleh informasi sejak pertengahan 1980-an sampai kudeta terjadi."[232] Pemimpin kudeta, Cédras dan François, mengikuti pelatihan militer di Amerika Serikat.[233]
1991–2003: Irak
Setelah Perang Teluk Persia tahun 1991, pemerintah Amerika Serikat berhasil melobi supaya sanksi sebelum perang diperkuat.[234] Dewan Keamanan PBB menyetujui Resolusi 687 pada April 1991.[235][236] Setelah PBB menjatuhkan sanksi yang lebih berat, para pejabat AS menyatakan pada bulan Mei 1991—ketika banyak pihak memperkirakan pemerintahan Saddam Hussein akan bubar[237][238]—bahwa sanksi tidak akan dicabut sepanjang Saddam masih berkuasa.[239][240][241] Pada periode pemerintahan berikutnya, AS menyatakan bahwa sanksi akan dicabut apabila Irak mematuhi semua resolusi PBB yang dilanggarnya, termasuk inspeksi senjata PBB.[242] Dampak sanksi terhadap kehidupan warga sipil Irak, termasuk tingkat kematian anak, masih diperdebatkan waktu itu. Meski banyak yang percaya bahwa sanksi menaikkan tingkat kematian anak, penelitian terkini menunjukkan bahwa data yang sering dikutip justru dipalsukan oleh pemerintah Irak dan "jumlah kematian anak di Irak tidak mengalami kenaikan besar setelah 1990 maupun selama sanksi berlaku."[243][244][245][246][247]
1994–2000: Irak
CIA melaksanakan DBACHILLES, operasi kudeta terhadap pemerintah Irak, dengan merekrut Ayad Allawi, ketua Iraqi National Accord, jaringan warga Irak yang menentang pemerintahan Saddam Hussein. Jaringan ini melibatkan perwira militer dan intelijen Irak, tetapi disusupi oleh orang-orang yang loyal dengan pemerintah Irak.[248][249][250] Melalui Ayad Allawi dan jaringannya, CIA melakukan sabotase pemerintah dan rangkaian pengeboman di Baghdad pada tahun 1992 sampai 1995. Tindakan ini menyasar target-target yang—menurut pemerintah Irak saat itu—menewaskan warga sipil, termasuk penonton bioskop.[251] Kampanye pengeboman CIA mungkin bertujuan menguji kapasitas operasional jaringan aset darat CIA, bukan untuk melancarkan kudeta.[251] Kudetanya gagal, tetapi Ayad Allawi kelak diangkat sebagai Perdana Menteri Irak oleh Dewan Pemerintah Sementara Irak yang dibentuk oleh koalisi pimpinan AS usai invasi dan pendudukan Irak pada Maret 2003. Secara terbuka, AS mengesahkan Undang-Undang Pembebasan Irak pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa "Amerika Serikat harus memiliki kebijakan yang mendukung upaya untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein di Irak". Kongres menganggarkan dana bantuan "untuk organisasi oposisi demokrat Irak."[252]
1997: Indonesia
Pemerintahan Clinton melihat kesempatan untuk menggulingkan Presiden Suharto setelah pemerintahannya dirasa semakin rentan usai krisis keuangan Asia 1997. Pejabat pemerintah Amerika Serikat berupaya memperparah krisis moneter Indonesia dengan mendorong Dana Moneter Internasional untuk menentang rencana Suharto membentuk dewan mata uang untuk menstabilkan rupiah. Tujuannya adalah memancing sentimen negatif dari masyarakat. Direktur IMF Michel Camdessus mengatakan, "Kami menciptakan kondisi yang mengharuskan Presiden Suharto mundur dari jabatannya." Mantan Menteri Luar Negeri AS Lawrence Eagleburger mengatakan, "Kami cukup cerdik karena kami berpihak kepada IMF sehingga [Suharto] digulingkan. Bijak atau tidaknya itu persoalan lain. Saya tidak bermaksud bahwa Pak Suharto seharusnya bertahan, tetapi saya ingin dia mundur bukan karena didesak IMF."[253][254] Ratusan orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi setelah itu.
2000-an
2000: Yugoslavia
Sejak 1998 hingga 2000, lebih dari $100.000.000 ditransfer dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melalui Quango ke partai-partai oposisi untuk memulai pergantian rezim di Yugoslavia.[255] Setelah hasil pemilu Yugoslavia 2000 diketahui bermasalah, Deplu AS membantu kelompok-kelompok oposisi seperti Otpor! dengan memasok materi promosi dan jasa konsultasi lewat Quango.[256] Keterlibatan Amerika Serikat bertujuan mempercepat dan mendorong pembangkangan melalui pemaparan, sumber daya, dorongan moral dan material, bantuan teknologi, dan saran profesional.[255] Kampanye ini merupakan salah satu faktor yang memicu Revolusi Buldoser dan tergulingnya presiden Slobodan Milošević pada tanggal 5 Oktober 2000.[255]
2005: Iran
Menurut sumber-sumber intelijen AS dan Pakistan, sejak 2005, pemerintah AS diam-diam mendukung dan memengaruhi sebuah kelompok militan Baloch bernama Jundullah, otak di balik rangkaian serangan gerilya mematikan di Iran.[257] Jundullah di bawah pimpinan Abdolmalek Rigi (kadang ditulis Abd el Malik Regi) diduga berafiliasi dengan Al Qaeda, tetapi Jundullah membantah tuduhan tersebut. ABC News menerima informasi dari informan Baloch bahwa dana untuk Jundullah ditransfer lewat eksil-eksil Iran. Menurut Vali Nasr, "Jundullah diduga menjalin hubungan dengan Al Qaeda dan diduga terlibat perdagangan obat-obatan terlarang".[258] Sumber intelijen AS mengklaim bahwa operasi Jundullah adalah operasi palsu Mossad Israel yang disamarkan sehingga seolah-olah direncanakan oleh intelijen AS.[259]
2006–07: Palestina
Pemerintah Amerika Serikat menekan faksi Fatah di Palestina untuk menggulingkan pemerintahan Hamas yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniyeh.[260][261][262] Pemerintahan Bush tidak puas dengan pemerintahan yang dipilih penduduk Palestina dalam pemilu legislatif Januari 2006.[260][261][263] Pemerintah AS membuat program pelatihan dan persenjataan rahasia yang anggarannya disetujui oleh Kongres. Selain itu, seperti skandal Iran-Contra, ada juga sumber pendanaan rahasia non-Kongres untuk Fatah yang bertujuan memicu perang dan kekerasan melawan pemerintahan Haniyeh.[260][264][265] Perang berlangsung brutal dan memakan banyak korban. Fatah menculik dan menyiksa sejumlah pemimpin sipil Hamas, kadang-kadang di hadapan keluarga mereka, dan membakar sebuah universitas di Gaza. Ketika pemerintah Arab Saudi berinisiatif merundingkan gencatan senjata antara kedua belah pihak demi mencegah perang saudara besar-besaran, pemerintah AS memaksa Fatah menolak usulan Saudi dan terus berusaha menggulingkan Haniyeh.[260] Pemerintahan Haniyeh akhirnya kehilangan kekuasaan di seluruh Palestina; Hamas mundur ke Jalur Gaza dan Fatah mundur ke Tepi Barat.
Pasca–2005: Suriah
Sejak 2006, Departemen Luar Negeri mengirimkan sedikitnya $6 juta kepada saluran satelit anti-pemerintah Barada TV yang berafiliasi dengan kelompok eksil Gerakan Keadilan dan Pembangunan di Suriah. Dukungan rahasia ini berlanjut pada masa pemerintahan Obama walaupun AS kembali membina hubungan dengan rezim Bashar Al-Assad.[266][267]
Setelah Perang Saudara Suriah pecah, pemerintah AS meminta Presiden Bashar Al Assad "mundur" dan menerapkan embargo minyak untuk melemahkan pemerintah Suriah.[268][269][270] AS memberi pelatihan, senjata, dan dana untuk pemberontak "moderat" Suriah sejak 2013[271][272] dan Dewan Militer Agung sejak 2014.[273][274]
Pada Maret 2017, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan bahwa prioritas AS di Suriah bukan lagi "menumbangkan Assad".[275] Dalam konferensi pers di Ankara, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson juga menyatakan bahwa "status Presiden Assad dalam jangka panjang akan ditentukan oleh rakyat Suriah."[276] Walaupun program Departemen Pertahanan AS untuk membantu pemberontak Kurdi yang memerangi Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) terus berlanjut, Presiden Trump memerintahkan "pencabutan" bantuan CIA untuk pemberontak anti-Assad pada Juli 2017.[277]
2010-an
2011 Libya
Amerika Serikat adalah bagian dari koalisi multinasional yang melancarkan intervensi militer di Libya untuk menegakkan Resolusi 1973 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa usai pecahnya Perang Saudara Libya.[278] Operasi militer dimulai dengan peluncuran 110 rudal jelajah Tomahawk oleh angkatan laut AS dan Britania,[279] pengerahan Angkatan Udara Prancis dan Britania di Libya,[280] dan blokade perairan oleh pasukan koalisi.[281]
2013: Mesir
Meski keterlibatan AS dalam perencanaan atau pelaksanaan kudeta Mesir tidak diketahui, AS menolak mengakui terjadinya kudeta supaya bisa terus memasok bantuan militer untuk pemerintahan yang berkuasa pasca-kudeta.[282]
2014: Ukraina
Pada Desember 2013, Senator John McCain dari Partai Republik bersama Senator Chris Murphy dari Partai Demokrat menemui Yatsenyuk dan Tyahnybok, lalu berpidato di hadapan kerumunan demonstran:
"Ukraina akan membuat Eropa lebih baik dan Eropa akan membuat Ukraina lebih baik. Kami di sini untuk mendukung perjuangan kalian, hak berdaulat Ukraina untuk menentukan nasibnya sendiri secara bebas dan merdeka. Nasib kalian adalah menjadi bagian dari Eropa. Kami di sini mencoba memulai transisi damai yang dapat menghentikan kekerasan dan memberikan rakyat Ukraina sesuatu yang belum dimilikinya setelah berkali-kali melakukan revolusi, sebuah masyarakat yang nyata. Inilah revolusi akar rumput. Revolusi ini berlangsung damai, kecuali ketika pemerintah mencoba meredamnya, dan sejauh ini pemerintah belum melakukannya. Saya memuji kemampuan dan keinginan mereka untuk berunjuk rasa dengan damai menuntut perubahan yang saya rasa patut dirasakan oleh mereka. Orang-orang ini mencintai Amerika Serikat. Mereka cinta kebebasan. Saya rasa kalian bisa menganggap ini sebagai wujud dukungan kami seperti biasa untuk bangsa yang menghendaki masyarakat bebas dan demokratis." [283]
Dalam sebuah rekaman percakapan telepon yang bocor, Wakil Menteri Luar Negeri Victoria Nuland dan Duta Besar AS untuk Ukraina Geoffrey Pyatt membahas rencana membantu Ukraina mendirikan pemerintahan sementara. Dalam rekaman yang sama, Nuland mengatakan, "Persetan Uni Eropa", dan mengkritik lambatnya upaya Eropa dalam menangani kebuntuan politik dan kemungkinan krisis ekonomi di Ukraina.[284]
2015–sekarang: Yaman
Amerika Serikat mendukung intervensi Arab Saudi dalam Perang Saudara Yaman. Perang Saudara Yaman pecah pada tahun 2015 antara dua kubu. Setiap kubu saat itu mengklaim mendukung pemerintahan Yaman yang sah:[285] pasukan Houthi yang menguasai ibu kota Sana'a dan mendukung mantan presiden Ali Abdullah Saleh bertempur melawan pasukan yang menguasai Aden dan tunduk kepada pemerintahan Abdrabbuh Mansur Hadi.[286] Serangan koalisi Saudi bertujuan mengembalikan Hadi sebagai pemimpin Yaman dan bekerja sama dengan berbagai faksi di sana.[287] Intervensi Arab Saudi dikutuk secara luas karena melibatkan pengeboman kota dan permukiman, termasuk sekolah dan rumah sakit.[288][289][290] Militer AS memberi bantuan target, intelijen, dan logistik untuk kampanye pengeboman yang dipimpin Saudi,[291] termasuk pengisian bahan bakar di udara.[292][293] AS juga memasok senjata dan bom,[294] termasuk bom curah yang dilarang di sebagian besar negara dan digunakan oleh Arab Saudi dalam konflik ini.[295][296] AS dikritik karena memasok senjata dan bom dan secara bersamaan tahu bahwa pengeboman Saudi menyasar warga sipil dan melanggar aturan perang.[297][298][299] Sejumlah pihak menilai pemerintah AS bisa digolongkan sebagai "pihak berperang" (beligeren) dalam konflik ini. Karena itu, personel militer AS dapat diadili atas kejahatan perang.[300][301][302] Seorang Senator menuduh AS terlibat dalam tragedi kemanusiaan Yaman yang diderita jutaan orang.[303][304] Pada Mei 2018, perang saudara masih buntu dan 13 juta warga Yaman menderita kelaparan.[305]
2017–sekarang: Venezuela
Pada tanggal 11 Agustus 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa ia "tetap mempertimbangkan opsi militer" untuk menghadapi pemerintahan otokratik Nicolás Maduro dan krisis Venezuela yang semakin parah.[306] Penasihat Trump menjelaskan bahwa solusi militer tidak baik dibicarakan karena AS punya sejarah panjang intervensi di Amerika Latin.[307] Menteri Pertahanan Venezuela Vladimir Padrino langsung mencap pernyataan Trump sebagai "tindak ekstremisme" dan "kegilaan". Menteri Komunikasi Venezuela Ernesto Villegas mengatakan bahwa pernyataan Trump tergolong "ancaman terhadap kedaulatan bangsa".[308]
Perwakilan AS menghubungi sejumlah perwira militer pembangkang Venezuela pada tahun 2017 dan 2018, tetapi menolak bekerja sama atau memberi bantuan kepada mereka.[309] Opini negara-negara lain di Amerika Latin terbelah. Luis Almagro, Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) masih mempertimbangkan keuntungan mengerahkan militer untuk menghadapi krisis ini. Kanada, Kolombia, dan Guyana, anggota Grup Lima, menolak menandatangani dokumen OAS yang menolak intervensi militer di Venezuela.[310][311]
Setelah masa jabatan Maduro berakhir tanggal 10 Januari 2019, krisis konstitusional terjadi. Pada tanggal 11 Januari, Majelis Nasional mengumumkan bahwa Juan Guaidó, Presiden Majelis Nasional Venezuela, diangkat sebagai penguasa dan pelaksana tugas Presiden Venezuela. Klaim kekuasaannya diakui beberapa hari kemudian oleh beberapa negara di Amerika Latin dan belahan dunia lain.[312][313][314] Tanggal 23 Januari, Guaidó dilantik sebagai presiden sementara. Kepresidenannya langsung diakui oleh beberapan negara asing.[315][316][317][318][319] Amerika Serikat mendukung Guaidó beberapa menit setelah ia dilantik.[320] Nicolás Maduro merespons dengan memerintahkan diplomat AS keluar dari Venezuela dalam kurun 72 jam.[321][butuh sumber yang lebih baik] Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menolak tuntutan Maduro karena tidak ada legitimasi, “Amerika Serikat tidak mengakui rezim Maduro...Amerika Serikat juga tidak mengakui bahwa mantan presiden Nicolas Maduro memiliki kewenangan hukum untuk memutus hubungan diplomatik...”[322]
Keterlibatan rahasia
Pada era modern, Amerika Serikat terlibat dalam berbagai upaya pergantian rezim rahasia. Pada masa Perang Dingin, pemerintah AS diam-diam membantu kudeta militer yang menggulingkan presiden yang terpilih secara demokratis di Suriah tahun 1949, Iran tahun 1953, Guatemala tahun 1954, Krisis Kongo 1960, Brasil tahun 1964, dan Chili tahun 1973.
Komentar
Posting Komentar