KENAPA DI LINGKUNGAN KERJA/PEMERINTAH BAHASA HARUS FORMAL?

 at saya, pesan moralnya saja ada banyak.

Gambar tidak ada korelasinya dengan jawaban kecuali topik "bahasa". Sekedar pemanis saja.

Berbicara bahasa formal itu memang tantangan tersendiri, tapi dari pandangan saya ada fungsi positif yang sebetulnya terpampang dan tersembunyi.

  1. Bahasa formal adalah bentuk segregasi. Opini yang mungkin keras, tapi faktanya begitu. Orang yang bisa bahasa formal kecenderungannya juga bisa berdiskusi sehat, merasakan pendidikan formal maupun informal yang baik, sadar lingkungan, sadar peran, dan lain-lain. Tercipta 2 kelas dari penguasaan bahasa formal, yaitu mereka yang bisa berkomunikasi dengan bahasa formal dan mereka yang tidak mampu. Segregasi ini saya dukung agar saya tidak perlu terlalu sering bergaul dengan kaum yang kurang berbobot. Cukup sekali-sekali saja.
  2. Bahasa formal adalah bentuk pembeda peran dan atmosfir. Seperti pada poin pertama, dengan berbicara bahasa formal baru saja Anda masuk dalam suatu fase serius yang tidak main-main. Idealnya tidak ada lagi kalimat seperti: Dih, ayo ngopi!
  3. Bahasa formal adalah bentuk bonafide. Sama-sama jualan obat, metode jualannya sama, skema bisnisnya sama, kalau yang satunya bicara lebih formal, sepertinya kans si pembicara formal untuk sukses akan lebih tinggi. Saya sendiri kurang nyaman kalau beli obat dengan orang yang bicara dengan saya menggunakan gua-elo atau aku-kon.
  4. Bahasa formal juga bentuk tata krama. Bicara dengan bahasa formal artinya justru Anda menghormati lawan bicara. Kadang memang bisa memusingkan, soalnya kadang bahasa formal bisa bertele-tele dan mendayu-dayu kalau berlebihan. Tapi lazimnya orang akan merasa dihormati. Pengecualian mungkin orang kelas bawah yang pikirannya negatif dan tidak suka kemajuan. Mereka justru akan merasa menjadi rakyat kecil yang dipersulit dan direndahkan dengan bahasa formal. Orang bicara bahasa formal di mata mereka sama saja seperti sedang berkata, "kau bodoh!".
  5. Bahasa formal justru bentuk efisiensi. Memang bisa bertele-tele, tapi dari bicara formal saja lawan bicara sudah bisa mengira-ngira Anda ini siapa. Lawan tidak perlu tanya banyak Anda itu siapa dan masuk dalam hierarki mana. Setidaknya mereka berani mengambil kesimpulan kalau Anda ini terdidik, atau datang dari keluarga yang terdidik, atau punya pangkat setara atau lebih tinggi dari Anda sehingga layak dihormati.

    Dihormati, artinya terjadi efisiensi juga dalam berdiskusi dan berkomunikasi karena semuanya lebih terarah dan tidak tendensius serta penuh curiga. Berbeda dengan orang yang bicaranya tidak formal. Anda malah jadi misteri yang kurang penting.
  6. Bahasa formal adalah bentuk menghormati diri. Bicaralah dengan gaya Jakarta Bawah alias Niederjakartanische alias Jakarta Kampungan di kolom komentar saya, dan jangan salahkan saya kalau saya berpikir Anda orang tidak berpendidikan dari Gang Alpukat tempat prostitusi daring di Tanjung Duren, atau orang pelabuhan yang tidak punya tata krama. Misalkan: ah lo kaya orang Jakarta aja komentar-komentar soal sini, urusin noh pemimpin lu yang doyan ngatur lalu lintas.

    Kecil kemungkinannya saya respon karena soal diskusi saya adalah orang yang arogan. Saya tidak akan menurunkan derajat dan level saya dengan berdebat kusir bersama orang yang bahkan tidak bisa menghormati dirinya sendiri melalui penggunaan bahasa yang sopan. Padahal dengan dialek campur formal-informal, bahasa di atas saja masih bisa diperhalus: 
    ah, seperti kamu orang Jakarta aja berkomentar soal ini, urus saja pemimpin kamu yang suka mengatur lalu lintas itu.
  7. Bahasa formal adalah kemauan untuk maju dalam hidup. Saya juga bukan dari elemen masyarakat yang suka dengan bahasa formal. Buat saya jauh lebih efisien bicara dengan kalimat: piye ya rék, kan wes dikasih tau mbek pemerintah… ketimbang: bagaimana ya, bukankah sudah diumumkan oleh pemerintah… Kalau bisa memilih saya lebih suka dialek Jawa Surabaya yang jelas-jelas dialek rendah Jawa.

    Tapi pendidikan untuk menguasai bahasa formal sudah mendarah daging di keluarga saya yang datang dari kaum cendekiawan, priyayi, pedagang, dan juga abdi negara. Saya bisa kena sambal Nenek kalau berani-berani cerewet dengan Bahasa Indonesia dialek Surabaya yang kental. Saya akan diminta memilih, bicara Bahasa Indonesia formal, Bahasa Indonesia semi-formal, atau Bahasa Jawa Krama.

    Kemauan untuk belajar sesuatu yang sudah menjadi norma tidak tertulis—meski tidak Anda sukai, menunjukkan kalau Anda itu mau maju dalam hidup. Anda bukan buruh kasar tanpa nilai moneter yang kerjanya hanya menuntut subsidi tapi mengeluh kala bayar pajak moge. Anda bukan sekedar pekerja kasar yang 
    verloop tiap akhir pekan ke Kota Batu tapi protes kalau BBM naik. Ada adalah orang berbobot dan berkualitas yang memajukan diri, bukan orang malas.
  8. Bahasa formal adalah bagian dari pesan itu sendiri. Betul, intisari dalam komunikasi adalah Anda harus berhasil menyampaikan suatu poin atau poin-poin penting. Masalahnya elemen komunikasi tidak hanya mulut saja, tapi juga telinga. Tidak mungkin Anda memaksa lawan bicara untuk mendengarkan Anda, sementara mendengarkan juga bagian penting dari komunikasi. Kalau Anda bicara bahasa gaul yang kelas bawah dan kurang bermutu dan lawan bicara memilih tidak mau mendengarkan Anda, apakah pesan Anda tersampaikan? Oh, salah si lawan bicara, arogan sekali! Justru arogansi terletak pada Anda yang menuntut orang juga mendengarkan Anda yang kemampuan komunikasinya buruk. Apakah Anda mau naik pesawat yang pilotnya buruk? Ya sama dengan komunikasi. Mana ada yang mau mendengarkan baik-baik orang yang kemampuan komunikasinya secara norma buruk. Kalau ada, ya mungkin orang dekat Anda atau orang yang juga sama-sama kualitas komunikasinya.
  9. Bahasa formal adalah bentuk cinta terhadap bangsa. Terdengar simbolik, tapi apakah Anda tahu berapa persentase orang Indonesia yang mampu berkomunikasi dengan dialek formal? Bahasa Indonesia modern dikembangkan dari Bahasa Melayu dialek Johor-Riau-Lingga formal yang konon hanya dipakai dalam Imperial Court saja. Kalau mau tahu bagaimana bahasa ini diucap, silahkan Anda lihat dokumen catatan sipil Kesultanan Riau-Lingga.

    Pertanyaan berikutnya berapa kali dalam sehari Anda mendengar kata seperti: bilamana, bagaimana, saya, Anda, tidak, betul, baik, tidak setuju, tidak seperti itu, hendaknya, alkisah manakala, dan lain-lain? Sebetulnya lupakan saja argumen sejenis "bangsa ini dijajah oleh orang Tionghoa", soalnya bahkan secara empirik lebih sering saya bertemu orang etnis Tionghoa yang menguasai dialek formal Bahasa Indonesia ketimbang orang "pribumi". Entah karena persentil atau demografi, yang jelas Anda-Anda sendiri yang sepertinya lebih suka dengan tajuk Republik Jakarta atau Republik Bekasi ketimbang Republik Indonesia.

    Jadi jangan salahkan kalau ada istilah Jakarta-sentris. Orang dialek ini saja sering dianggap sebagai dialek utama Bahasa Indonesia. Padahal seringkali lebih formal bicaranya orang Riau, Jambi, dan Palembang ketimbang orang Jakarta. Tak terhitung berapa banyak orang pendatang di Republik Jakarta dipermasalahkan hanya karena menggunakan saya-Anda atau aku-kamu, apalagi dengan lawan jenis. Aneh. Giliran 
    pisuhan—maaf, "jancok" dibuat sendiri standarnya dari pengucapan "jancuk" yang lebih tepat, menjadi "jancoook". Bolehlah saya bilang kalau Jakarta mungkin punya Balai Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta sendiri.

Maaf kalau bahasa saya agak (baca: sangat) arogan, karena saya cukup sentimentil dengan superioritas penggunaan bahasa informal dengan dalih efisiensi komunikasi. Kalau begitu adanya, sekalian saja UUD 1945 diisi dengan isi yang berbeda, tidak perlu pakai bahasa hukum.


Undang-Undang Dasar 1945

Pembukaan [A Thread]

Kemerdekaan ntuh hak segale bangsa. Mangkanye, penjajahan noh kudu diapus. Soalnye nggak sesuai sama perikemanusiaan dan kagak adil juga.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga udah sampek di saat yang bahagia nih. Selamet, sentosa, dan nganterin rakyat ke kemerdekaan negara yang merdeka, nyatu, berdaulat, adil, ama makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Atas berkat Allah SWT dan didorong juga sama keinginan luhur, biar bisa hidup bernegara yang bebas, maka rakyat dengan ini menyatakan ke-mer-de-ka-an-nya.

Terus buat bentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi semua orang, dan buat majuin kesejahteraan umum, nyerdasin kehidupan bangsa, dan juga ikut ngelaksanain ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, mangkanye dibuat UUD untuk nyusun kemerdekaan Indonesia yang berdasar pada Pancasila yang isinya ada di foto antara Presiden sama Wapres.

Bab I: Bentuk ama Kedaulatan

Pasal 1

  1. Indonesia tuh negara kesatuan berbentuk Republik.
  2. Kedaulatan adanya di tangan rakyat, dilaksanainnya menurut UUD.
  3. Negara Indo negara hukum.

Bab II: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Pasal 2

  1. MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya ngikut hasil pemilu. Ntar dilihat lebih lanjut aja aturannya.
  2. MPR sidang minimal lima tahun sekali di ibukota, terserah dimana kotanya.
  3. Segala putusan MPR pokoknya banyak-banyakan suara.

Pasal 3

  1. MPR berwenang ngubah ama netapin UUD ini.
  2. MPR ngelantik Presiden ama Wapres.
  3. MPR boleh tuh mberhentiin Presiden ama Wapres, tapi nurut UUD. Ntar dilihat lebih lanjut.

dan seterusnya…

Wer rastet, der rostet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi