BAGAIMANA ISLAM SAMPAI KE ALAM MINANGKABAU
Adat Minangkabau merupakan adat yang bertumpu pada Islam. Pada lapisan yang paling fundamental sekalipun, sendi-sendi budaya Minang membentuk jalinan erat dengan konsep dan praktek agama Islam. Implikasinya, non-Muslim memang tidak terakomodasi oleh kearifan-kearifan budaya Minangkabau.
Dari perjalanan menjelajah dunia, saya belajar bahwa bangsa-bangsa Asia memiliki ruang pandang yang disatukan oleh lingkar pengaruh. Pada umumnya, masyarakat Asia merupakan masyarakat dharmic yang berpegang pada nilai-nilai abstrak guna menjaga harmoni (order) pada semestanya (realm).
Tidak terkecuali dengan masyarakat Minangkabau.
Dengan adat yang berlandaskan Islam, seorang non-Muslim yang beretnis Minang secara praktis sudah kehilangan hak-hak adatnya. Terlepas dari seberapa utilitarian pandangan ini, hal tersebut mempunyai alasan historis yang kuat.
Dan hal ini hanya dapat dipahami dan lebih menarik jikalau kita menelusuri sejarah Minangkabau, terutama terkait dengan revolusi sosial di Sumatera Barat.
Untuk itu, mari kita memutar roda waktu jauh ke belakang.
Islam masuk ke Minangkabau melalui perdagangan.
Dari barat, pedagang-pedagang Gujarat menjadi pembawa agama Islam ke pesisir Sumatera, terutama di pelabuhan-pelabuhan besar seperti Singkil dan Barus. Islam masuk ke Minangkabau melalui interaksi dengan para pedagang Gujarat dan Aceh mengambil koridor-koridor pelabuhan pesisir Tiku di wilayah Agam.
Dari timur, Islam masuk melalui pengaruh Malaka. Para pedagang menyusuri aliran sungai-sungai Indragiri dan Kampar untuk berdagang emas hingga mencapai Selat Malaka. Ketika pengaruh Kesultanan Malaka menjadi dominan, Islam turut tersebar melalui relasi-relasi dagang kerajaan hingga tersemai di kawasan luhak nan tigo.
Pada masa-masa ini, surau-surau berdiri di tanah Minang dan para pemuka agama bergelar tuanku bermunculan untuk mengajarkan agama serta berdakwah. Adopsi agama Islam di Tanah Minang masuk dengan perlahan-lahan dan damai.
Agama yang masuk lewat perdagangan, seperti di Jawa, umumnya sanggup hidup bersisian dengan adat. Tanpa mampu hidup berdampingan tentunya perdagangan takkan berjalan dengan baik. Di sini, harmoni menjadi sebuah keniscayaan.
Masyarakat Minang mempunyai dua struktur sosial, masyarakat yang mengemban lareh koto piliang bersifat aristokratis dan masyarakat yang mengemban lareh bodi caniago mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Adat mengatur berbagai soal kehidupan dan tata cara penyelesaian masalah, serta sudah ratusan tahun menjadi penyangga nan kokoh bagi kehidupan masyarakat di Bumi Minangkabau.
Namun sejalan dengan kemajuan perdagangan di Minangkabau, interaksi maupun relasi masyarakatnya turut menjadi semakin luas. Permasalahan semacam sengketa dagang banyak terjadi dan hukum-hukum adat acap tidak cukup untuk menangani masalah-masalah baru, apalagi urusan perdagangan internasional.
Islam, agama yang lahir di tengah-tengah masyarakat pedagang, memberi jawaban terhadap kasus-kasus yang tidak mampu ditangani hukum adat di zaman itu. Islam mempunyai hukum-hukum yang tak asing dengan masalah-masalah perdagangan, sehingga masyarakat Minangkabau memandang ajaran Islam sebagai jawaban dari perkara-perkara baru di dalam kehidupan mereka. Tataran adat dan agama di masa tersebut diposisikan setara dengan landasan masing-masing.
Adat basandi alur, syarak basandi dalil
Banyak tokoh Islam Minangkabau dari abad berikutnya, misalnya Tuanku Nan Tuo, mendakwahkan Islam lewat resolusi-resolusi masalah perdagangan.
Hal inilah yang menjadi pendorong berkembangnya Islam di Tanah Minang.
Pada akhir abad ke-18, harga rempah-rempah jatuh dan tambang emas menipis.
Pedagang Minang yang didominasi oleh keluarga dekat kerajaan selama ini sangat mengandalkan emas dan rempah-rempah. Tambang emas yang menipis membuat perdagangan emas tersendat, sementara turunnya harga rempah-rempah di Eropa membuat perdagangan komoditas ini dengan Belanda tidak lagi menarik.
Di sinilah komoditas-komoditas baru bermunculan, seperti kapas dan kopi, menjadi primadona baru di sektor perdagangan.
Berlainan dengan lada yang ditanam di dataran rendah, kapas dan kopi ditanam di dataran tinggi. Hal ini mendorong desa-desa pegunungan yang tadinya miskin kini menguasai perekonomian, pedagang-pedagang yang tadinya berasal dari keluarga kerajaan kini didominasi masyarakat umum dari pegunungan. Desa-desa bermandi bijih emas seperti Luhak Kubuang Tigo Baleh yang pernah dipuja-puja Raffles telah tersaingi oleh desa-desa berselimut kebun kopi seperti Situjuah Gadang.
Dalam beberapa tahun, kawasan Agam dan Limo Puluah Koto menjadi pusat-pusat perdagangan yang baru, menyaingi Tanah Datar yang lebih dahulu makmur.
Hal ini membuat kekayaan tidak lagi terkonsentrasi pada kerabat-kerabat kerajaan, melainkan mulai tersebar hingga ke masyarakat umum. Akibatnya mereka pun kini berkesempatan menunaikan salah satu rukun Islam, yaitu ibadah haji.
Di awal periode 1800-an, banyak masyarakat Minangkabau yang menjadi kaya raya kemudian berangkat ke Mekkah untuk naik haji.
Yang terjadi berikutnya adalah sebuah ketepatan yang tiada disengaja.
Dalam periode tersebut, sebagian besar kawasan Timur Tengah sedang mengalami gejolak sosial-politik yang digerakkan oleh sebuah kelompok yang dikenal dengan sebutan Wahhabi. Kelompok ini berpedoman pada pemikiran Abdul Wahhab yang bertujuan mengembalikan Islam secara murni (puritan).
Kaum Wahhabi percaya bahwa agama haruslah ditegakkan setegak-tegaknya tidak memberi ruang untuk mentolerir hal-hal yang "tidak murni". Hal ini cuma sanggup tercapai andaikan kehidupan masyarakat Islam seluruhnya bersih dari bid'ah, syirik, khurafat, dan diluruskan dengan cara-cara yang tegas. Hal-hal mulai dari perjudian hingga pengkultusan makam menjadi sasaran-sasaran untuk ditumpas.
Dukungan terhadap kaum Wahhabi menguat pada awal abad ke-19.
Pada tahun 1802, kaum Wahhabi menghancurkan Karbala di Irak, membunuh 5000 penduduk, dan merusak makam Husain bin Ali, cucu Rasulullah. Penyerangan terus meluas hingga pada tahun 1805, kaum Wahhabi menguasai Mekkah dan Madinah, kemudian terlibat perang melawan Khilafah Turki (Ottoman) pada tahun 1811.
Sepanjang periode tersebut, Wahhabi menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab.
Pada tahun 1803, tiga orang haji kembali ke Tanah Minangkabau dari kunjungan ke Mekkah dan Madinah. Sekembali dari Arab, mereka tidak dapat lagi menerima adat Minangkabau. Ketiganya beritikad memperbaiki kerusakan masyarakat Minang dan terinspirasi dengan cara-cara yang dilakukan oleh kaum Wahhabi di Mekkah.
Haji Miskin, salah satu dari tiga orang haji tersebut, memagari desa-desa, termasuk kampung Air Terbit, dan berkeras menerapkan ajaran Wahhabi di dalamnya. Dalam perkembangannya ketiga haji ini berdakwah dan menjadi guru agama bagi banyak tokoh muda Minang, seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh.
Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh resah melihat kehidupan masyarakat Minangkabau yang menurut mereka jauh dari nilai-nilai Islam murni. Berbekal ilmu agama, keduanya pun mulai berdakwah menuntut adanya penerapan agama Islam secara murni. Tuanku Imam Bonjol yakin bahwa kebiasaan adat mulai dari memiliki benda gaib, menyabung ayam, minum tuak, hingga mengunyah tembakau tidaklah sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula, menurutnya, laki-laki harus memelihara jenggot sementara perempuan harus berpakaian tertutup.
Usaha keras Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh ini tidak jarang berakhir kepada konflik. Tuanku Nan Renceh bahkan telah membunuh bibinya sendiri, sang perempuan naas itu adalah seorang pengunyah tembakau.
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol meraih dukungan dari kaum progresif pada masa tersebut yang turut resah dengan praktek adat yang menurut mereka tidak sejalan dengan ajaran agama. Sementara itu sebagian masyarakat Minang terutama kaum bangsawan dan masyarakat konservatif menganggap upaya memberangus hal-hal budaya yang telah lama mendarah-daging sebagai tindakan lancang, apalagi pada masyarakat pegunungan yang masih sangat memegang erat adat mereka.
Tentunya bagi kaum adat sebagai status quo yang telah beratus-ratus tahun hidup dalam istiadatnya tidak mau menerima begitu saja perubahan yang dipaksakan.
Pada satu insiden, Haji Miskin membakar balai yang acap digunakan sebagai arena sabung ayam. Penduduk yang karib dengan aktivitas sabung ayam tidak menerima perlakuan ini dan mengejar Haji Miskin yang melarikan diri ke Kota Lawas.
Perbedaan cara pandang yang ekstrim membuat konflik-konflik seperti ini menjadi sering terjadi di Tanah Minang. Para ulama yang membawa misi pemurnian merasa bahwa penegakan aturan harus lebih keras lagi untuk memberangus maksiat.
Delapan ulama yang sepandangan memutuskan bertemu dengan Tuanku Nan Tuo sebagai tokoh yang dituakan untuk dimintai pendapat. Tuanku Nan Tuo menerima pemurnian, asalkan ditempuh dengan damai. Namun delapan ulama yang berjuluk Harimau Nan Salapan itu justru kecewa mendengar jawaban sang tetua.
Menurut catatan Buya Hamka, delapan ulama tersebut sedemikian kecewa, hingga menyebut Tuanku Nan Tuo sebagai "rahib tua" lantaran dianggap setengah hati di dalam memurnikan agama dan menuduh bahwa pembantunya, Fakih Saghir, telah murtad dari Islam karena tidak mau mendukung perjuangan mereka.
Harimau Nan Salapan mencari dukungan dari ulama penting lainnya, yaitu Tuanku Mansiangan, yang ternyata memberikan dukungan terhadap itikad mereka. Akibat dukungan ini, Tuanku Mansiangan mereka nyatakan sebagai "imam besar".
Maka dimulailah gerakan pemurnian di nagari-nagari dengan menerapkan hukum secara tegas. Apabila melanggar maka nagarinya akan dibakar. Di setiap nagari itu mereka angkat satu tuan qadhi untuk menjaga pelaksanaan syariat dan satu imam untuk memimpin peribadatan. Beberapa nagari menerima peraturan ini, tapi tentu tidak semuanya tunduk begitu saja dan banyak pula yang melawan balik.
Hingga situasi semakin memanas dan kedua pihak memutuskan angkat senjata.
Perang Padri meletus pada tahun 1803, antara kaum adat Minang yang berupaya mempertahankan adat menghadapi kaum padri yang berupaya menerapkan Islam secara murni selayaknya kaum Wahhabi di jazirah Arab pada masa itu.
Perang saudara ini berkecamuk di seantero Minangkabau dan terus meluas hingga mencapai bumi Mandailing di utara selama tiga puluh tahun tanpa henti. Sengketa berkepanjangan ini menghancurkan perekonomian serta perdagangan masyarakat Minangkabau yang dulunya begitu makmur sebelum awal abad ke-19.
Saling menyerang, membakar, serta membunuh terjadi hampir sepanjang waktu di seantero Tanah Minang. Serangan demi serangan milisi kaum padri bahkan pernah membuat Istana Pagaruyung terbakar rata dengan tanah. Peperangan ini pun turut menghasilkan gelombang eksodus suku Minangkabau ke luar daerah.
Peristiwa ini juga berdampak sangat buruk pada kondisi Kerajaan Pagaruyung dan nagari-nagarinya yang dahulu begitu perkasa. Pagaruyung dikenal sebagai sebuah kerajaan yang tahan terhadap pengaruh luar seperti Majapahit dan Belanda dalam periode sebelumnya karena mempunyai sektor perdagangan yang berdaulat.
Tetapi sengketa yang mematikan sektor perdagangan ini terang saja meruntuhkan kedigdayaan Pagaruyung dan menempatkannya dalam situasi carut marut.
Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, dikisahkan bahwa pada kunjungannya ke Minangkabau pada tahun 1818, dia hanya mendapati puing-puing reruntuhan dari Istana Pagaruyung di Tanah Datar yang terbakar akibat konflik berkepanjangan.
Tuanku Lintau yang membawahi wilayah Tanah Datar mendapatkan dukungan dari masyarakat luas dan mencoba mengajak keluarga kerajaan untuk berunding tetapi bangsawan-bangsawan itu hanya pintar bersilat lidah, hingga akhirnya sang ulama kehabisan kesabaran dan mengobarkan perang frontal.
Sepanjang periode konflik, banyak keluarga kerajaan yang terbunuh.
Di tengah memburuknya keadaan, pada tahun 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagar, keponakan Raja Alam Muningsyah, akhirnya harus merelakan kedaulatan Kerajaan Pagaruyung dengan memohon dukungan Belanda dan melepas kekuasaan, sebab kerajaan sudah kehabisan akal menghadapi perang saudara berkepanjangan.
Belanda menyanggupi tawaran tadi dan melancarkan gempuran-gempuran militer terhadap pusat-pusat pertahanan kaum padri, dimulai dari kawasan Simawang.
Untuk membantu misi perlawanan ini, Belanda membangun benteng Fort Van Der Capellen di Batusangkar, tidak jauh dari Istana Pagaruyung. Namun diakui bahwa resistensi kaum padri memang demikian kuat, hingga Belanda harus mengerahkan sumber daya ekstra untuk menghadapi pergolakan hebat di Sumatera Barat ini.
Tiga tahun berlalu, perang tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan usai.
Adalah Pangeran Diponegoro yang mengubah keadaan ini.
Perang Jawa meletus pada tahun 1825, membuat Belanda menyadari bahwa tidak mungkin mereka mampu menjalankan dua perang besar pada dua front. Hal yang paling mungkin dilakukan oleh Belanda adalah menunda salah satunya, kemudian berkonsentrasi untuk memadamkan perang yang lainnya.
Maka gencatan senjata pun ditawarkan di Sumatera Barat. Siasat itu dimaksudkan untuk menunda pertempuran di Minang sehingga Belanda mengerahkan pasukan berkekuatan penuh menuju ke Jawa untuk menghadapi Diponegoro.
Gencatan senjata diteken di Sumatera Barat, sementara di Jawa Tengah salah satu perang terbesar pada sejarah Hindia Belanda berlangsung selama lima tahun dan menewaskan lebih dari dua ratus ribu penduduk Jawa.
Selama periode gencatan senjata, situasi Minang berangsur-angsur membaik dan gagasan konsolidasi sempat beberapa kali dicetuskan kaum padri dan kaum adat. Agaknya suasana damai ini membuat kedua kubu menyadari bahwa damai terasa sangat jauh lebih baik bagi keduanya daripada perang yang tidak pernah usai.
Pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap dan pertempuran padam.
Usai berakhirnya Perang Jawa, kecamuk di Minang kembali berkobar. Diawali oleh gempuran Belanda ke Pandai Sikek yang secara jelas melanggar gencatan senjata, kemudian dilanjutkan pendirian benteng Fort De Kock di tepi Ngarai Sianok. Pada tahun 1832, pasukan berjumlah besar dikirimkan dari Batavia guna menyelesaikan pertempuran yang berlarut-larut ini.
Gelombang pasukan kolonial berikutnya diisi tidak hanya tentara-tentara Belanda melainkan juga pasukan-pasukan kulit hitam dari Afrika, orang-orang Bugis, serta bahkan salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro, yaitu Sentot Ali Basha Prawirodirdjo dan pengikutnya, ikut dikerahkan Belanda ke Sumatera Barat.
Tuanku Imam Bonjol yang melihat masa-masa damai di periode gencatan senjata menjadi agak lunak terhadap kaum adat. Dikirimkannya utusan ke Mekkah untuk meminta pendapat pemuka-pemuka agama di sana mengenai Perang Padri.
Namun sekembalinya haji-haji tadi dari Mekkah, mereka membawa sebuah berita bahwa kaum Wahhabi telah ditumpas oleh Turki. Nyaris seluruh pemuka Wahhabi dieksekusi mati oleh Sultan Mahmud II, termasuk di antaranya Abdullah bin Saud, pemimpin perang Wahhabi yang seumur hidupnya menolak musik dipaksa untuk mendengarkan permainan seruling sebelum kepalanya dipancung di Istanbul.
Hancurnya kaum Wahhabi membuat Tuanku Imam Bonjol melihat konsolidasi dan kompromi dengan kaum adat adalah solusi yang lebih baik daripada perang yang senantiasa berlarut-larut dan merugikan rakyat Minangkabau.
Menurut catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol, yang dirangkai oleh putranya Naali Sutan Chaniago, tersimpan rasa penyesalan besar atas terjadinya Perang Padri.
Tiga puluh tahun perang saudara mengubah sendi-sendi adat Minang.
Kompromi antara kaum adat dan kaum padri pun tercetus, sekaligus menjadi satu totem yang menutup perang saudara. Dirumuskanlah sebuah konsepsi umum dan menyeluruh yang mengakomodasi baik kaum adat maupun kaum padri.
Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah
Demikianlah adat tetap diakui, akan tetapi harus bersendikan kepada Syariat, yang mana Syariat bersendikan kepada Al-Qur'an dan sunnah. Ini adalah konsensus dan kesepahaman inti masyarakat Minangkabau yang sekaligus merangkulkan kembali kelompok kaum adat dan kaum padri layaknya dharma yang menggenggam realm Minangkabau agar tegak berdiri di tengah ombang-ambing zaman.
Prinsip ini menjadi landasan fundamental kehidupan orang Minangkabau di dalam menopang kestabilan bermasyarakat hingga nyaris dua ratus tahun kemudian.
Sejatinya, budaya bukanlah sesuatu yang rigid atau tidak dapat berubah. Di sebalik transformasi selalu ada status quo yang berusaha mempertahankan prinsip-prinsip semula, ada pula kaum progresif yang memperjuangkan pembaruan. Jauh di masa sebelum masuknya Islam ke Sumatera Barat, adat Minangkabau dilandaskan suatu pepatah klasik yang berbunyi demikian.
Adaik basandi alua jo patuik (Adat basandi alur jo patut)
Bahwa adat didasarkan kepada kepatutan. Namun selepas masuknya Islam melalui perdagangan, banyak masyarakat Minangkabau yang menerima agama ini sebagai pedoman hidup yang baru, sehingga adat pun turut menyesuaikan.
Adat basandi alur, syarak basandi dalil
Yang mencerminkan kesetaraan antara adat dan agama. Seiring berjalannya waktu, agama dan adat tidak hanya setara namun juga saling menjalin. Muncullah sebuah konsensus baru lagi yang kemudian bertahan dalam waktu cukup lama.
Adat basandi syarak, syarak basandi adat
Syarak mandaki, adat manurun
Adat dan agama diposisikan setara dan bahkan saling menopang. Syariat mendaki mengisyarakatkan bahwa agama Islam masuk dari pesisir dan naik ke pegunungan sementara adat berasal dari pegunungan dan turun ke pesisir.
Perang saudara selama tiga puluh tahun beserta melemahnya pengaruh aristokrat melapangkan jalan bagi transformasi berikutnya, yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang kini menempatkan agama dalam posisi lebih fundamental sebagai pedoman adat, sekaligus mengesankan prinsip bahwa adatlah yang harus berlandaskan pada agama, bukan sebaliknya.
Konsensus inilah yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau kontemporer.
Konsekuensi dari penempatan agama Islam sebagai landasan adat telah membuat kalangan non-Muslim Minang kehilangan hak-hak adatnya, termasuk di antaranya harato pancaharian (warisan rendah) dan harato pusako (warisan tinggi). Demikian pulalah di daerah pusat budaya Minang, sejalan dengan yang saya tuliskan bahwa masyarakat Asia sebagai masyarakat dharmic yang konsentrik, orang Minang yang meninggalkan agama Islam juga harus pergi meninggalkan nagarinya.
Revolusi sosial berskala besar inilah yang melandasi sendi-sendi kehidupan bangsa Minangkabau dari berakhirnya Perang Padri hingga saat ini.
Sejarah membuktikan bahwa prinsip-prinsip adat terus bertransformasi sepanjang perjalanan waktu untuk bertahan pada perubahan zaman. Kelompok yang tadinya progresif, akan menjadi status quo. Dan akan senantiasa lahir kelompok-kelompok progresif baru yang menawarkan perubahan-perubahan lain.
Jadi bukan berarti adat yang kita kenal sekarang akan senantiasa seperti ini.
Kontroversi atau perdebatan adalah hal yang lumrah, walaupun dampaknya harus diminimalisir agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat itu sendiri.
Kembali ke Perang Padri untuk menutup catatan ini.
Walaupun kaum padri serta kaum adat sudah tidak lagi bersengketa, pertempuran melawan Belanda belum tuntas. Tuanku Imam Bonjol berusaha menyusun sisa-sisa kekuatan untuk menghadapi Belanda namun tidak banyak bekas pasukannya yang masih mau kembali berperang. Kegagalan gerakan Wahhabi di Mekkah barangkali sedikit banyak ikut mempengaruhi semangat juang sebagian pasukan padri.
Belanda terus menyerang dan mengepung pertahanan terakhir kaum padri berupa sebuah benteng di kawasan Bonjol. Benteng kecil di puncak Bukit Tajadi itu dilapisi bongkahan karang setebal tiga meter dan dirimbuni hutan bambu sehingga susah ditembus. Akan tetapi bala tentara Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel Andreas Michiels, veteran Perang Waterloo yang pernah bertempur menghadapi Napoleon Bonaparte, berhasil menaklukkan dan menduduki benteng tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menyerah, pada Oktober 1837, hanya beberapa saat sesudah benteng pertahanannya dikuasai oleh pasukan Belanda.
Pasca perjanjian penyerahan diri dengan Belanda, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan kemudian Manado, hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Pineleng, Minahasa. Sementara putranya, Naali Sutan Chaniago, diberi kesempatan mengikat perdamaian dan menjadi pejabat di Tanah Minang.
Tuanku Imam Bonjol dianugerahi titel pahlawan nasional oleh pemerintah republik dalam kubangan kontroversi dan kiprahnya pun berulang kali digugat.
Instead, Tuanku Imam Bonjol is remembered, a man who was ultimately military failure, who was ideologically disillusioned, and for whom a shift from the violent action to conciliatory discourse was rewarded with exile and misery.
Jeffrey Hadler
Perang Padri sendiri baru berakhir setahun kemudian, menyusul kekalahan Tuanku Tambusai di Rokan Hulu. Berakhirnya Perang Padri menjadi awal masuknya wilayah Kerajaan Pagaruyung dan Padangse Bovenlanden ke dalam jajahan Belanda.
Bacaan Lanjut :
- Naali Sutan Chaniago - Naskah Tuanku Imam Bonjol
- Buya Hamka - Ayahku : Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera
- Jeffrey Hadler - Muslims and Matriarchs : Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism
- Gregory M. Simon - Caged in on the Outside: Moral Subjectivity, Selfhood, and Islam in Minangkabau, Indonesia
- Muhammad Radjab - Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838)
- Christine Dobbins - Economic Changes in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830
- Karl G. Heider - The Cultural Context of Emotion: Folk Psychology in West Sumatra (Culture, Mind, and Society)
- Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo - Tambo Alam Minangkabau
- Juni Sjafrien Jahjaerang - Tuanku Tambusai Sang Harimau Rokan Melawan Penjajahan Belanda dalam Perspektif Kebangsaan Indonesia
- Basyral Hamidy Harahap - Greget Tuanku Rao
Komentar
Posting Komentar