APAKAH BANGSA PENJAJAH, MENGUBAH ULANG SEJARAH NEGARA YANG MEREKA JAJAH (RE-HISTORI?)

 Kalau Anda baca sejarah secara lengkap, Anda akan lihat bahwa waktu Cornelis De Houtman pertama kali datang di akhir abad 16 TIDAK ADA "BANGSA INDONESIA". Kepulauan ini terbagi-bagi menjadi negara-negara kerajaan tradisional yang berbeda-beda, tidak sedikit dari mereka juga bermusuhan satu sama lain. Jadi tidak mungkin "Belanda memusuhi" sesuatu yang tidak ada.

"Bangsa Indonesia" baru lahir pada 1928, sebagai identifikasi dari kaum pribumi dengan keturunan Eropa yang memerintah mereka. Tapi itu bukan berarti peserta Kongres Pemuda waktu itu "dimusuhi" oleh Belanda. Banyak orang pribumi yang bekerja di militer dan pegawai negeri ataupun swasta yang dipimpin oleh orang-orang Belanda.

Satu hal lagi yang perlu Anda pahami, bahwa kolonialisme Belanda dan Inggris di era kolonialisme dulu itu bukan untuk menghilangkan identitas kesukuan pribumi di koloninya, atau mengidentifikasi mereka sebagai bangsa yang sama dengan mereka sendiri (bandingkan dengan invasi Rusia baru-baru ini ke Ukraina, atau kepemilikan Turki atas Kurdistan. Rusia mengganggap "gak ada itu bangsa Ukraina, mereka itu orang Rusia juga sebenarnya!" atau pemerintah yang menyebut orang Kurdi sebagai "Turki gunung"). Belanda dan Inggris jelas-jelas tahu mereka dan rakyat pribumi itu beda, tapi mereka gak masalah selama mereka yang berkuasa (dan mendapat keuntungan ekonomi darinya).

Sehingga banyak dari orang-orang Eropa ini yang jadi punya passion untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan wilayah koloninya: sejarahnya, kekayaan alamnya, dan pemetaan wilayahnya. Mereka melakukannya tanpa ada pemikiran untuk menjelek-jelekkan bangsa pribumi, melainkan murni untuk ilmu pengetahuan.

Dengan pertanyaan seperti di atas, maka saya berasumsi Anda belum kenal orang ini:

Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Hindia-Belanda 1811–1816

Setelah berhasil mengalahkan pemerintah Hindia Belanda yang pro Napoleon, Raffles mengambil alih kekuasaan Hindai Belanda sebagai pemenang (Inggris) untuk sementara waktu. Tapi apa yang dia capai selama jangka waktu singkat itu, dampaknya besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini.

Yang pertama adalah, dia menyusun buku ini:

Bisa dibilang ini adalah buku pertama yang ditulis dengan rapi dan bagus tentang sejarah Jawa dari sudut pandang sekuler. Dalam penelitiannya Raffles juga menggandeng orang-orang pribumi, seperti yang ditulis dalam artikel ini:

Bagaimana Thomas Raffles Menyusun 'The History of Java'?
Raffles mengandalkan sumbangan kolega, bawahan, dan priayi Jawa bagi penyusunan naskah The History of Java.
Isi Buku "The History of Java" Karangan Raffles Halaman all - Kompas.com
Isi The History of Java yang merupakan buku karangan Thomas Stamford Raffles dan terbit tahun 1817. Halaman all

Selain itu, Raffles juga yang menganggap serius laporan adanya monumen besar di Jawa Tengah. Dia mengirim tim untuk menyelidiki. Itu mengawali pekerjaan-pekerjaan renovasi atas 'monumen' ini dan sekarang bangunan itu adalah salah satu kebanggaan bangsa Indonesia sampai sekarang.

Borobudur - Wikipedia
9th-century Buddhist temple in Java, Indonesia Borobudur , also transcribed Barabudur ( Indonesian : Candi Borobudur , Javanese : ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ , romanized: Candhi Barabudhur ) is a 9th-century Mahayana Buddhist temple in Magelang Regency , not far from the town of Muntilan , in Central Java , Indonesia . It is the world's largest Buddhist temple . [1] [2] [3] The temple consists of nine stacked platforms, six square and three circular, topped by a central dome. It is decorated with 2,672 relief panels and originally 504 Buddha statues . The central dome is surrounded by 72 Buddha statues, each seated inside a perforated stupa . [4] Built in the 9th century during the reign of the Sailendra Dynasty , the temple design follows Javanese Buddhist architecture , which blends the Indonesian indigenous tradition of ancestor worship and the Buddhist concept of attaining nirvāṇa . [3] The temple demonstrates the influences of Gupta art that reflects India 's influence on the region, [5] yet there are enough indigenous scenes and elements incorporated to make Borobudur uniquely Indonesian. [6] [7] The monument is a shrine to the Buddha and a place for Buddhist pilgrimage . The pilgrim journey begins at the base of the monument and follows a path around the monument, ascending to the top through three levels symbolic of Buddhist cosmology : Kāmadhātu (the world of desire), Rūpadhātu (the world of forms) and Arūpadhātu (the world of formlessness). The monument guides pilgrims through an extensive system of stairways and corridors with 1,460 narrative relief panels on the walls and the balustrades . Borobudur has one of the largest and most complete ensembles of Buddhist reliefs in the world. [3] Evidence suggests that Borobudur was constructed in the 9th century and subsequently abandoned following the 14th-century decline of Hindu kingdoms in Java and the Javanese conversion to Islam. [8] Worldwide knowledge of its existence was sparked in 1814 by Sir Thomas Stamford Raffles , then the British ruler of Java , who was advised of its location by native Indonesians. [9] Borobudur has since been preserved through several restorations. The largest restoration project was undertaken between 1975 and 1982 by the Indonesian government and UNESCO , followed by the monument's listing as a UNESCO World Heritage Site . [3] Borobudur is the largest Buddhist temple in the world, and ranks with Bagan in Myanmar and Angkor Wat in Cambodia as one of the great archeological sites of Southeast Asia . Borobudur remains popular for pilgrimage, with Buddhists in Indonesia celebrating Vesak Day at the monument. Borobudur is Indonesia's single most visited tourist attraction . [10] [11] [12] Etymology [ edit ] In Indonesian , ancient temples are referred to as candi ; thus locals refer to "Borobudur Temple" as Candi Borobudur . The term candi also loosely describes ancient structures, for example gates and baths. The origins of the name Borobudur, is derived from Boro for big and

Perhatian yang dalam terhadap sejarah Jawa dan penulisan buku yang legendaris itu membuat sejarawan-sejarawan berikutnya di era kolonialisme Belanda melanjutkan pekerjaan Raffles.

Salah satunya adalah ini:

Bernard Hubertus Maria Vlekke

Vlekke walaupun adalah orang Belanda, tapi dia adalah sejarawan akademisi tulen yang berhasil menyusun sejarah ribuan tahun kepulauan Indonesia ini secara komprehensif. Saya sangat rekomendasi buku dia Nusantara - Sejarah Indonesia untuk Anda baca.

Lalu ada beberapa sejarawan Belanda juga yang memang jatuh cinta dengan sejarah Jawa:

Hermanus Johannes de Graaf

Merle Calvin Ricklefs

Sekarang ini kalau kita mau tahu sejarah Kesultanan Mataram yang lengkap, dua nama di atas akan jadi referensi (bisa dibilang) utama. Sejarah Sultan Agung misalnya, tokoh yang dipuja-puja oleh rakyat Jawa dan Indonesia sampai sekarang, kita akan cari dari karya tulisan mereka atau buku-buku yang mengutip dari karya mereka. Mereka ini yang menyusun karya ilmiah lengkap dan modern tentang Kesultanan Mataram sampai sekarang jadi empat keraton di Yogyakarta dan Surakarta.

Lalu kita kembali lagi ke orang Inggris, ini favorit saya:

Peter Carey

Peter Carey adalah expert-nya dalam hal Pangeran Diponegoro. Saya pernah menulis fandom saya terhadap beliau di tulisan ini:

Rufus Panjaitan
 · 1thn
Pertanyaan: Mengapa yang meneliti sejarah hidup Pangeran Diponegoro adalah sejarawan asing Peter Carey dan bikan sejarawan Indonesia sendiri? Sejarawan Indonesia juga banyak yang mempelajari Pangeran Diponegoro, tapi tidak ada yang menghasilkan karya sedetail dan sebesar Peter Carey. Peter Carey 'jatu…

Saya akan fangirling ketemu Beliau ini. Jadi bayangkan bahagianya saya waktu Beliau jadi tour guide kami di eksebisi Aku, Diponegoro beberapa tahun silam.

Wait, mungkin Anda akan bertanya, "Lho, memangnya kenapa harus ada orang-orang bule ini?? Bukankah sejarah Jawa juga ditulis oleh pihak istana dalam bentuk babad-babad?" Betul. Babad-babad ini juga menjadi referensi penelitian mereka. Tapi gaya penulisan babad sama sekali berbeda dengan gaya penulisan sejarah ilmiah modern. Babad ditulis dari sudut pandang monolitik yang super subyektif, dan sangat kuat dengan warna-warna interpretasi mistik dan mitos Jawa. Membaca babad bisa dibilang seperti membaca Illiad untuk mengetahui bagaimana perang Troya terjadi: banyak magic dan dewa-dewi. Dalam babad, kekalahan bisa di-framing sebagai kemenangan dari sudut pandang spiritual. Mirip dengan kita membaca kitab suci.

Akademisi-akademisi Eropa inilah yang mewariskan ilmu sejarah modern ke para sejarawan Indonesia, sehingga kita bisa memandang sejarah bangsa kita sendiri dengan lebih obyektif. Nama-nama besar dalam bidang arkeologi seperti Purbacaraka 'berguru' dengan profesor-profesor Belanda ini (IYA, mereka mengajarkan ilmu mereka ke orang-orang pribumi seperti Purbacaraka. Ini mematahkan premis sesat di pertanyaan bahwa orang-orang Belanda 'memusuhi' orang Indonesia).

Satu kelebihan yang dimiliki oleh orang Eropa adalah, mereka mempelajari sejarah Indonesia dengan rasional dan tanpa kepentingan politis apa pun (karena mereka ilmuwan, bukan propagandis). De Graaf mempelajari riwayat Sultan Agung sebagai penakluk berambisi, bukan "pejuang kemerdekaan". Peter Carey mempelajari Pangeran Diponegoro sebagai pejuang sesuai konteks masyarakat Jateng dan keraton Yogyakarta saat itu, bukan sebagai "santo nasionalis" Indonesia. Ini yang saya keluhkan dari film karya Hanung Bramantyo, yang pernah saya post di sini:

Rufus Panjaitan
 · 1thn
Pertanyaan: Seberapa akurat film-film Indonesia yang mengambil tema sejarah nasional seperti “Kartini”, “Wage”, atau “Sultan Agung”? Saya baru berlangganan Netflix. Film pertama yang saya tonton: Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Ini film memang udah bikin penasaran saya karena menurut sa…

Karena hubungan emosional orang Indonesia lebih kuat terhadap tokoh-tokoh seperti Fatahillah, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dll inilah yang membuat mereka di-framing dengan cara pandang dan narasi nasionalisme Indonesia modern, sebaliknya daripada memahami mereka dalam konteks yang akurat sesuai jaman mereka.

Gak usah Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro. Soal G30S aja orang Indonesia musti terbelah antara "PKI adalah korban Soeharto dan CIA!" vs "PKI adalah pembantai jendral dan ulama!".

Jadi kembali ke pertanyaan: adalah SALAH BESAR kalau kita menolak ilmu sejarah dari karya-karya sejarawan Eropa dengan tuduhan mereka adalah penjajah. Itu menandakan betapa insecure-nya banyak orang Indonesia (yang literasinya rendah ini) terhadap sejarah bangsanya sendiri.

CATATAN:

Tulisan ini tidak memaksudkan bahwa sejarawan-sejarawan ini pasti tidak punya bias sama sekali. Tadi setidaknya mereka tidak dipaksa oleh pemerintahnya untuk membuat narasi sejarah Indonesia pro penjajahan, dan di pasca Indonesia merdeka, tentunya mereka tidak punya kepentingan untuk mengajarkan sejarah Indonesia dalam kepentingan nasionalisme Indonesia.

BONUS:

Ini satu bukti lagi bagaimana sejarawan Barat lebih bisa menyusun buku sejarah yang lebih komprehensif:

GAK PERNAH, saya ulangi, GAK PERNAH SEBELUMNYA, sejarah kesatuan kesayangan banyak orang Indonesia ini ditulis dalam buku-buku yang komprehensif. Ini semua dalam bahasa Inggris dan harganya cukup mahal, tapi saya sarankan Anda hemat puasa 3 bulan buat bisa beli 2 buku ini, karena informasinya gak akan Anda dapat di mana-mana lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi