relativisme dan gerakan mahasiswa islam



Pengaruh Relativisme Terhadap Gerakan Mahasiswa Islam
Kamis 17 Syawal 1435 / 14 Agustus 2014 19:30


mahasiswa buku
Oleh: Tri Shubhi Abdillah
Penggiat Komunitas Nuun
Tersebutlah seorang tokoh fisika bernama Paul Feyerabend yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan itu bukan hanya pengalaman empiris dan pemikiran rasional semata. Beliau menyatakan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan lain yang sama-sama syah untuk digunakan dalam proses mengetahui. Sesuatu yang berasal dari kepercayaan mistik, mimpi, bahkan takhayul bisa dikatakan sebagai pengetahuan.(Dr.Akhyar.Y.Lubis,Paul Feyerabend:Penggagas Antimetoda, Teraju,2003)
Inilah salah satu bagian alam pikir yang dikenal dengan nama post modern. Semua syah, semua boleh beremansipasi. Tidak ada otoritas. Otoritas keilmuan dihancurkan karena dianggap membelenggu dan membatasi cara pikir manusia. Metode-metode positif tak melulu sebagai ukuran kebenaran. Metode-metode yang paling tidak masuk akal sekali pun syah menyatakan eksistensinya.
Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang sofis yang berpirinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Di zaman Barat post modern doktrin ini dicetuskan oleh Niestzche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya ialah relativisme. Dengan doktrin yang sangat ampuh menggusur metafisika dan kebenaran agama itu Niesztche berani mendeklarasikan doktrin “God is dead!” (Hamid Fahmy, Liberalisme Pemikiran Islam. Hlm 89)
Sekilas wacana di atas memberikan angin segar bagi wujudnya keberagaman. Menghadirkan yang telah lama tersisih ke tengah gelanggang, termasuk agama. Kita pun mulai gandrung terhadapnya. Perlahan berkerut memahami sang postmodern. Lalu manggut-manggut terpesona.
Nama-nama semacam Jacques Derrida menjadi nabi baru tanpa kitab suci yang coba menghancurkan banyak hal yang telah mapan. Pemikiran mereka kemudian menembus jantung pendidikan Ummat Islam melalui nama-nama semacam Muhammed Arkoun, Nasr Hamd Abu Zayd, Abu Abid Al Jabiri, dan lainnya.
Relativisme meniscayakan satu hal: kita harus melepaskan keyakinan. Kita tidak boleh yakin diri kita yang paling benar. Kita harus menghargai kebenaran-kebenaran lain di sekitar kita. Tak boleh memonopoli kebenaran. Maka matilah Amar Ma’ruf Nahyi Munkar. Post Modern dengan lantang menyatakan dirinya sebagai kebaruan dan tak tertolak. Tidak ada sesuatu yang sejati, tidak ada yang niscaya, semua hancur tanpa dasar.
Masalah Pemikiran dan Realita Ummat
Kondisi Ummat Islam saat ini sangatlah memprihatinkan. Merdeka secara politik, tetapi terjajah hampir dalam semua bidang. Kualitas sumber daya manusianya memprihatinkan, dan sumber daya alamnya dikuras oleh perusahaan-perusahaan asing. Dapat dikata, Ummat Islam saat ini sangat terbelakang dan Peradaban Islam mundur, berada dalam hegemoni Peradaban Barat yang Sekular-Liberal.
Kekacauan pandangan terhadap ilmu pengetahuan merupakan sebab yang sangat mendasar dalam ketiadaan adab. Oleh karena itu langkah pertama yang harus diakukan adalah memeriksa dan kemudian memperbaiki pandangan yang salah tersebut serta menjelaskannya.
Pluralisme Agama, menafsirkan Ayat-ayat Al Qur’an dengan metode sekular (heurmeunetika), penolakan terhadap penerapan Syari’at Islam, mendudukan Islam sebagai agama sejarah, dan yang semacamnya merupakan contoh-contoh tipuan halus mereka terhadap Ummat Islam. Semua itu nyata dan jelas (senyata dan sejelas minyak dalam air) telah merusak aqidah Ummat Islam hari ini.
Sayangnya bentuk-bentuk pemikiran seperti itu mendapat apresiasi dari kaum muda kita di banyak perguruan tinggi. Saudara-saudara kita banyak yang terjebak dalam hegemoni pemikiran ini. Benar dan salah menjadi kabur. Baik dan buruk kehilangan batas. Moral dan nilai tercampakkan sia-sia. Kehancuran kaum muda kita, dalam buaian kesalahan berpikir dan kerusakan moral, berada pada titik sangat memprihatinkan.
Apa yang disebut sebagai ketiadaan adab benar-benar terasa dalam kehidupan nyata Ummat Islam hari ini.
Inti dari ketiadaan adab ini sesungguhnya adalah kebodohan yang nyata. Ada dua jenis kebodohan yang bisa dialami oleh manusia. Pertama kebodohan yang ringan, yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yang seharusnya diketahui; kedua, kebodohan yang berat, yaitu keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana sesuatu itu dilakukan.(Wan Daud)
Dua kejahilan ini memang sama-sama berbahaya. Akan tetapi kebodohan yang kedua sangat penting untuk diperbaiki, karena kebodohan pertama dapat disembuhkan dengan jalan menambah ilmu. Akan tetapi kebodohan yang kedua harus diperbaiki dengan jalan membuka tabir keyakinan yang salah itu dengan ilmu yang pasti kemudian menjelaskan apa yang benar dengan sejelas-jelasnya tanpa keraguan.
Belajar dari ’Kiri’
Relativisme secara nyata akan membunuh keyakinan. Gerakan tanpa suatu keyakinan ibarat tubuh yang bergerak tanpa ruh. Begitulah yang dapat kita lihat pada gerakan “kiri” saat ini. Tidak ada sebuah keutuhan dari apa yang disebut sebagai gerakan kiri. Baik keutuhan ideologi atau pun keutuhan metode bergerak. Masing-masing pihak mempunyai cara dan ideologi sendiri yang tidak dapat dipersatukan.
Gambaran perpecahan kaum Kiri dapat dilihat dari pilihan politik para aktivis 98. Tidak ada satu partai tunggal yang menjadi tempat kaum kiri menyatakan aspirasi. Tidak satu ideologi utuh yang diyakini.
Jika dicermati, kita akan melihat bahwa pengaruh relativisme pada gerakan kiri sangatlah besar. Hari ini tidak ada kata sepakat tentang dunia yang seharusnya, dunia alternatif dari dunia kita hari ini yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya. Demikian juga halnya tidak ada suatu cara atau metode yang menyeluruh guna menciptakan dunia baru itu.
Segala sesuatu yang seharusnya ialah relatif. Setiap orang berhak menyatakan apa yang seharusnya tejadi. Komunisme atau Marxisme hanya sebuah pandangan di antara berbagai pandangan yang menyatakan dunia seperti apa yang seharusnya kita alami atau kita ciptakan. Ia sama relativnya dengan pandangan-pandangan lain. Kedudukannya sejajar dan tidak ada yang hegemonik.
Oleh karena itu mimpi tentang dunia yang lebih baik tidak lagi relevan untuk didiskusikan dan lebih jauh lagi diperjuangkan. Keterjebakan gerakan ‘kiri’ pada paham ini mengakibatkan banyaknya aliran dan banyaknya golongan yang mewakili ‘kiri’.

Jurgen Habermas, pewaris terbesar tradisi Kuasi-Marxis tentang teori Kritis (Critical Theory) dikenal menyalahkan teoretisi ‘postmoderenisme’ Prancis atas pecahnya kekuatan progresif atau dorongan radikal dalam perlawanan mereka terkait relativisme kebenaran dan ketidakmungkinan merekonstruksi ‘proyek emansipasi’ dalam beberapa prinsip pengoraganisasian yang dijalankan komunisme pada generasi awal. (Simon Tormey, Anti-Kapitalisme.hlm 86)
Bagi Muslim ada beberapa bahaya dari relativisme. Pada intinya paham ini dapat mematikan amar ma’ruf nahyi munkar. Bagaimana akan melaksanakannya jika apa yang ma’ruf dan apa yang munkar dianggap relatif?
Hal kedua dari bahaya relativisme ialah timbulnya individualisme. Menyerahkan kebenaran pada setiap subjek meniscayakan timbulnya persoalan bahwa pengetahuan itu tidak bisa dikomunikasikan. Maka individualisme timbul dengan sendirinya.
Ketiga ialah musykilnya persatuan. Jika setiap orang, sekalipun tidak otoritatif, berhak menyatakan kebenaran maka akan banyak pandangan tentang suatu kebenaran. Jika masing pihak-pihak memperjuangkan kebenarannya dengan cara masing-masing maka persatuan akan sulit tergapai.
Keempat ialah hilangnya sensitivitas sosial, politik, intelektual dan kultural Muslim. Kita akan menerima dunia ini tanpa mempersoalankan ’apakah yang terjadi sudah seharusnya’ atau ’apakah dunia yang kita diami ialah dunia yang kita inginkan’.
Pandangan Islam
Para ulama sesungguhnya telah lama menjelaskan fenomena ini. Ada tiga kelompok yang terjangkit penyakit seperti ini. Pertama, disebut dengan kelompok al-la adriyyah atau gnostik. Dikatakan demikian karena mereka selalu mengatakan tidak tahu (la adri, yaitu “Saya tidak tahu”) atau selalu ragu-ragu mengenai keberadaan segala sesuatu sehingga menolak posibilitas ilmu pengetahuan. Orang yang seperti ini, pada gilirannya juga akan meragukan sikapnya yang serba meragukan keberadaan segala sesuatu.
Kelompok yang kedua ialah kelompok al-indiyyah, yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Berbeda dari kelompok pertama, kelompok ini menerima posibilitas ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, objektivitas ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (indi, yaitu “Menurut saya”), bergantung pada pendapat masing-masing.
Kelompok yang ketiga adalah kelompok al-inadiyyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu (haqaiq al-assya) dan menganggapnya sebagai fantasi (auham) dan khayalan semata. Kelompok terakhir ini lebih mirip dengan kelompok kedua. Para sofis tidak bisa dan tidak akan pernah menjelaskan kedudukan mereka. Kalaupun bisa, satu-satunya kedudukan yang sesuai untuk mereka adalah mendekonstruksi setiap wacana keilmuan. (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syeid M. Naquib Al Attas, terj Hamid Fahmy dkk., Mizan, 2003)
Marilah sejenak kita berpaling pada masa lalu. Imam Al Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai gambaran jiwa yang tenang (an nafs an nathiqah al Muthmainah) tentang hakikat sesuatu. Sesuatu yang terpahami sebagaimana sesuatu itu apa adanya menghasilkan keyakinan dan pada akhirnya menciptakan kesesuaian serta ketenangan dalam jiwa. (Imam Al Ghazali, Risalah-Risalah Al Ghazali, Pustaka Hidayah, 1997).
Sementara Buya Hamka menyatakan:
“Ilmu mempunyai tiga tingkatan atau sifat. Pertama ma’rifat artinya tahu. Kedua dirayat artinya dialami. Ketiga yakin!”
Kemudian Raghib membagi tiga pula tingkatan yakin itu:
1) Ilmul-yaqin
2) Haqqul-yaqin
3) Ainul-yaqin
Ilmul-yaqin artinya, ialah ilmu yang timbul dari pendapat yang hasil setelah beroleh dalil yang cukup. Seteah cukup dalil lalu dicubakan lalu timbullah haqqul-yaqin. Setelah mendapat haqqul-yaqin, lalu disaksikan sendiri pula lalu naik tingkat itu kepada Ainul-yaqin, itulah setinggi-tingginya derajat yaqin. (Hamka, Tasawuf Modern, hlm 58)
Pandangan ini jelas melampaui pemahaman ilmu yang dikembangkan peradaban Barat. Dalam Islam ilmu terkait erat dengan jiwa, dengan metafisika. Hal itu disebabkan karena Islam memiliki konsep metafisika yang jelas. Berbeda dengan barat yang malah mengabaikan metafisika dan bahkan kebingungan ketika menjelaskannya.
Penolakan barat terhadap kebenaran Al-Quran (dengan mengusirnya dari ranah ilmiah) telah membuat epistemologi barat selalu terantuk-antuk ketika menjelaskan metafisika. Al Ghazali mengaitkan ilmu dengan ketenangan jiwa. Bukan hanya akal semata. Inilah yang telah mengokohkan ilmu Islam. Tak ada pemisahan antara fisik dan metafisik atau dikotomi-dikotomi lainnya. Semua satu, sekali pun termanifestasi secara beragam.
Sebenarnya pandangan terhadap wujud yang tak terpisahkan akan mengantarkan kita pada kajian epistemologi yang sama kokohnya. Di sinilah pentingnya pandangan metafisika yang menyeluruh.
Apa yang dinamakan realitas (sesuatu yang mungkin diketahui) tidak terbatas pada apa yang tercerap indera atau tergapai akal. Malaikat, Jin, bahkan Allah memiliki status ontologis yang syah untuk diketahui. Bahkan dalam keyakinan Islam status ontologi Allah Swt lebih tinggi dari segala wujud selain Allah Swt. Islam mengakui akal dan pengalaman empirik sebagai dua hal yang mengantarkan manusia pada pengetahuan. Akan tetapi Islam pun memiliki sumber-sumber pengetahuan lain semisal khobarul asShodiq dan wahyu Ilahi.
Dengan susunan yang tepat dan terjaga secara ilmiah Epistemologi Islam dapat menempatkan dengan tepat di mana yang absolut di mana yang relatif. Mana yang muhkamat mana yang mutatsabihat. Mana yang qot’I mana yang dzoni. Kebenaran ada yang relatif (misalnya relatif karena waktu) ada pula yang absolut. Hanya saja di mana tempat yang relatif dan di mana tempat yang absolut harus diletakan dengan tepat. Tantangan yang ditampakan oleh trend post modern berkaiatan dengan peruntuhan konsep-konsep dasar yang penting dalam Islam. Oleh karena itu, menghidupkan kembali khazanah keilmuan Islam, guna menguatkannya kembali, merupakan hal yang harus dilakukan oleh mahasiswa Islam.
Mari perlahan kita memilah mana yang boleh mana yang tidak. Di mana gelanggang akal di mana gelanggang ad-dien. Jangan sampai kita terus menerus dilanda kebingungan dan ketidakpastiaan. Mogoknya pergerakan mahasiswa dan mandulnya ketajaman politik mahasiswa sedikit banyak juga dipengaruhi oleh hal ini. Pada akhirnya relativisme harus kita timbang dengan pandangan hidup Islam. Setelah itu barulah ia bisa kita terima atau kita tolak.
Waluhu alam bi showab
sumber : islampos.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi