Pemimpin Asing
Teori Raja Asing (bahasa Inggris: Stranger King) memberikan kerangka kerja untuk memahami kolonialisme global. Teori ini berusaha menjelaskan sebab mudahnya masyarakat pribumi menerima bangsa kolonial asing dan menyerahkan urusan pembentukan negara kepada bangsa kolonial dalam lingkup (kontinuum) proses pribumi yang lebih kuno dan serupa.
Teori tersebut menegaskan bahwa kolonialisme diterapkan bukan sebagai akibat dari patahnya semangat masyarakat lokal karena pemaksaan, atau cerminan keluguan kaum petani yang menerima kebohongan para pemimpinnya, melainkan sebagai bentuk penerimaan rasional dan produktif masyarakat terhadap kesempatan yang ditawarkan.
Teori ini dikembangkan oleh Marshall Sahlins di kawasan Pasifik dan dideskripsikan oleh David Henley menggunakan contoh Sulawesi Utara di Indonesia sebagai studi kasus utamanya. Teori Raja Asing menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan antara proses pembentukan negara pra-kolonial dan kolonial sesuai penelitian historiografi peralihan kolonial di kawasan Asia Pasifik.[1]
Teori
Teori Raja Asing memaparkan bahwa banyak orang pribumi yang menerima pengaruh kolonial asing sebagai pihak peredam konflik. Untuk menjelaskannya, teori Raja Asing menantang pemikiran 'tradisi versus modernitas' dan 'nasionalisme versus imperialisme' dan menempatkan pembentukan negara oleh bangsa kolonial dalam kontinuum proses pribumi yang lebih awal dan serupa. Teori ini didasarkan pada penggambaran masyarakat pribumi tradisional oleh filsuf politik Inggris abad ke-17, Thomas Hobbes, yang menurutnya terbenuk dalam keadaaan 'Warre', iri, dan konflik.
Teori ini dikembangkan oleh antropolog Marshall Sahlins dalam analisisnya tentang masyarakat Pasifik seperti di Fiji. Ia berpendapat bahwa masyarakat pribumi dalam keadaan 'Warre' cenderung menyambut datangnya Raja Asing yang tidak memihak dan kuat, yang mampu menyelesaikan konflik karena posisinya yang berada di luar dan di atas masyarakat membuatnya mendapatkan kewenangan istimewa. Konsisten dengan teori ini, para pakar seperti Jim Fox dan Leonard Andaya telah menunjukkan kesamaan antara Indonesia (timur) dan kawasan Pasifik, sedangkan David Henley menerapkan konsep Raja Asing di Sulawesi Utara.[1]
Raja Asing di Sulawesi
Vereenigde Oostindische Compagnie dan bangsa Spanyol memberikan solusi Raja Asing terhadap dilema politik yang mewarnai masyarakat pribumi Sulawesi yang terpecah dan sering berselisih. Catatan Belanda biasanya menyebut masyarakat pribumi, misalnya pemangku kepentingan Minahasa, sebagai orang-orang yang mensyukuri intervensi asing setelah institusi politiknya sendiri tidak mampu menyediakan keamanan dan kestabilan yang diperlukan untuk mencapai kemakmuran. Kesaksian sejarah ini membenarkan konsep Raja Asing, namun kontroversial karena sumbernya (Belanda) dan selalu dianggap sebagai propaganda kolonial. Di sisi lain, studi Henley memberikan bukti (Chapter XI, 'Patterns and Parallels') bahwa bukan sumber Eropa saja yang menjelaskan ketidakpastian dan konflik di kalangan masyarakat pribumi dan strategi masyarakat pribumi untuk mengangkat Raja Asing demi menghapus status quo. Henley memaparkan berbagai macam kronik dan kesaksian pribumi (e.g. Bugis dan Makassar) dari para antropolog yang menjelaskan dan membenarkan proses pembentukan negara pra-kolonial dan kolonial dengan cara serupa, dan ini tidak terjadi di Minahasa atau Asia Tenggara saja, melainkan seluruh dunia.[1]
Teori Raja Asing membantah teori bahwa proses kolonisasi berabad-abad adalah proses pemberontakan pribumi tanpa henti terhadap pendudukan militer yang agresif. Meski begitu, para pedagang, militer, pegawai sipil, dan misionaris Raja Asing memiliki motif dan agendanya tersendiri. Para kolonis mendapat kekuasaan bukan saja melalui kekuatan militer, tetapi juga aliansi politik, kerja sama diplomatik, dan menyediakan mekanisme arbitrase yang relatif imparsial (tidak memihak). Alih-alih digunakan sebagai instrumen penindasan, pengadilan kolonial juga membuka kesempatan keadilan bagi masyarakat pribumi dan tidak ada penyuapan serta bantuan khusus.
Tanpa mengurangi arogansi atau kepentingan pribadi para pemegang kepentingan kolonial, Henley menyatakan:[1]
"Kita tidak akan bisa memahami lebih baik sifat masyarakat tersebut jika entah karena malu, tidak percaya, atau tidak tertarik, kita justru memilih mengabaikan betapa mudahnya mereka dikendalikan oleh bangsa kolonial, atau mengabaikan bukti bahwa 'Raja Asing' dipandang sebagai fungsi pencapai tujuan yang berguna bagi mereka." - David Henley di 'Jealousy and Justice' (P.89)
Raja Asing di Sri Lanka
Dalam tesisnya, Schiller menerima konsep Raja Asing sebagai cara politik untuk menghubungkan faksi-faksi di lembaga politik Asia Tenggara pada zaman modern awal dan menerapkannya pada situasi politik di Kerajaan Kandy pada abad ke-18. Ia berpendapat bahwa status orang luar atau orang asing diperlukan oleh raja Kandy untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan di kerajaan kecilnya, dan membuka kesempatan terjadinya proses politik yang berujung pada pemindahan kekuasaan dari kerajaan ini kepada Britania Raya pada tahun 1815. Selain itu, ia berpendapat bahwa strategi Raja Asing berlaku bagi pihak asing Eropa dan Asia.
Dalam kurun tiga tahun, para bangsawan menyadari bahwa mereka kehilangan kekuasaan di bawah rezim Britania, dan mereka sekali lagi mengangkat Raja Asing India Selatan bernama Dore Swami. Pemberontakan mereka tahun 1818 sayangnya berhasil diredam oleh Britania dan menyebabkan pengendalian lebih ketat atas provinsi-provinsi Kandy serta pembatasan hak otonomi bangsawan Kandy.[2]
Penggunaan akademik
Teori Raja Asing digunakan sebagai alat analiis untuk memahami dan merangkai kembali riwayat interaksi antara bangsa Eropa dan Asia di Asia Tenggara dan mengusulkan kerangka kerja alternatif untuk memahami kolonialisme. Dalam pertemuan tahun 2007 bertajuk "Re-thinking colonialism in Southeast Asia and the Indian Ocean, 18TH to 19TH Century" yang dipimpin International Convention of Asia Scholars (ICAS), konsep ini digunakan untuk mendapat pemahaman mendalam mengenai dinamisnya peran masyarakat pribumi selama proses kolonisasi dan rumitnya hubungan antara kolonis dan pihak yang dikolonisasi.[3]
Ilmu sejarah dan sosial sedang mengembangkan diskursus alternatif baru agar para pakar Eropa-sentris dan akademisi sekaligus revisionis nasionalistik Asia-sentris sama-sama melihat sejarah dari sudut pandang warisan bersama.
"Asia Tenggara telah menjadi peradaban dunia yang tunggal dengan sejarah universal yang sama dan yang dimaksud dengan sejarah Asia-sentris adalah sejarah yang menempatkan bangsa Asia di atas selaku tuan di rumahnya sendiri…" (Smail 1961: 76, 78).[4]
Komentar
Posting Komentar