Mandailing
secara genetis mereka itu orang Batak, tetapi secara mindset dan pola hidup, mereka seperti orang Minangkabau.
Mereka penganut muslim. Taat. Juga suka merantau dan berdagang. Di Medan, kalau kalian tengok, kebanyakan yang jadi pedagang itu kalau bukan orang Tionghoa, ya orang Minang dan Mandailing. Ingat, Medan itu bukan tanah Batak ya, tetapi masuk kawasan Melayu Deli. Jadi orang Mandailing di Medan hitungannya ya sebagai perantau juga, seperti orang Jawa, Minang, dan Aceh. Karena punya gaya hidup yang berbeda dengan orang Batak (Toba), mereka menolak untuk diidentifikasi dengan kelompok tersebut.
Ya, simpelnya beginilah. Lo orang Jawa, tetapi sudah berurat-berakar dengan budaye Jakarte. Gak pernah pulang kampung ke Jawa. Bahkan kampungnya aja lo gak tau percisnya dimana. Trus pembawaan lo juga slengekan seperti kebanyakan orang di Jabodetabek. Pasti lo akan enggan diidentifikasi sebagai orang Jawa yang memiliki stereotip halus. Atau orang Cirebon. Katanya kan masih ada keturunan Prabu Siliwangi, tetapi menolak untuk disebut sebagai orang Sunda. Nah begitu pula kira-kira dengan orang Mandailing.
Saya gak tahu sejak kapan orang Mandailing menolak untuk disebut Batak. Mungkin sejak Perang Paderi kali ya, dan masuknya Belanda ke tanah Batak. Oiya, setelah Belanda menaklukan Sumatera, di abad ke-19 Tapanuli dimasukan ke dalam administratif Provinsi Pesisir Barat Sumatera (Gouvernement Sumatra's Weskust). Sehingga secara kultural, sejak itu mereka jadi dekat dengan orang Minang. Disamping ada beberapa kepercayaan yang mengatakan adanya pertautan antara klan Mandailing dengan Pagaruyung.
Mungkin peta ini bisa sedikit memberikan gambaran :
Peta Provinsi Pesisir Barat Sumatera (Gouvernement Sumatra's Westkust)
Kalau di Medan sih sejak awal abad ke-20 mereka juga sudah memisahkan diri. Tahun 1920-an, pernah ada kasus mengenai pemakaman Sungai Mati, dimana orang Mandailing menolak untuk menerima orang Batak (Toba) untuk dimakamkan di tanah wakaf orang Mandailing. Sampai sekarang kalau kamu lewat Jalan Katamso, masih ada tuh plang-nya : "Pemakaman Mandailing Sungai Mati", gak jauh dari Istana Maimun.
Menurut Daniel Perret dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Kolonialisme dan etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, penolakan ini disebabkan karena perbedaan agama, karakter, serta tingkat pendidikan di kalangan orang-orang Tapanuli. Pemisahan ini merembet hingga ke persaingan politik.
Ini menarik, saya pernah melakukan riset kecil-kecilan. Kenapa di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya, yang jadi Gubernur atau Walikota, kalau gak dari kalangan Mandailing atau Melayu atau orang Minang. Jarang sekali orang Batak (Toba) yang naik. Padahal secara jumlah, orang Batak (Toba) sangatlah besar. Kalau kata kawan saya yang dari Balige, karena orang Batak (Toba) tidak bersatu. Sedangkan orang Mandailing terasa lebih kompak. Bahkan tak jarang "aliansi" Mandailing-Minang-Melayu dalam beberapa Pilkada. Saya tidak bermaksud untuk memicu konflik sektarian disini. Tetapi itu fakta. Yang bisa kita ambil ibrohnya adalah : "Orang yang lebih kompak akan bisa memenangkan pertarungan meski jumlahnya kecil." Kita lihat nih nanti ya, Bobby Nasution, menantu Jokowi sekaligus orang Mandailing. Apakah bisa memenangkan Pilwalkot Medan.
Selain itu, orang Mandailing juga memiliki adaptasi yang cukup baik dengan lingkungan tempat ia tinggal. Di Medan mereka menjadi Melayu, di Pekanbaru seperti orang Minang, di Jakarta mereka membaur dengan orang Betawi. Ibarat pepatah Melayu : "Di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum." Mereka gak mau menonjolkan ke-mandailingan-nya. Di Medan atau Jakarta, gak sedikit keturunan Mandailing yang tak lagi menggunakan marga di belakang namanya. Yang mana ini jarang sekali saya amati pada kawan-kawan saya yang berasal dari Toba ataupun Simalungun.
Ya, begitulah sekilas pendapat saya berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama bergaul dengan orang-orang Mandailing.
Semoga bisa sedikit memberikan gambaran.
Komentar
Posting Komentar