Revisi Undang-undang Konservasi untuk Membuka Peran Masyarakat


Kadang masyarakat menjadi korban dalam penetapan kawasan konservasi. Bagaimana supaya hak dan kearifan mereka tetap terjaga?

Revisi Undang-undang Konservasi untuk Membuka Peran Masyarakat (Thinkstockphoto)
Upaya merevisi undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/90 ) terus bergulir. Sebuah diskusi tentang hal ini berlangsung pada hari ini, Kamis 14 Januari 2016 di Jakarta dan diskusi ini terfokus dalam Mengefektifkan Peran Masyarakat dalam konservasi Indonesia ke depan. Diskusi ini berlangsung melalui kerja sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dengan Indonesia Program Representatif Project dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Masukan dari masyarakat sangat diperlukan di tengah upaya pemerintah menyempurnakan undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” kata Dr Tachrir Fathoni, Dirjen KSDAE, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Peran masyarakat yang diatur dalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya berada pada tingkat yang rendah. Dalam pasal 27 ayat 1, UU no. 5 tahun 1990 dinyatakan bahwa “Peran serta rakyat dalam konservasi diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.” Kegiatan tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa  “dalam mengembangkan peran serta rakyat tersebut, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
Peran serta yang dimaksud alam UU no. 5 tahun 1990 ini menunjukkan bahwa masyarakat berada di posisi menerima keputusan atau kebijakaan konservasi dan harus diarahkan, digerakkan, diberi penyuluhan dan pendidikan supaya sadar akan konservasi. Pengertian peran serta ini faktanya tidak dapat menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di dalam praktek konservasi di lapangan . Karena permasalahannya bukan mengajak masyarakat untuk sadar konservasi, namun menempatkan masyarakat langsung sebagai pelaku dan mitra dalam upaya konservasi itu sendiri.
Dalam prakteknya di lapangan, rakyat seringkali dijadikan sebagai korban dalam penujukan atau penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, baik Cagar Alam, Suak Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, maupun Taman Nasional. Masyarakat di sekitar wilayah konservasi tidak dilibatkan secara aktif dalam penunjukkan atau penetapan tersebut, hak dan kearifan masyarakat sering kali diabaikan dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut.
Bahkan di beberarpa lokasi, masyarakat yang sudah lama tinggal di dalam kawasan konservasi diusir akibat penujukkan atau penetapan tersebut. Konflik di dalam kawasan konservasi Indonesia tidak dapat terelakkan karena menempatkan rakyat atau masyarakat di dalam dan sekitar konservasi bukan menjadi bagian dalam pengelolaan Konservasi.
“Perlu adanya sistem lain untuk konservasi, Saya sudah bilang ke seluruh kepala balai, tidak mungkin konflik ini terus terjadi. Harus tercipta sebuaha Living Harmony antara masyarakat dan alam. Penyelesaian ini juga harus take and give, dan menghasilkan win win solution.” Kata Pak Tachrir.
Dalam analisis konflik sector kehutanan di Indonesia pada tahun 1997-2003 yang ditulis oleh Yuliana Cahya Wulan dan kawan-kawan, menyatakn bahwa konflik di kawasan konservasi di Kalimantan Timur sebanyak 40%, sedangkankan di areal HPH(Hak Pengusahaan Hutan) sebesar 42% dan areal HTI (Hutan Taman Industi) 18%. Akibat konflik ini terjadi pemiskinan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi, dimana hal in tidak sesuai dengan tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem itu sendiri yaitu mengusahakan terwujudnya sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehinga dapat lebih ‘mendukung upaya kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia’ (pasal 3 UU no. 5 Tahun 1990)
Di sisi lain, sebenarnya banyak contoh pengetahuan atau kearifan tradisional tentang konservasi sumber daya alam yang dapat dikembangkan untuk mendukung upaya pengelolaan kawasan konservasi. Kawasan konservasi tidak lagi hanya dapt dikelola secara eksklusif oleh pemerintah, namun sebaliknya pengelolaan kawasan konservasi harus dilakukan lebih terbuka dengan melibatkan pemagku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan masyarakt lokal.
(Nisrina Darnila)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi