buah pemikiran bebas
Paham “Manusia adalah Tuhan” dalam
Liberalisme Pemikiran (1)
Senin 28
Zulhijjah 1436 / 12 October 2015 09:20

Oleh:
Muhammad Ridwan
Pegiat ITJ
(#IndonesiaTanpaJIL) Bandung dan PIMPIN (Institut Pemikiran Islam dan
Pembangunan Insan)
CENDIKIAWAN
muslim Khalif Muamar mengatakan, liberalisme umpama arak, yang meskipun ada
manfaatnya tetapi lebih banyak mudharatnya. Ia memang tampak menarik pada
luarannya, namun sebenarnya amat berbahaya dan merupakan racun bagi kehidupan
beragama.
Liberalisme
yang berdiri diatas sekularisme hanyalah merupakan upaya orang-orang Barat
untuk menghapuskan pengaruh agama dari masyarakat agar manusia bisa bebas
sebebas-bebasnya, sesuka hatinya. Padahal ideologi ini muncul disebabkan oleh
keinginan masyarakat Eropa untuk bebas dari pengekangan dan penindasan agama
yang dilakukan oleh para pemuka agama Kristen. Traumatik masyarakat Barat
terhadap Kristen-lah yang menjadikan mereka meragukan agama dan mengingkari
keberadaan Tuhan. Akan tetapi agama lain menjadi terkena imbasnya.
Akar
liberalisme adalah hermeneutika, yakni wahyu tunduk pada sejarah. Menurut Adian
Husaini, orang Barat berpikir bahwa semua agama harus diliberalisasi, harus
tunduk dan ikut pada sejarah karena tidak ada satupun agama yang selamat dari perubahan
sejarah, maka dalam agama tidak ada satu hal pun yang bisa dianggap tetap.
Pada
akhirnya semua dianggap bermasalah dan bisa diperdebatkan. Mereka menganggap
bahwa liberalisasi ini adalah jalan dan solusi terbaik bagi kehidupan, sehingga
dengan arogannya mereka memaksa semua bangsa dan semua agama mengikuti paham
mereka ini.
Jadi agama
harus menyesuaikan, bukan nilai-nilai modern yang harus menyesuaikan dengan
agama. Agamalah yang harus berubah. Inilah teori dari liberalisasi agama.
Padahal
dalam Islam ada hal-hal yang sifatnya tetap atau qoth’i,tsawaabit,
yakni tidak bisa berubah hingga akhir zaman, tidak dapat terpengaruh oleh
sejarah. Bila semuanya dipaksa berubah, maka itu berarti pembubaran
Islam.
Terwujudnya
ideologi pada bangsa Eropa inilah yang memang menjadikan mereka mengalami
kemajuan secara ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi, akan tetapi
dibalik kesejahteraan tersebut moral mereka rusak, banyak yang frustasi dan
stres karena tidak mengetahui agama dan tidak mengenal Tuhan.
Kasus
kematian akibat bunuh diri sangat tinggi, perilaku homoseksual merajalela,
praktek pelacuran dimana-mana, serta tingkat kejahatan pemerkosaan dan
kejahatan lainnya sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara yang
penduduknya menjaga agama.
Sedangkan
dalam bidang ekonomi, seiring dengan semangat liberalisme, rasionalisme,
sekularisme, dan industrialisasi, terbentuklah pula peradaban kapitalisme se
perti sekarang dimana orang kaya semakin kaya, kemudian orang miskin semakin
miskin.
Ciri orang
yang berpemahaman liberal ini selalu meninggikan hak azasi manusia (HAM) di
atas segalanya, mendewakan humanisme bahkan di atas agama.
Segala
tindakan-tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama selalu dibilang
melanggar HAM, padahal hak azasi manusia ini hanya buatan manusia. Mereka
menganggap bahwa manusia adalah tempat kebenaran yang paling utama, bukan
Tuhan. Artinya memposisikan manusia diatas Tuhan. Menuhankan manusia,
memanusiawikan Tuhan.
Padahal yang
paling mengerti soal manusia dan hak-haknya tentu adalah yang menciptakan
manusia itu sendiri, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, inilah konsep Islam.
Dalam Islam pun, ada kekerasan yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu,
misalnya hukum qishas.
Mereka juga
berpendapat bahwa manusia bebas melakukan apapun dan tidak boleh diatur oleh
aturan agama atau non-agama, asal mereka tanggung jawab terhadap dirinya
sendiri, misalnya seks bebas, homoseksual, mabuk-mabukan, dan sebagainya. Tidak
boleh ada yang melarang dan menghukum karena hal itu adalah merupakan hak
pribadi seseorang untuk melakukannya. Menurut mereka yang penting “berbuat
baik” dan tidak merugikan orang lain.
Liberalisme
menempatkan manusia bebas dari ikatan apapun, baik agama maupun bukan agama.
Dalam salah satu akun jejaring sosial, Adian Husaini menuliskan: “Bagi Islam,
beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu
bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan
agama”.
Upaya
liberalisasi Islam oleh Barat bisa terlihat dari berbagai nama yang digagaskan
oleh mereka, misalnya di Amerika Serikat dengan gagasan Islam progresif, di
Pakistan Islam modernis, di Malaysia ada Islam hadhari, dan di Indonesia ada
Islam liberal/Islam moderat. Mereka membubuhi atau menambahkan kata tertentu
dibelakang Islam yang mewakili pemahaman mereka. Padahal sesungguhnya Islam itu
sudah sempurna dan tidak perlu ditambahkan lagi embel-embel kata-kata tersebut
dibelakangnya.
Lagipula
liberal itu merupakan kebebasan yang sebebas-bebasnya semau sendiri, sedangkan
Islam adalah ketundukkan dan kepatuhan kepada Allah, terhadap wahyu yang
diturunkan-Nya, maka Islam dan liberal akan saling bertentangan. Allah
berfirman: اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي
ورضيت لكم الإسلام دينا Artinya: “Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”. (Surat
Al-Maa’idah 5:3). [Bersambung]
Paham “Manusia adalah Tuhan” dalam Liberalisme Pemikiran (2)
Senin 28
Zulhijjah 1436 / 12 October 2015 09:30

Oleh: Muhammad Ridwan
Pegiat ITJ (#IndonesiaTanpaJIL) Bandung dan PIMPIN (Institut
Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan)
PAHAM liberalisme di Indonesia
dipopulerkan dan disebarluaskan secara sistematis oleh Nurcholis Madjid, Harun
Nasution, Dawam Rahardjo, dan lainnya. Lalu sebagai penerusnya yang kita kenal
hari ini aktif dalam menyebarkan ajaran sesat dengan kelompoknya yang dinamai
“Jaringan Islam Liberal” adalah Ulil Abshar Abdala, Luthfi Assyaukanie, Siti
Musdah Mulia, Budhy Munawar Rahman, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangeng,
Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir, dan lainnya.
Dengan dukungan media massa, pendanaan
yang besar, dan sokongan dari negara-negara Barat, kelompok ini menjadi sangat
populer. Mereka berusaha meliberalisasi Islam, akan tetapi Islam tidak akan
pernah bisa terpengaruh sehingga mengalah dan menjadi sekuler atau liberal
seperti Kristen meski mereka bisa mempengaruhi pemeluknya (Muslim).
Ahmad Wahib menafikan Al-Qur’an dan
Hadits sebagai dasar Islam. Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan
Rasul-Nya dengan dugaan-dugaan, “menurut saya” atau “saya pikir”, tanpa
dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain.
Ddalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia
mencoba menafikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai
berikut:
“Menurut saya sumber-sumber pokok untuk
mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah
Qur’an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur’an dan Hadits adalah
sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang
dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah
Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar
negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya
dan lain-lainnya.” (Catatan
Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).
Hartono Ahmad Jaiz menanggapi kutipannya
tersebut: Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam. Pertama,
menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Qur’an dan Hadits
Nabi SAW. Ini menafikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar Islam.
Kedua, Al-Qur’an dan Hadits adalah
kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang
rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan
menyesatkan. Karena Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh
Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, diturunkan secara
berangsur-angsur selama 22 tahun lebih.
Jadi Al-Qur’an itu Kalamullah, perkataan
Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti
yang dituduhkan Ahmad Wahib. Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu: “Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS Al-Baqarah: 23).
Ketiga, Al-Qur’an dan Hadits dia anggap
hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber
ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun
Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.
Keempat, Al-Qur’an dan Hadits
disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya
hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu
senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang
tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai
berdosa apabila melanggar adat Arab. Tetapi siapapun yang konsekuen dengan
Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting
Djohan Effendi iitu jelas merusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat
berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadits telah
dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke
mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?.
Gagasan liberalisasi di Indonesia bisa
kita lihat dalam buku Greg Barton yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Gagasan Islam Liberal Di
Indonesia”, diterbitkan
tahun 1999 oleh Paramadina. Dalam buku ini disebutkan, ada empat program utama
liberalisasi Islam di Indonesia yang dimulai sejak awal tahun 1970.
Program yang pertama adalah menanamkan
pentingnya kontekstualisasi ijtihad, yakni ijtihad dalam penetapan hukum Islam
yang penting adalah bukan teks, melainkan konteksnya. Yang kedua adalah
komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, yakni lebih mementingkan rasio
daripada nash. Jadi apabila ada nash Al-Qur’an yang bertentangan dengan
rasio, maka gunakan rasio.
Yang ketiga adalah komitmen terhadap
pluralisme agama, yakni sebuah paham yang merombak dan mendekonstruksi
keyakinan umat Islam akan agamanya sendiri yang memaksa umat Islam tidak boleh
meyakini bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar, hanya Islam yang
sempurna, dan hanya Islam yang diridhoi oleh Allah. Aturan pluralisme ini
berlaku pula untuk umat agama lain.
Kemudian terakhir, yang keempat adalah
pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara,
artinya tidak boleh ada satu agamapun yang mendominasi dalam pemerintahan
sebuah negara. Hukum agama tidak boleh diterapkan dalam negara.
Merujuk pada berbagai kamus otoritatif,
Budhy Munawar Rahman menjelaskan bahwa liberalisme adalah paham yang berusaha
memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial.
Liberalisme merupakan tata pemikiran yang landasannya adalah manusia yang
bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang
optimistis tentang manusia.
Dari pengertian liberalisme ini maka
terlihat dua agenda besar yang diperjuangkannya, yaitu: 1. Mengandalkan rasio
dan kesadaran individu, 2. Mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa
intervensi berlebihan dari negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana
hak azasi manusia (HAM) dan masyarakat sipil (civil society).
[Habis]
sumber : islampos.com
Komentar
Posting Komentar