SISTEM MANDALA

 Mandala (मण्डल) adalah istilah bahasa Sanskerta yang berarti "lingkaran". Mandala digunakan sebagai model untuk menggambarkan pola penyebaran pengaruh kekuasaan politik dalam sejarah kuno Asia Tenggara ketika kekuasaan setempat memegang peranan penting. Konsep sejarah-politik mandala ini berkaitan dengan kecenderungan modern untuk memandang persatuan kekuasaan politik, misalnya kekuasaan kemaharajaan atau negara-bangsa besar di kemudian hari. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi pembuatan peta pada abad XV. [1] Sejarawan asal Inggris O. W. Wolters meyebutkan gagasan ini pada tahun 1982:              

Peta sejarah purba Asia Tenggara berevolusi dari jejaring organisasi prasejarah yang muncul dalam catatan sejarah sebagai serpihan-serpihan yang membentuk mandala yang terkadang saling tumpang tindih. [2]

Istilah mandala digunakan untuk menjelaskan sejarah awal terbentuknya politik Asia Tenggara, seperti federasi atau persekutuan beberapa kerajaan yang dipersatukan oleh kerajaan induk, atau kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan ( bawahan ) yang tunduk pada satu pusat kekuasaan. Istilah ini digunakan pada abad XX oleh sejarahwan Barat dalam diskursi pranata politik India kuno, untuk menghindari penggunaan istilah " negara " dalam arti konvensional. Pranata atau kesatuan politik Asia Tenggara purba berbeda dengan kesatuan politik dalam pengertian Tiongkok dan Eropa, dimana kawasan negara ditentukan oleh garis perbatasan yang jelas dan aparat birokrat, akan tetapi menyebar dengan arah kebalikannya: kesatuan politik yang ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat Terdiri atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut. [3]

Dalam beberapa hal, sistem mandala ini mirip dengan sistem feodal di Eropa, negara-negara bagian atau negeri bawahan terikat oleh pengiriman melalui hubungan tribut yaitu memberikan persembahan berupa upeti . Dibandingkan dengan sistem feodal, sistem mandala ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada negeri bawahannya; Secara keseluruhan lebih bersifat hubungan pribadi antar penguasanya; dan sering kali bersifat tidak eksklusif. Suatu daerah tertentu dapat menjadi bawahan beberapa sistem mandala tertentu, atau bahkan tidak samasekali.   

Sejarah

Beberapa mandala yang saling tumpang-tindih di daratan Asia Tenggara sekitar tahun 1360: dari utara ke selatan Lan Xang , Lanna , Sukhothai , Ayutthaya , Angkor dan Champa .       

Secara sejarah, kekuatan mandala utama antara lain Kerajaan Khmer di Kamboja , Sriwijaya di Sumatra , rangkaian kerajaan-kerajaan di Jawa ( Medang , Kadiri , Singhasari dan Majapahit ), Ayutthaya di Thailand , Champa dan Dai Viet di Vietnam dan Cina . [4] Tiongkok menempati posisi khusus karena sering kali mandala utama Asia Tenggara memberikan persembahan ke Tiongkok untuk mendapatkan keistimewaan ekonomi berupa hubungan dagang dengan Tiongkok, meskipun kondisi persembahan ini umumnya sangat minim. Beberapa negara bawahan dalam perlindungan Tiongkok misalnya Kamboja , Lan Xang (dilanjutkan oleh Vientiane dan Luang Prabang ) serta Lanna . Kamboja secara khusus digambarkan oleh kaisar Vietnam Gia Long , sebagai "negara merdeka yang diperbudak dua tuan" (Chandler hal. 119).                               

Masuknya Islam di Nusantara melihat penerapan sistem ini yang masih berlanjut dalam pembentukan pemerintahan, seperti terbentuknya Negeri Sembilan pada abad ke-18 yang fokus pada Seri Menanti sebagai pusat yang diapit oleh empat luak dalam dan empat daerah luar. [5] Contoh lainnya yaitu kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Jawa setelah Majapahit.       

Sistem ini berakhir dengan munculnya kekuasaan Eropa pada pertengahan abad XIX. Secara budaya mereka memperkenalkan praktik geografis Eropa yang beranggapan setiap wilayah hanya dikuasai satu penguasa. Dalam praktiknya, kolonisasi di Indochina Prancis , Malaya Britania dan Birma, serta Hindia Belanda memaksa penguasa kolonial ini untuk menetapkan batas wilayah koloni milik mereka. Wilayah kerajaan bawahan ini lalu dibagi-bagi antara koloni-koloni Eropa ini dan kerajaan Siam.     

Kewajiban

Kewajiban di setiap sisi hubungan bervariasi sesuai dengan kekuatan hubungan dan keadaan. Misalnya di Semenanjung Malaya , pada umumnya negara bawahan wajib membayar bunga mas , upeti tetap berbagai barang berharga dan budak, dan miniatur pohon emas dan perak ( bunga mas dan perak ). Penguasa tuan membalas dengan hadiah yang sering kali lebih berharga daripada yang diberikan oleh negara bawahannya. Namun, negara bawahan juga harus menyediakan orang dan perbekalan ketika dipanggil, paling sering pada saat perang. Manfaat utama bagi bawahan negara adalah perlindungan dari invasi oleh kekuatan lain, meskipun seperti yang dicatat oleh sejarawan Asia Tenggara Thongchai Winichakul, ini sering kali merupakan "perlindungan seperti mafia" [6] dari ancaman bahaya itu sendiri. Dalam beberapa kasus, penguasa juga mengendalikan suksesi di negara bawahan, tetapi secara umum campur tangan dalam urusan dalam negeri negara bawahan itu minimal: dia akan mempertahankan pasukan dan kekuatan perpajakannya sendiri, misalnya. Dalam kasus hubungan yang lebih renggang, "tuan" mungkin berasumsi sebagai salah satu upeti, sedangkan "negara bawahan" mungkin menganggap pertukaran hadiah murni bersifat komersial atau sebagai ekspresi niat baik (Thongchai hal. 87).   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi