Tidak ada istilah Santri dan Abangan dalam kultur masyarakat Melayik
Selaku orang Minangkabau dan tahu banyak sejarah Melayu mungkin saya bisa bantu jawab sependek pengetahuan saya.
Surau Tuo Kayu Jao.
Orang Minang itu egaliter, mandiri dalam berpikir maupun bersikap. Orang Melayu mungkin tunduk pada Sultannya, tapi di Minangkabau beda. Demokratis. Datuk dan Penghulu dapat memberi masukan ataupun sanggahan jika Sultan berbuat sesuatu yang melanggar adat dan agama, tentunya dalam pertemuan resmi di Balai adat dan dengan cara yang elegan (berpetatah-petitih) penuh bahasa yang santun. Ada 3 raja penting di Minangkabau selain raja-raja di rantau. Disebut Rajo 3 Selo (Rajo Alam (Yang Dipertuan Agung di Pagaruyung), Rajo Adat di Lintau Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Ketiga raja ini berkuasa atas segenap luhak dan rantau. Di Minangkabau ada petatah berbunyi, Pemimpin hanya seranting ditinggikan, selangkah didahulukan.Beda dengan orang Melayu pesisir timur yang menjadikan Sultan sebagai penguasa absolut. Ini dari segi cara berpikir ya. Jadi orang Minang menerima Islam selaku ajaran agama yang logis, sesuai dengan pola pikir dan kehidupannya setelah sebelumnya memeluk agama Buddha.
Konversi dari Buddha ke Islam berlangsung dengan cukup baik. Pernah ada konflik di Istana Dharmasraya saat terjadi Revolusi Istana yang memakan korban salah seorang raja yang beragama Islam, maka pihak muslim yang belum menjadi mayoritas di istana mengalah dengan berhijrah ke Sungayang dan mendirikan benteng di sana. Benteng inipun kemudian terbakar akibat konflik masih berterusan dengan penguasa Dharmasraya saat itu, akhirnya mereka hijrah lagi ke lereng Gunung Merapi. Di sana sang raja menikah dengan penduduk lokal putri penghulu lantas mendirikan kerajaan yang besar di pedalaman.
Agama Islam masuk ke Ranah Minang melalui 3 masa: abad ke 7 bersamaan dengan Barus yang merupakan salah satu port (pelabuhan rantau orang Minang) di utara. Melalui Siak (rantau pesisir timur/Minangkabau Timur yang saat ini jadi Provinsi Riau) sehingga di Minang ada ungkapan orang saleh/alim tahu agama sering dibilang "Orang Siak", atau kalau kamu belagak sok alim, maka akan dikatakan: "siak bana ang mah!" Kemudian abad ke 13 melalui pengaruh Aceh di Pariaman (Syeikh Burhanuddin Ulakan). Aliran yang masuk juga beragam. Tasawuf, Sunni dengan pengaruh Kultur Persia, Tarikat Sattari dan Naqsabandi serta Muhammadiyah/sering dibilang Wahabi padahal bukan.
Saat Belanda datang, mereka tidak bisa masuk ke dalam aturan hukum dan adat Minangkabau, sehingga tidak bisa diadu domba karena kekuasaan di Minang tidak berada pada satu raja, tapi dibawah kuasa bersama para penghulu dan dibawahnya ada ninik mamak, bundo kanduang di tiap-tiap suku dan daerah (demokratis). Ketika gelombang pemurnian ajaran Islam dimulai ( konflik antara kaum paderi dengan kaum adat yang bisalah dibilang kaum abangan), akhirnya Belanda bisa mengadu domba kedua golongan tsb. Saat Sultan terakhir Pagaruyung ditangkap lalu digantikan oleh kemenakannya seorang Puti (Putri), kaum adat dan kaum agama justru bersatu melawan Belanda. Sehingga diambillah konsesi di Bukit Marapalam bahwa identitas dan azaz adat Minangkabau adalah Adat bersendi Syara ( aturan agama), Syara bersendi Kitabullah (Alquran). Sehingga sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam bukan bagian dari Adat Minangkabau. Diskusi tentang aturan yang sesuai atau tidak ini terus berjalan seiring waktu dan zaman, baik di kedai/lapau/warung, surau/masjid hingga saat ini. Identitas ini melekat dari dulu hingga sekarang. Minang adalah Islam, bukan Minang (melanggar aturan Islam) bukan Islam. Pengaruh ABS-SBK ini tidak hanya di Sumatra Barat tapi juga di sebagian rantau Melayu, meski tidak seketat di Minangkabau.
Komentar
Posting Komentar