DUALISME KEKUASAAN

 

Tradisi parlementer bisa jadi dimulainya ya di Britania Raya. Semua dimulai dari Parlemen Inggris yang didirikan pada abad ke-13, sebelum akhirnya digantikan oleh Parlemen Britania Raya pada 1707.

Dulunya, secara tradisi tiap-tiap kerajaan itu punya semacam parlemen, tapi bukan seperti parlemen modern. Parlemen ini bisa dikatakan gabungan dari beberapa fungsi, yaitu:

  1. Kabinet, karena dewan ini juga kadang fungsinya sebagai menteri dengan portofolio klasik yaitu: pertahanan atau perang, keuangan, keamanan, hukum dan keadilan, serta luar negeri dan domestik.
  2. Legislatif, karena dewan juga yang merumuskan aturan serta hukum dari titah raja. Selain itu, ada check and balance yang unik antara anggota dewan dan kepala negara (dalam hal ini Raja). Soalnya kepala negara tetap butuh dukungan dewan untuk melanggengkan kekuasaan. Tanpa dukungan? Bisa dilihat kisah Charles I .
  3. Yudikatif, karena biasanya masih absolut, fungsi yudikatif juga di tangan kepala negara. Tetapi fungsi ini biasanya dimandatkan ke anggota dewan tertentu.
  4. Penasihat, ada juga anggota dewan yang pasif dan fungsinya memberi nasihat. Biasanya dari keluarga kerajaan yang cerdik dan lihai berpolitik, tapi tidak diberi tupoksi yang jelas.

Di Inggris sendiri, dewan ini lebih dikenal sebagai Witan. Witan sudah ada sejak Era Heptarki

dan terus dipertahankan usai unifikasi Inggris oleh King Alfred the Great. Secara internasional, dewan ini lazim disebut Royal Court, atau Imperial Court.

Anggota Witan di Inggris sendiri biasanya:

  1. Ealdorman, atau kalau titel modern adalah Earl. Mereka adalah kepala daerah yang feudal.
  2. Pemuka Agama, yang terkenal adalah para Uskup dan biarawan yang disukai oleh kepala negara.
  3. Keluarga Kerajaan. Biasanya permaisuri dan anak-anak kepala negara bisa ikut dalam sebuah Witan.
  4. Kaum Intelektual, tapi secara historik sepertinya jarang. Kebanyakan intelektual yang masuk Witan juga biasanya sekaligus pemuka agama.

Tapi Witan sendiri sebetulnya tidak jelas secara struktur dan landasan hukum. Mirip Wantimpres, seorang Raja bisa menunjuk dan membuang mereka sekenanya. Nah, skema "Parlemen" sendiri baru benar-benar ada di masa Henry III

. Perkara awal yang diserahkan pada parlemen adalah pajak. Jadi kepala negara sudah tidak bisa semena-mena menerapkan pajak.

King Henry III of England

Karena pajak sekarang dalam hegemoni parlemen, maka badan keuangannya juga pelan-pelan dikelola oleh parlemen. Badan keuangan ini dikenal sebagai Exchequer, dan sampai sekarang masih ada. Pemimpinnya adalah Chancellor of the Exchequer yang dalam kabinet modern setara dengan Menteri Keuangan.

Secara tradisi, Inggris punya Great Offices yang memuat menteri-menteri senior dengan portofolio penting. Di Indonesia mungkin Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keuangan. Kalau di Inggris:

  1. Chief Minister atau Prime Minister, yaitu Ketua Menteri atau Perdana Menteri. PM juga biasanya menjadi:
    1. First Lord of Treasury. Secara titular, First Lord of Treasury itu sebetulnya adalah Menteri Keuangan sesungguhnya. Tapi secara tradisi, tupoksi mereka dimandatkan ke Second Lord of Treasury yang juga sekaligus Chancellor of the Exchequer tadi.

      Jatuhnya hubungan antara PM dan Chancellor of the Exchequer mirip hubungan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tapi skenarionya untuk keuangan negara saja.
    2. Minister for the Civil Service, mirip Menteri PANRB di Indonesia.
    3. Minister for Union.
  2. Chancellor of the Exchequer, atau Menteri Keuangan.
  3. Foreign Secretary, atau Menteri Luar Negeri.
  4. Home Secretary, atau Menteri Dalam Negeri.

Seiring berjalannya waktu, kekuasaan monarki memang dilemahkan ke parlemen. Pelemahan ini tidak selalu secara tertulis, karena kalau di Inggris mereka menganut konstitusi dengan tipe uncodified constitution alias konstitusi tidak tertulis. Mereka tidak punya UUD! Semuanya berdasarkan produk hukum dari parlemen dan tradisi.

Apa itu artinya?

Artinya sewaktu-waktu kalau King Charles III mau membubarkan parlemen dan jadi monarki absolut, ya sah-sah saja. Tidak ada Undang-Undang Dasar yang bisa mencegah ini. Tapi paling nanti akan terjadi lagi perang sipil antara Royalis melawan Parlementaris.

King Charles III

Jadi kalau ada orang Inggris teriak-teriak: "This is an outrage! Unconstitutional!", itu dengan pertimbangan tradisi. Tidak ada acuan nyata UUD. Kita masih punya buku UUD. Konstitusi Inggris kalau dibukukan itu gabungan dari:

  1. Sejarah dan tradisi
  2. Pertimbangan agama
  3. Berbagai produk hukum tambahan

Misalkan mendiang Queen Elizabeth II. Dia konon adalah penguasa pertama yang menggunakan nama tahta yang sama dengan nama panggilan. Padahal penguasa sebelumnya selalu memilih nama yang berbeda. Mendiang ayahnya King George VI punya nama panggil Albert atau Bertie. King Edward VIII dulu dipanggil David.

Kalau mau dibilang inkonstitusional, ya bisa saja inkonstitusional. Hanya saja tidak ada yang meributkan. Ini malah jadi tradisi baru (atau konstitusi baru) yang diteruskan Charles III.

Maaf agak berbelok. Karena sudah berbelok jauh, mari kita kembali ke sistem parlementer.

Menyebut parlementer dualisme kepemimpinan itu sama dengan menyebut trias politika sebagai trialisme kepemimpinan.

Faktanya, dulu kepala negara ya menguasai segalanya. Dialah pemimpin, dialah pembuat hukum, dialah hakim. Semua atas namanya. Bahkan secara titular, kalau tidak salah dalam dokumenter yang saya lihat di zaman Perang Dunia I dan II, tiap orang yang ditangkap di Britania Raya akan ditangkap secara seremonial "atas nama King George", V dan VI respectively.

Begitu kekuasaan ini dibagi dengan konsep trias politika, sudah ada pemisahan fungsi. Mahkamah Agung berperan sebagai pemimpin dalam segi penghakiman. DPR berperan sebagai pemimpin dari segi pembuatan produk hukum. Kepala negara dan pemerintahan? Ya pemimpin dari segi pelaksanaan roda pemerintahan dan juga simbol negara.

PM Finlandia Sanna Marin dan Presiden Finlandia Sauli Niinistö.

Posisi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bukan dualisme, tapi pemisahan fungsi. Semuanya diatur lewat konstitusi. Secara tradisional, kepala negara tetap punya reserve power yang sangat besar. Dalam hal parlemen tidak bisa berjalan, kepala negara biasanya bisa memerintah secara otoriter.

Nah, sebagai bentuk demokratisasi, mandat eksekutif ini diserahkan kepada kubu dalam parlemen yang memenangkan pemilu. Itulah konsep awal sistem parlementer. Ini tradisi lama di Eropa. Banyak negara di Eropa menganut sistem parlementer. Bahkan Prancis saja menganut semi-presidensial.

Lalu apakah ini efisien?

Ya tergantung negaranya. Di negara dimana terjadi polarisasi dua kubu (misalkan Britania Raya yang terpolarisasi antara Labour dan Tory), atau di negara dimana jalannya roda politik sudah sangat dewasa dan patuh tradisi, parlementer malah sangat efisien. Kestabilan suatu negara bisa dijaga.

Presiden atau Raja sebagai kepala negara tidak perlu khawatir ditumbangkan. Mereka bisa jadi simbol pemersatu. Kalau kepala negara menjalankan tugasnya dengan baik sebagai sosok netral non-politik yang menjaga konstitusi, kemungkinan terjadinya perang saudara hampir nol. Pengecualian mungkin di negara seperti Belgia yang terpolarisasi antara kubu Prancis dan Belanda/Flemish.

Yang perlu khawatir justru Government, atau Kabinet dari parlemen. Mereka yang bisa digoyang lewat suatu mosi tidak percaya. Kalau ada kesalahan dari pemerintah, kepala negara tidak perlu turun. Cukup ganti pemerintahan saja. Dalam sistem ini justru negara secara persatuan, tradisi, dan simbolik tetap bersatu.

Lain halnya dengan presidensiil. Dalam sistem ini, kepala negara juga kepala pemerintahan. Fungsi keduanya tidak dipisah.

Apakah pemerintah akan lebih otoriter?

Ya tidak juga. Karena dalam konstitusi negara presidensiil, biasanya kekuasaan kepala negara juga sangat dibatasi. Bahkan Indonesia saja sebetulnya kalau menurut saya presidensiil setengah-setengah. Terlalu banyak hal yang membutuhkan consent atau persetujuan dari DPR alias parlemen. Jatuhnya malah kadang mirip parlementer, bedanya pemerintahan tidak berasal dari kubu mayoritas parlemen.

Coba diingat. Menunjuk berbagai pejabat seperti Menteri, atau pejabat setara menteri seperti Panglima TNI dan Polri saja harus dites dan disetujui DPR. Bahkan ada fit and proper test.

Capitol Hill, gedung parlemen AS di Washington, DC.

Bahkan di AS yang sebetulnya negara federal dimana lazimnya Senat harus punya kuasa besar sebagai perwakilan anggota federasi, proses nominasi pejabat yang ditunjuk Presiden saja tidak serumit di Indonesia yang butuh sidang panjang. Setahu saya tidak ada semacam sidang dimana Chairman of Joint Chiefs of Staff (ekuivalen dengan Panglima TNI dengan beberapa perbedaan) akan dikonfirmasi. Harap dikoreksi bila salah.

Nah, sekarang tentu pertanyannya lebih baik mana? Jawabannya tergantung iklim politik tiap negara.

Indonesia sendiri cenderung bagus kalau menggunakan sistem presidensiil. Karena di Indonesia sendiri, mosi tidak percaya adalah langganan tiap tahun ketika kita masih menganut sistem parlementer. Orang Indonesia dalam berpolitik cenderung tidak fair. Orang Indonesia sangat taat tradisi politik, tapi tradisi politik yang jelek, yakni tradisi Game of Throne yang sudah ada sejak zaman Majapahit berdiri.

Kesimpulan:

Narasi kalau pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan adalah dualisme sama saja dengan menyebut trias politika sebagai trialisme. Persamaannya adalah keduanya sama-sama pemisahan fungsi, bukan dualisme atau trialisme.

Siapa pemimpin negara mereka?

Kepala Negara dengan kekuasaan yang dimandatkan ke Kepala Pemerintahan atas nama Kepala Negara.

Coba tanya ke orang Britania Raya yang sadar bernegara. Jawabannya mungkin:

His Majesty King Charles III, represented by the government in His Name.

Wer rastet, der rostet

Catatan Kaki

[3]
Henry III
of England - Wikipedia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi