Mengapa stadion/GOR di Indoensia secara umum kualitasnya jelek dibanding eropa
Mari kita lihat. Dari puluhan stadion yang memenuhi standar untuk menggelar pertandingan sepakbola standar liga satu dan mungkin FIFA. Adakah satu di antara puluhan stadion itu yang dimiliki swasta atau pemilik klub? Jawabannya hampir pasti tidak ada.
Hampir semua stadion di Indonesia, pembangunannya menggunakan dana dari pemerintah, baik itu menggunakan APBN maupun APBD.
Lalu setelah pembangunan, kita akan melihat banyak lapangan dan bahkan stadionnya terbengkalai seperti ini
Mengapa bisa? Jawabannya sederhana, sebagian besar stakeholder kita cuma bisa membangun tapi tidak bisa merawat.
Pembangunan stadion megah beserta lapangan dengan standar FIFA memang kerap jadi kebanggaan bagi para kepala daerah, lalu karena membangun terlalu megah, daerah kemudian tidak memiliki biaya untuk melakukan perawatan. Jadilah banyak lapangan dan juga stadion yang terbengkalai. Lapangan ditumbuhi rumput liar sedangkan bangunannya dimanfaatkan sebagai tempat mesum.
Pernah suatu waktu setelah stadion di kota kami dipilih menjadi markas salah satu klub liga satu, petinggi di kota kami kemudian bergerak cepat memperbaiki stadion, termasuk lapangannya.
Pemerintah kota kami kemudian mendatangkan pekerja dari Jawa yang sudah terbiasa merawat rumput stadion di Pulau Jawa.
Pekerja dari Pulau Jawa itu kemudian bekerja cepat memperbaiki rumput lapangan, mulai dari meratakan lapangan, mengatur ulang tata letak tiang dan mistar gawang, serta mengajari pengelola stadion cara memotong dan menyiram rumput.
Rupanya cara memotong dan menyiram rumput para pengelola stadion di kota kami selama ini keliru. Setelah perbaikan dan mengajari cara memotong dan menyiram rumput yang benar, saat ini kondisi lapangan jauh lebih baik dan tidak bergelombang lagi.
Jadi berdasarkan catatan di atas, paling tudak ada tiga hal yang membuat banyak lapangan bola Indonesia kurang baik atau jelek.
Pertama karena Pemerintah kekurangan biaya untuk melakukan perawatan pada stadion yang sudah ada. Anggaran dari APBD minim, di sisi lain hampir mustahil menggantungkan perawatan dari biaya sewa stadion. Apalagi biaya sewa stadion di daerah untuk sekali pakai termasuk murah. Di kota kami, klub liga satu yang menggunakan stadion, hanya membayar biaya sewa sebesar 500 ribu rupiah sekali pakai.
Kedua, sumber daya yang mengelola stadion belum memadai. Sebelum para pekerja dari Pulau Jawa datang memperbaiki stadion kota kami, pengelola stadion di kota kami belum paham cara memotong dan menyiram rumput dengan baik, akibatnya lapangan menjadi tidak rata dan aliran bola menjadi kurang bagus.
Ketiga, soal lapangan, termasuk GBK terlihat buruk saat menyaksikan pertandingan sepakbola di teve kita, itu hanya persoalan kualitas pengambilan gambar sahaja.
Setahu saya yang kerap menonton langsung pertandingan liga satu di stadion. Jumlah kamera yang dipakai untuk setiap pertandingan live, paling tidak hanya empat atau lima kamera saja. 1 kamera di VIP utama, 1 di tribun tertutup utara, 1 di tribun tertutup selatan dan dua sisanya di belakang gawang salah satu tim dan tribun terbuka. Jumlah kamera yang ada di dalam stadion tentu kurang maksimal untuk bisa mengambil semua gambar di setiap sudut lapangan.
Selain itu, berdasarkan penuturan salah satu kru kamera yang menyiarkan liga satu di stadion beberapa waktu lalu, para kru kamera yang menyiarkan siaran langsung di stadion bukan berasal dari stasiun teve. Mereka berasal dari pihak ketiga. Pemegang hak siar liga satu mengambil siaran langsung dari mereka.
Komentar
Posting Komentar