MENGAPA ADA SUNDA yang KRISTEN, SEJARAH PENGINJILAN di TATAR SUNDA

 

Desa-desa di Jawa Barat yang notabene beretnis Sunda dan memeluk Kristen tidak lepas dari peran misionaris yang melakukan pelayanan, baik di Ciranjang (Cianjur), Cikembar (Sukabumi) atau pun Cigugur (Kuningan). Hal ini sekaligus mengoreksi pertanyaannya: Cigugur bukan di Cianjur (sudah diperbaiki).

Artinya terjadi penginjilan alias Kristenisasi. Nah, ini lho jawaban yang dinanti-nantikan. Seharusnya sudah menjawab benang merah pemurtadan (atau pertobatan, tergantung di mana posisi Anda) kelompok masyarakat di ketiga desa, bila pertanyaan bermaksud mencari satu-satunya penyebab.

Padahal sejarah Kekristenan di desa-desa tersebut dilatarbelakangi beragam faktor. Di Cigugur saja kebanyakan menganut Katolik, sedang di Ciranjang lebih banyak Protestan. Sudah berbeda latar belakang sejarahnya. Terlebih sejarah Kekristenan di kawasan Gunung Halu sudah berlangsung sejak masa kolonial, tepatnya awal abad ke-20.

Ciranjang, Cianjur

GKP Palalangon, gereja pertama di Ciranjang, Cianjur. —via Julia Chriswanti

Adalah B.M. Alkema, pekabar Injil asal Belanda yang datang ke Gunung Halu untuk mendirikan permukiman bagi orang-orang Sunda-Kristen sebanyak 7 KK pada 1901 atas izin bupati, Prawiradiredja II. Dari jumlah itu, berkembang jadi jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon, merupakan gereja mula-mula di Cianjur.

Setelah itu komunitas Kristiani pun kian bertumbuh. Pada 1903, Gereja Kerasulan Pusaka berdiri di Rawaselang, masih kawasan Kec. Ciranjang, Kab. Cianjur. Hal ini menyusul kedatangan orang Sunda asal Cikembar, Sukabumi. Tak kurang dari 66 jiwa yang turut membangun komunitas—jadi sudah sejak lama sekali.

Masyarakat Sunda-Kristiani di Ciranjang antara lain mewarisinya dari leluhur (orangtua) mereka—jadi bukan dimurtadkan baru-baru ini. Orang-orang luar saja yang telat mendapat informasi, sehingga sontak memicu gejala stroke. Terlebih narasi yang disampaikan oknum di berbagai platform media bersifat misleading dan provokatif.

Makam Yotham Marchasan, tokoh Sunda-Kristiani dari Gunung Halu yang memimpin satu kompi pasukan di bawah induk Hizbullah. —via Melawan Lupa Metro TV

Perlu diperhatikan pula, sekali pun daerah-daerah tersebut banyak memeluk Kristen, namun jumlah mereka tak lantas menjadi mayoritas. Persentasenya relatif kecil sekali, meski ada sebagian pihak tertentu yang menganggapnya sebagai ancaman besar. Jadi kalau dikepung atau diadu, secara jumlah saja sudah keok.

Namun masyarakat Gunung Halu dalam sejarahnya, baik Kristiani maupun Muslim, pada masa perjuangan kemerdekaan bersatu dalam laskar Hizbullah untuk melawan penjajah. Tak heran bila masyarakatnya hidup rukun sampai hari ini, bahkan menjadi daerah percontohan toleransi. Kalau pun terjadi konflik, justru datang dari luar.


Cigugur, Kuningan

Paseban Tri Panca Tunggal, "landmark" Cigugur, Kuningan. —via Ira Indrawardana

Sunda memang kadung diingat sebagai suku etnoreligius Muslim atau secara umum identik dengan agama Islam di era modern. Hal ini tidak lepas dari peran Wali Sanga, yang mana 8 di antaranya berasal dari Jawa, sementara satu lainnya dari Sunda, yakni Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) yang notabene cucu Prabu Siliwangi.

Sejak Kerajaan Sunda (Pajajaran) runtuh, pengaruh Islam semakin berjaya. Syarif Hidayatullah dan uwaknya, Walangsungsang, berkuasa di Kesultanan Cirebon. Bahkan kelak, putra Syarif Hidayatullah yakni Maulana Hasanudin juga berkuasa di Kesultanan Banten.

Adapun kaum yang setia kepada Prabu Siliwangi—atau setidaknya menjunjung adat karuhun—mempertahankan tradisi di daerah-daerah terpencil hingga membentuk koloni-koloni baru antara lain di kaki-kaki Gunung Halimun-Salak, Gunung Ceremai, dsb.

Masyarakat Priangan sendiri merupakan masyarakat Sunda yang hidup di wilayah dataran tinggi, kami memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam. Para Hyang dipercaya bersemayam di pegunungan, dan orang Sunda memiliki tanggung jawab untuk merawat, membangun harmoni, dan menyatu dengan alam.

Maka menjadi keniscayaan ketika manusia membangun koloni yang dapat saling menjaga (harmoni) dan mendukung (toleransi) satu sama lain. Dan Cigugur—yang terletak di kaki Gunung Ceremai—merupakan salah satu koloni yang dibangun itu, tak lain merupakan basis kaum Jatisunda (Wiwitan) yang dipimpin (Alm.) Kusuma Adiningrat.

Dewi Kanti Setianingsih, delapan bersaudara berbeda-beda iman yang dianutnya.

Dalam perjalanannya, komunitas adat Sunda di Cigugur mengalami pasang surut. Pada 1944, komunitas adat ini dibubarkan atas tekanan Jepang, kemudian dihidupkan kembali tahun 1948 pada masa penguasaan Belanda. Sebelum pemberontakan DI/NII pimpinan Kartosuwiryo turut melakukan penyerangan, tahun 1949.

Konflik demi konflik mewarnai perjuangan masyarakat Cigugur dalam menuntut hak kebebasan beragamanya. Sebagian anggota komunitas adat yang terus-menerus dihadapkan pada tekanan diskriminatif ini diminta untuk memilih salah satu agama resmi, entah Islam atau Katolik. Saat itulah sebagian dari mereka beralih memeluk Katolik.

Kiwari, Cigugur kian inklusif. Dalam satu keluarga bisa bermacam agama yang dianutnya. Dewi Kanti, misalnya, memiliki kakak kandung seorang pendeta Kristen, seorang lainnya Katolik, juga seorang Muslim. Ia sendiri sebagai salah seorang ketua komunitas adat, bertahan sebagai penghayat Sunda Wiwitan, bersama adik-adiknya.


Sejarah GKP

Mengenai Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah gereja yang tumbuh dan berkembang di Tatar Pasundan, untuk mengakomodasi jemaat Kristen khususnya di Jawa Barat, Jakarta & Banten, termasuk "pribumi" Sunda di dalamnya. GKP berdiri di Bandung sejak 1934 merupakan lembaga yang berafiliasi dengan Universitas Kristen Maranatha dan RS Immanuel Bandung.

Kaum Sunda-Kristiani turut berdoa dan membaca Kitab Suci dalam bahasa Sunda, bahkan menjalankan liturgi, memuji, dan menyembah Illahi dengan adat dan pakaian Sunda (gambar teratas

). Barangkali ini faktor lainnya mengapa ada sebagian orang Sunda yang memeluk Kekristenan. Menjadi Kristiani rupanya tak memupus jati diri sebagai pituin Sunda.

Kitab Siloka Suléman (Amsal Salomo).

Jadi, kalau masih ada orang yang mengira orang Sunda enggak ada yang memeluk Kristen, mungkin mainnya kurang japrat alias kurang jauh.


Pesan harmoni

Masyarakat Priangan di Gunung Halu, Gunung Ceremai, bahkan Gunung Halimun, apapun agamanya: Islam, Kristiani, atau Jatisunda, tak lagi memandang agama sebagai sumber konflik. Masalah perbedaan keyakinan di Indonesia mestinya sudah lama usai setelah 75 tahun merdeka.

Sebab, surga bukan tentang apa yang akan diperoleh setelah kita mati, melainkan apa yang bisa dilakukan selagi kita hidup. Surga takkan berubah sesering apapun kita meributkannya, melainkan seberapa konsisten kita sanggup menghadirkan surga di muka bumi: tenggang rasa, kasih, damai, sukacita. Itulah harmoni. Ada perbedaan mentalitas di sana.

Surga dan bumi yang tumpang-tindih.

Apapun iman yang kita yakini, hal terpenting ialah berkontribusi untuk harmoni. Urusan keyakinan bersifat pribadi, hidayah-Nya tidak bisa manusia yang memaksakan. Bagaimana mungkin kita mendambakan harmoni surgawi, namun dengan praktik-praktik yang disonansi: pengucilan, penghakiman, diskriminasi, intimidasi?

"It's contraproductive!"—entah kenapa diterjemahkan demikian.

Kaum Sunda-Kristiani hari ini tersebar di seluruh Priangan, tak hanya di desa-desa kantong Kristen di Cianjur, Sukabumi, atau Kuningan saja, tetapi juga di daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Bogor, Bandung, Indramayu, dsb. Cuma kami memang membutuhkan ekosistem yang kondusif untuk meminimalisir diskriminasi.

Apapun keyakinannya, setiap warga Cigugur yang meninggal diurus bersama-sama oleh masyarakat lintas agama, bahkan dimakamkan di lahan yang sama. Harmoni yang kita bangun sudah sejauh itu.

Sementara…

Makam sesepuh Cigugur disegel pemerintah atas aduan (intimidasi) dari luar, baru-baru ini. Ya, sayangnya disonansi mereka mengusik ketenteraman warga juga sudah sejauh itu.

Kita mafhum Jawa Barat ini tingkat toleransinya tidak begitu baik—kalau bukan yang terburuk. Kuburan dan neraka orang kok diributkan sedang surga pun belum tentu kau dapatkan. It's contraproductive!

Sampai hari ini Sunda-Kristiani dan Sunda Wiwitan masih harus berjuang melawan diskriminasi dan stigma di rumah sendiri bahkan oleh baraya-nya sendiri. Namun sebagai minoritas ganda, kali ini. (*/msl)

Misael A. Husin
 · Sen
Daerah mana di Indonesia yang memiliki toleransi yang (masih cukup) baik terhadap keragaman etnis dan agama?
KARENA tinggal di Jawa Barat, maka aku ingin membagikan beberapa "kampung persaudaraan" khususnya yang berada di provinsi ini. 1. Kampung Sawah, Bekasi "Segitiga emas" di Kampung Sawah, Pondok Melati, Bekasi. —via Narasi Sejarah kerukunan antar-umat beragama di Kampung Sawah dimulai sejak 1816 saat para utusan (zending) Belanda datang dan membina masyarakat asli Kampung Sawah, diduga merupakan sisa-sisa prajurit Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke-17. Mereka lantas membangun Gereja Kristen Pasundan (GKP) pada 1874. Kemudian pada 1896, B. Schweitz memulai komunitas Katolik dengan 18 orang yang kini berkembang hingga 3.900 jiwa dan dilayani di Gereja Katolik St. Servatius. Jemaat Kristen dan Katolik berasal dari suku Betawi, disusul Jawa dan Tionghoa. Namun demikian, adat Betawi tetap menjadi identitas asli warga Kampung Sawah. Dalam sejarahnya, Kampung Sawah pada dekade 1880-an kedatangan rombongan masyarakat suku Jawa, khususnya dari Bondo (Jepara) dan Mojowarno (Jombang) yang juga merupakan desa kantong-kantong Kristen. Selain eksodus para bekas pekerja perkebunan Major Jantje di Gunung Putri, Bogor, ke Kampung Sawah. Kerukunan antar-umat beragama sudah berlangsung sejak abad ke-19. —via Kumparan Belakangan, K.H. Rachmadin Afif yang rindu menyediakan lembaga pendidikan berbasis Islam (madrasah) lantas mendirikan Yayasan Fisabilillah (YASFI) tahun 1977. Bersamaan dengan hal itu, Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi berdiri megah di antara dua gereja Kristen dan Katolik. Masyarakat Kampung Sawah dalam melaksanakan ibadah, baik misa, kebaktian, atau pun shalat, terbiasa mengenakan pangsi dan peci. Eratnya kekeluargaan di Kampung Sawah bahkan ditandai berkembangnya marga, seperti: Napiun, Nasiran, Saiman, Kadiman, Kai'in, Rikin, Ungin, Pepe, Kelip, Oyon, dan Djaim. 2. Kampung Tengah, Jakarta Timur Seperti halnya Kampung Sawah, terdapat pula dusun persaudaraan di sudut ibukota, yakni Kampung Tengah atau tepatnya berada di Kel. Tengah, Kec. Kramat Jati, Jakarta Timur. Di kelurahan ini terdapat dua rumah ibadah yakni Mushala Al-Mukhlasin dan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Tengah yang berjarak sekitar 200 meter. Awalnya GKP didirikan pada 1968 sebelum kemudian direnovasi tahun 2000 atas sumbangsih warga. Gereja kini terdiri dari dua lantai yang masing-masing difungsikan sebagai tempat ibadah dan aula serbaguna untuk kegiatan warga. Pada tahun yang sama, warga meneruskan gotong-royong membangun musala. Masyarakat Kampung Tengah merasa bertanggung jawab menjaga persaudaraan antar-warga lintas agama melalui berbagai kegiatan sosial dan gotong-royong, agar tak mudah terprovokasi oleh pihak luar. Sebagaimana kita pun diajarkan, tetangga adalah saudara kita yang terdekat, terlepas dari apapun suku dan agamanya." 3. Ciranjang, Cianjur Pada awalnya B.M. Alkema, pekabar Injil asal Belanda datang ke Gunung Halu untuk mendirikan permukiman bagi orang-orang Sunda-Kristen sebanyak 7 KK pada 1901 atas izin bupati, Prawiradiredja II. Dari jumlah itu, berkembang jadi jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon, merupakan gereja mula-mula di Cianjur. Setelah itu komunitas Kristiani pun kian bertumbuh. Pada 1903, Gereja Kerasulan Pusaka berdiri di Rawaselang, masih kawasan Kec. Ciranjang, Kab. Cianjur. Hal ini menyusul kedatangan orang Sunda asal Cikembar, Sukabumi, tak kurang dari 66 jiwa yang turut membangun komunitas. Jadi sudah sejak lama sekali. Masyarakat Gunung Halu dalam sejarahnya, baik Kristiani maupun Muslim pada masa perjuangan kemerdekaan, bersatu dalam laskar Hizbullah untuk melawan penjajah. Tak heran bila masyarakatnya hidup rukun sampai hari ini, bahkan menjadi daerah percontohan toleransi. Kalau pun terjadi konflik, justru itu datang dari luar. 4. Cigugur, Kuningan "Sanaos séwang-séwangan, ulah rék éwang-éwangan; meski pun tak sepengakuan, kita hidup harus sepengertian." —Subrata, tokoh Cigugur. Daerah Cigugur, Kuningan, dikenal sebagai basis kaum Sunda Wiwitan pimpinan Kusuma Adiningrat. Pada 1944, komunitas adat ini sempat dibubarkan atas tekanan Jepang, kemudian dihidupkan kembali tahun 1948 semasa penguasaan Belanda, sebelum pemberontakan DI/NII pimpinan Kartosuwiryo turut melakukan penyerangan, tahun 1949. Konflik demi konflik mewarnai perjuangan masyarakat Cigugur dalam menuntut hak kebebasan beragamanya. Sebagian anggota komunitas adat yang terus-menerus dihadapkan pada tekanan diskriminatif ini diminta untuk memilih salah satu agama resmi, entah Islam atau Katolik. Saat itulah sebagian dari mereka memutuskan untuk beralih memeluk Katolik. Kiwari, Cigugur telah menjadi masyarakat yang inklusif. Dalam satu keluarga bisa macam-macam agama yang dianutnya. Dewi Kanti, misalnya, memiliki kakak kandung seorang pastor Katolik, seorang lainnya pendeta Kristen, juga seorang Muslim. Ia sendiri sebagai salah seorang tetua komunitas adat, bertahan sebagai penghayat Sunda Wiwitan, bersama adik-adiknya. ⚠️ Selengkapnya mengenai kaum Sunda-Kristiani di Ciranjang (Cianjur) dan Cigugur (Kuningan) terlampir tautan di bawah. 5. Pulo Geulis, Bogor "Perbedaan tidak bisa disamakan, tapi harus disatukan. Ibarat air dan minyak tidak bisa dileburkan, tapi bisa berdampingan dalam satu wadah." —Abraham Halim, tokoh Pulo Geulis. Pulo Geulis adalah kawasan di antara dua aliran Sungai Ciliwung yang terbelah dan menyatu kembali tepat sebelum Kebun Raya Bogor, sehingga menyerupai pulau (pulo). Wilayah Pulo Geulis secara administratif termasuk Kel. Babakan Pasar, Kec. Bogor Tengah; tak jauh dari kawasan terpadu wisata belanja dan kuliner, Suryakancana. Penduduk Pulo Geulis umumnya memiliki latar belakang suku Sunda dan Tionghoa. Di sana terdapat Klenteng Pan Kho Bio, merupakan klenteng tertua di Bogor sekaligus menjadi simbol kerukunan antar-kedua etnis. Pasalnya, selain digunakan sebagai tempat ibadah kaum Tionghoa, klenteng ini juga kerap difungsikan sebagai sarana kegiatan pengajian yang digelar setiap malam jumat. Terlebih di areal klenteng, terdapat sebuah musala untuk warga melaksanakan shalat. Selain itu, terdapat pula situs patilasan dan makam ulama-ulama serta karuhun Sunda (Pajajaran). Namun semua itu bukan untuk disembah, melainkan sebagai napak tilas sejarah saja atau museum. 6. Dusun Susuru, Kab. Ciamis (update dari Kang Jan Sukmara) Umat Katolik Susuru menjalani ibadah Natal di Gereja Stasi Santo Simon, 2021 lalu. Tak ketinggalan, potret kerukunan antar-umat beragama juga ditunjukkan warga di kaki Gunung Sawal-Ciremai, tepatnya di Dusun Susuru, Desa Kertajaya, Kec. Panawangan, Kab. Ciamis, yang terjalin sejak seratus tahun lalu. Warga Susuru memeluk agama Islam (1.914 jiwa), Katolik (131), dan penghayat Ajaran Karuhun Urang (56). Di dusun tersebut terdapat Pondok Pesantren dan Mesjid Al-Ikhlas, Gereja Katolik Santo Simon, serta sarasehan kaum penghayat. Warga Susuru terbiasa bahu-membahu saling membangun rumah ibadah satu sama lain, menyumbang material, bahkan panitia amal zakat dikelola oleh warga Susuru yang beragama Katolik. Tak sampai di situ, pada setiap momen keagamaan seperti Idulfitri dan Iduladha, warga Katolik dan penghayat dilibatkan dalam acara. Demikian pula saat perayaan Natal, umat Muslim dan penghayat turut memberikan dukungan, berjaga, hingga turut menyumbang snack dan konsumsi. 7. Malang, Jawa Timur "Mereka yang bukan saudaramu seiman, maka saudaramu dalam kemanusiaan." —Sayyidina Ali ra., khalifah. Simbol toleransi juga tercermin dari rumah-rumah ibadah yang dibangun berdekatan satu sama lain di banyak daerah di Indonesia. Salah satunya di Malang, Jawa Timur. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan GPIB Immanuel (Gereja Jago, dibangun 1861) dan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus (Gereja Kayutangan, 1905). Keduanya merupakan bangunan cagar budaya; dan bersama Masjid Agung Jami' menjadi landmark sekaligus simbol toleransi di Kota Malang, karena letaknya yang berdekatan satu sama lain di jantung Kota Malang. Setiap hari raya Idulfitri, umat Muslim melaksanakan shalat Ied di Masjid Jami' hingga menggunakan halaman kedua gereja yang meliburkan kegiatan peribadatannya. 8. Bantul, Yogyakarta Di Bantul, Yogyakarta terdapat Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus, tepatnya di Jl. Ganjuran. Karenanya disebut juga "Gereja Ganjuran". Di komplek gereja terdapat "Candi Katolik" yang digunakan umat Kristen, Konghucu, Kejawen, dan Muslim untuk berwisata religi dan memanjatkan doa. Honorable mention: Dusun Jlono, Karanganyar, Jawa Tengah. Desa Bondo, Jepara, Jawa Tengah. Desa Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Dusun Semanding, Nganjuk, Jawa Timur. Desa Balun, Lamongan, Jawa Timur. Silakan teman-teman Quora boleh ikut menambahkan. Apa pun iman yang kita yakini, hubungan kita sebagai manusia dengan Tuhan akan tercermin dari hubungan kita dengan sesamanya, yakni untuk saling mengasihi, saling menghormati, dan saling mendoakan satu sama lain. Kalau Pak Matheus di atas bilang, "Sungguh indah pintu dipahat, burung tekukur hinggap di dahan; semoga kita semua selamat, dan mendapat berkat Tuhan." (*/msl) Penafian! Konten dipublikasikan pertama kali tahun 2020. Gambar diolah dari hasil penelusuran YouTube dan Google, tautan terlampir.

Penafian! Konten dipublikasikan pertama kali tahun 2020, narasi berdasarkan peristiwa aktual saat itu. Gambar diolah dari hasil penelusuran Google dan YouTube, tautan terlampir.

Catatan Kaki

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

APANASE DAN ADIPATI

BAHASA DAERAH yang UNIK