Terpecahnya Mataram
Wah, siap-siap belajar sejarah deh. Tapi tenang guys, sejarah yang kali ini gak bosenin. Bahkan lebih brutal dibanding Game of Thrones.
Dimulai dari satu hari sebelum Valentine-an.
13 Februari 1755
Di desa Giyanti, dekat Salatiga, ditandangani sebuah perjanjian damai antara Susuhunan Pakubuwana (PB) III & Pangeran Mangkubumi. Pihak VOC/Belanda datang sebagai pihak penengah/mediator. Dua kubu ini sebelumnya perang saudara soal tahta Kerajaan Mataram Islam, sejak Amangkurat IV meninggal tahun 1726.
*Sebenarnya ada juga pihak ke-3, dipimpin Pangeran Sambernyawa - tapi ceritanya bisa panjang nih. Bener2 Game of Thrones versi Jawa deh. Bayangin, perang saudara hampir 30 tahun! Anyways, yang jadi damai cuman PB III & Mangkubumi. Cuman inget2 itu nama, nanti muncul lagi deh.
Di perjanjian Giyanti ini negara Mataram dibelah menjadi 2 - PB III di Surakarta/Solo, dan Mangkubumi naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana (HB) I di Yogyakarta.
Disini mulailah sejarah Yogyakarta & Surakarta menjadi berbeda…
Dan ada 4 perbedaan sejarah paling mencolok antara keduanya.
1. Sampai perang Diponegoro (1825–1830), Kerajaan Surakarta sering didukung VOC, Yogyakarta seringkali berontak
Diatas kertas, VOC/Belanda hanya berperan sebagai pihak penengah netral antara 2 kerajaan baru ini. Tapi sebenernya perjanjian Giyanti berhasil bikin VOC menjadi de facto penguasa pulau Jawa, karena di perjanjian Giyanti ini juga VOC berhasil merampas daerah pesisir utara Jawa (berarti semua barang dagangan/ekspor-import harus lewat daerah VOC dulu), dan VOC punya hak untuk mengganti Sultan Yogya/Sunan Surakarta jika salah satunya dicap "berbahaya".
Di perang saudara ini, VOC mendukung pihak Surakarta. Sejak itu pula Sultan Yogyakarta lebih sering berontak melawan VOC, yang puncaknya adalah Perang Jawa Pangeran Diponegoro (1825–1830, inget, jam setelah maghrib). Setelah Pangeran Diponegoro, tidak ada lagi penguasa Yogya/Solo yang berani melawan VOC
soalnya Perang Jawa sangat brutal, ada sumber yang bilang korban jiwa mencapai 220 ribu orang. Kurang lebih jumlahnya sama dengan perang kemerdekaan kita (1945–1949) -link bahasa Belanda, padahal perang kemerdekaan di seluruh Indonesia, ini cuman di Jawa!
2. Yogyakarta & Surakarta kelak akan dipecah lagi, dari Yogyakarta lahir Kadipaten Pakualaman, dari Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran
Bedanya, Mangkunegaran dipecah dari Surakarta tahun 1757, dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa yang tadi disebut di awal. Surakarta dipecah sebagai balas budi untuk Pangeran Sambernyawa - tadinya ia melawan Surakarta bersama Mangkubumi/Yogyakarta, tapi setelah perjanjian Giyanti ia khianat dan bersekutu bersama Surakarta & VOC.
*udah ta bilangin kan ini beneran kaya Game of Thrones!
Sementara Pakualaman dipecah dari Yogyakarta tahun 1813, sebagai balas budi untuk Pangeran Natakusuma (salah satu anak HB I) yang membantu Thomas Raffles menghentikan perlawanan HB II.
Secara kekuatan/pengaruh, Mangkunegaran punya pengaruh lebih besar (kadang setara dengan Yogyakarta & Surakarta, sementara Pakualaman, yang cuman dapat jatah daerah pesisir selatan kecil, ya juga jauh kurang berpengaruh).
Fun Fact: Kadipaten Mangkunegaran punya tradisi militer kental, pemerintah kolonial Belanda pun mengangkat Legiun Mangkunegaran (pasukan elit Mangkunegara) jadi bagian dari pasukan kehormatan Belanda. Legiun ini sering dipakai Belanda untuk perang di daerah lain & taktik/pendidikannya didasarkan Legion Etrangere dari Prancis (French Foreign Legions). Bahkan Adipati Mangkunegara VII (1916–1944) diberikan tanda jasa oleh Ratu Wilhelmina & memegang pangkat Kolonel di KNIL (tentara Hindia Belanda)
3. Dalam sejarahnya, pemerintahan Yogyakarta lebih dekat dengan elemen Islam dibanding Surakarta
Dimulai dari Perang Jawa pangeran Diponegoro, Kesultanan Yogyakarta kerap punya ikatan politik lebih kuat dengan elemen Islam/golongan santri dibanding Surakarta. Surakarta pun lebih welcoming/memperbolehkan misionaris kristen Belanda di daerahnya.
Gelar raja Yogyakarta & Surakarta pun jadi salah satu buktinya: Yogyakarta memakai gelar islam Sultan, sementara Surakarta memakai gelar jawa Susuhunan.
Bukti lain bisa dilihat dari lahirnya gerakan Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri tahun 1912 di Yogyakarta sebagai gerakan reformis pendidikan awalnya, dan KH Ahmad Dahlan (pendirinya) sering berkolaborasi/memberi nasihat untuk pihak Kesultanan.
Sementara itu Sarekat Islam berdiri tahun 1905 di Surakarta sebagai gabungan pedagang Islam pribumi. Walau Sunan PB VIII & PB IX masa itu memberi ruang untuk SI, Pihak Kasunanan/kerajaan Surakarta tidak terlalu terlibat langsung dengan pendirian SI ini. Pasif sifatnya dibanding Muhammadiyah & Sultan Yogya.
Oke, menarik sejarahnya, Kan, tapi kenapa Yogyakarta jadi Daerah Istimewa & Sultan jadi Gubernur sementara Sunan Surakarta tidak?
Eh bentar dulu! Sebenernya Surakarta dulunya juga Daerah Istimewa loh. Soekarno sempat memberi status DI Surakarta ga lama setelah kita merdeka.
Tapi ada satu faktor kenapa Yogyakarta bisa tetap jadi Daerah Istimewa…
4. Kas Kerajaan Yogyakarta selamat dari rampasan perang Jepang, sementara Surakarta tidak beruntung, dirampok oleh Jepang TBC
Begitulah, dan karena itu, ketika habis Perang Dunia 2, Yogyakarta jadi salah satu dari sekian kecil daerah di Indonesia yang secara ekonomi tidak terlalu digoyang efek perang.
Karena faktor inilah, Sultan HB IX / Sri Sultan kaping Sanga, saat itu berani mendanai perang kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai "meminjamkan" Yogyakarta sebagai ibu kota ketika Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Sementara Surakarta harus mencari cara untuk survive.
Sunan PB XI ga mau kalah sama Sultan HB IX, mau berjuang juga untuk Indonesia. Sayangnya ga bisa bantu secara politik/finansial, walhasil Sunan PB XI ikut turun tangan secara fisik jadi tentara, memimpin sendiri beberapa serangan melawan Belanda.
Selain faktor uang, ada juga faktor pengalaman politik. Sultan HB IX naik tahta tahun 1940, dan menghadapi sendiri sebagai raja pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang & pemerintahan baru Soekarno. Sementara Sunan PB XI (dan Mangkunegara VIII) baru naik tahta tahun 1944 & 1945, keduanya belum punya pengalaman politik dibanding Sultan HB IX.
Ini bisa dilihat dari pengaruh Sultan HB IX yang bahkan setelah perang, diangkat jadi Menteri beberapa kali (dan nantinya Wapres di era Soeharto).
Dan karena jasa-jasa itulah, Soekarno menetapkan Yogyakarta tetap sebagai Daerah Istimewa, sementara Surakarta kehilangan statusnya. Seperti halnya sejarah perpecahan mereka, status DIY ini juga intinya satu - balas budi.
Begitu cerita kenapa sampai sekarang Sultan Yogyakarta secara otomatis menjabat sebagai Gubernur provinsi DI Yogyakarta, sementara Susuhunan Surakarta/Solo tidak punya jabatan otomatis di pemerintahan daerah, dan hanya berperan sebagai pemuka adat/penjaga budaya.
Komentar
Posting Komentar