Mengapa Indoensia sulit mewujudkan pengusaha manufaktur

 Tahun 1960 an, Seoul masih seperti desa

*foto Seoul tahun 60 an

Sementara Jakarta udah keliatan kota.

*foto Jakarta 60 an

Indonesia dulu punya yang namanya Repelita, Rencana Pembangunan Lima Tahun(an)

  • Repelita I (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
  • Repelita II (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali, Madura melalui transmigrasi.
  • Repelita III (1979–1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
  • Repelita IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
  • Repelita V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Salah satu implementasi Repelita adalah penunjukkan beberapa orang yang dibekingi oleh pemerintah untuk menjadi Konglomerat. Tugas konglomerat ini adalah mendirikan pabrik- pabrik besar. Pabrik ini akan menciptakan lapangan kerja, membuat rantai supply chain alias banyak perusahaan vendor yang akan muncul, dan menggairahkan ekonomi sekitarnya, misal dengan adanya warung makan, kost- kostan, antar jemput, dan sebagainya. Akselerasi.

Melihat Indonesia yang cepat pertumbuhan ekonominya, terkenal akan menjadi macan Asia, pemerintah Korsel punya ide untuk belajar dari Indonesia. Ditirulah strategi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Di Korsel, konglomerat mereka disebut chaebol. Contoh chaebol adalah Hyundai, LG, Lotte, dan yang paling besar, Samsung.

Bedanya dengan Indonesia yang fokus pada pertanian dulu baru kemudian teknologi, Korsel menyadari pertanian mereka tidak akan scalable karena luas negara mereka kecil. Mereka langsung lompat ke teknologi. Sehingga pada saat mendirikan pabrik, Korsel mensyaratkan transfer teknologi. Memang alat produksi Hyundai dibeli dari negara maju seperti US atau Jepang. Tapi mereka mensyaratkan agar insinyur Korsel diajari seluk beluk mesin tersebut, dan para insinyur itu mampu belajar.

Sebaliknya di Indonesia, transfer teknologi tidak berjalan mulus seperti di Korsel. Kenapa? Nanti di bawah ada link ke jawaban saya yang lain tentang hal ini. Intinya, Indonesia terlalu dimanja dengan minyak dan tambang sehingga mereka jadi malas belajar, dan itu dianggap wajar oleh masyarakat sendiri, dan akhirnya terlatih untuk tidak bisa belajar. Jadi wajar saja ada orang kerja 20 tahun di pabrik televisi LG di Indonesia tetap saja disuruh bikin televisi sendiri tidak bisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi