KONSESI KEKAISARAN QING oleh BANGSA EROPA dan JEPANG

 Tidak xenophobia bukanlah salah satu penyebab dari kemunduran dinasti Qing, malahan bisa dikatakan bahwa xenophobia adalah produk dari betapa terpuruknya keadaan Tiongkok di akhir masa pemerintahan dinasti Qing.

Gambar: "Bendera Naga Kuning" bendera Tiongkok pada masa dinasti Qing.

Kalau bukan xenophobia, lalu apa yang menyebabkan dinasti Qing kalah dari negara-negara Eropa dalam berbagai bidang? Bukankah Tiongkok di masa itu adalah negara termakmur dan terkaya didunia?

Menurut saya, tersalipnya Tiongkok dalam bidang teknologi dari Eropa barat dapat dikaitkan kepada mindset dan cara orang-orang Tiongkok memandang orang Eropa barat pada masa itu.

Layaknya kekaisaran-kekaisaran besar yang pernah berdiri di dunia, seperti Romawi, Persia, dan lain sebagainya, Tiongkok juga mengembangkan sebuah konsep kekaisaran universal atau kekaisaran tunggal dimana kekaisaran ini "berkuasa" atas keseluruhan dunia. Di Tiongkok konsep ini sering disebut sebagai konsep sinosentrisme. Menurut konsep sinosentrisme, orang Tiongkok berpendapat bahwa pusat kebaikan di dunia terdapat di daratan yang diapit oleh sungai Kuning di utara dan sungai Yangtze di selatan, wilayah yang dikenal dengan nama dataran Tiongkok utara. Semakin jauh letak suatu wilayah dari pusat kebaikan ini maka semakin sedikit kebaikan yang ada di wilayah itu, menjadikannya wilayah yang tidak berbudaya dan dipenuhi oleh orang-orang barbar. Oleh karena adanya konsep ini, orang Tiongkok menyebut negeri mereka sebagai Zhongguo yang memiliki arti harfiah kerajaan tengah, mengindikasikan kepercayaan negeri mereka sebagai pusat dunia.

Kalau mau tahu bagaimana perkembangan konsep kekaisaran universal di Eropa, bisa cek jawaban saya disini.

Mengapa orang-orang barbar (Jerman) bisa tergabung dalam Kekaisaran Romawi Suci sedangkan Kekaisaran itu sendiri adalah representasi dari Kekaisaran Romawi Barat yang mereka runtuhkan belasan abad sebelumnya?

Gambar: Gambaran konsep sinosentrisme yang ada di Tiongkok pada masa dinasti Zhou, dapat dilihat bahwa Tiongkok dikelilingi oleh suku "barbar" di keempat sisinya, yaitu suku Beidi di utara, Dongyi di timur, Xirong di barat, dan Nanman di selatan.

Akibat adanya konsep sinosentrisme ini orang-orang Tiongkok berpendapat bahwa sudah seharusnya negara-negara barbar dan tidak berbudaya yang ada di sekitar mereka tunduk kepada kaisar yang memerintah di Tiongkok. Karena sudah jelas bagi masyarakat Tiongkok bahwa kaisar adalah "putra langit" atau utusan dewa yang diberi amanah mandat surgawi, yaitu sebuah tugas penting untuk mengatur dan menjaga perdamaian di seluruh dunia. Oleh karenanya, setiap kali berhubungan atau menjalin diplomasi dengan negara-negara di sekitarnya Tiongkok selalu memandang mereka dengan sebelah mata dan hanya mementingkan satu hal yaitu upeti. Upeti adalah tanda tunduk dan patuh bangsa "barbar" kepada kaisar penguasa dunia yang sah di Tiongkok, dengan mengirimkan upeti suatu negara dikatakan telah "melakukan tugasnya dengan baik kepada kaisar sebagai penguasa dunia".

Apakah sistem yang cukup diskriminatif ini bisa berjalan dengan baik dan tanpa gangguan? Iya, untuk sebagian besar sejarahnya sistem ini bekerja tanpa masalah. Hal ini tidak mengherankan mengingat sepanjang sejarahnya Tiongkok adalah negara yang paling dominan di Asia dengan penduduk terbanyak, wilayah terluas, militer terkuat, dan perekonomian terbesar di seluruh kawasan. Bahkan bagi beberapa negara di masa tersebut, sepenuhnya tunduk dan bergantung pada Tiongkok adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk mempertahankan negara mereka dari kehancuran.

Gambar: Dinasti Qing pada masa keemasannya beserta negara-negara upetinya.

Namun hal-hal yang saya jelaskan diatas nyatanya memiliki dampak yang buruk bagi Tiongkok sendiri. Dengan menganggap dirinya sebagai pusat dunia dengan kebudayaan terbaik, teknologi tercanggih, dan perekonomian terbesar membuat orang-orang Tiongkok terlena dan cenderung menutup diri dari dunia luar. Mereka cenderung memandang hal-hal apapun yang berasal dari luar adalah hal yang jelek dan inferior dari Tiongkok karena mereka berasal dari negara yang jauh tingkatannya dibawah Tiongkok. Tidak peduli apakah hal-hal tersebut dapat berdampak baik bagi Tiongkok mereka tetap menolaknya, kalaupun hal-hal tersebut diterima biasanya hanya diterapkan setengah saja dan tidak secara menyeluruh atau pun mendasar.

Keengganan Tiongkok untuk memandang negara lain setara dengan dirinya membuatnya buta akan perpolitikan dunia yang sudah jauh berbeda di abad 18. Keengganan Tiongkok untuk membuka diri terhadap ide-ide dari luar membuatnya tertinggal dalam berbagai bidang, salah satunya teknologi. Keangkuhan Tiongkok dalam hal diplomasi dan hubungan internasional membuatnya bergesekan dengan Inggris - salah satu negara terkuat dan paling modern di zaman itu - yang berakhir dengan pecahnya perang Candu.

Gambar: Kapal uap EIC Nemesis (kanan belakang) sedang menyerang Jung Tiongkok pada pertempuran kedua Chuenpi.

Untuk perang Candu misalnya, terjadinya perang Candu diakibatkan karena Tiongkok ingin menghentikan penyelundupan candu yang begitu marak di kota-kota pelabuhan.

Sekarang pertanyaannya mengapa penyelundupan candu bisa begitu marak? Hal ini dikarenakan Inggris membutuhkan suatu komoditas yang disukai dan dibutuhkan oleh orang Tiongkok untuk menghentikan derasnya aliran perak yang keluar dari Inggris untuk membeli teh.

Mengapa Inggris begitu ngotot-nya ingin menghentikan aliran perak keluar masuk ke Tiongkok? Karena Tiongkok menolak untuk melakukan perdagangan bertukar barang dengan Inggris dan memaksa untuk membayar semua barang yang dibeli dari Tiongkok dengan menggunakan perak.

Kenapa Tiongkok menolak bertukar barang dengan Inggris dan memaksa mereka membayar menggunakan perak? Karena Tiongkok memandang Inggris tak ubahnya sebagai negara yang barbar dan tidak beradab, oleh karenanya inferior dari Tiongkok. Sehingga Tiongkok menolak untuk melakukan hubungan perdagangan dan diplomatik yang setara dengan Inggris.

Gambar: Sebuah ilustrasi dari abad ke 19 yang menggambarkan negara-negara Eropa (dan Jepang) sedang berembuk untuk membagi-bagi Tiongkok.

Pemikiran-pemikiran Tiongkok yang kolot dan kuno ini pada akhirnya membuat mereka gagal memahami bahwa dunia sudah berubah, mereka tidak lagi berada diatas dan mereka harus berubah jika ingin mempertahankan posisi mereka, namun atas alasan gengsi mereka menolak untuk berubah. Pada akhirnya Tiongkok membayar rasa gengsi dan pemikiran kuno mereka dengan harga yang sangat mahal, yaitu harus rela diinjak-injak dan dipermalukan oleh bangsa asing selama 100 tahun lamanya dari tahun 1842 hingga 1940 an.

-

-

-

-

-

-

Bacaan lanjut:

  1. Sinocentrism - Wikipedia
  2. First Opium War - Wikipedia
  3. Cohong - Wikipedia
  4. Macartney Embassy - Wikipedia
  5. Mandate of Heaven - Wikipedia
  6. Tributary system of China - Wikipedia
  7. Wicaksono, Michael (2015). Dinasti Qing; Sejarah Para Kaisar Berkuncir 1616–1850. Jakarta: Kompas Gramedia.
  8. Wicaksono, michael (2013). Qin; Kaisar Terakota. Jakarta: Kompas Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 80an INDONESIA LEBIH MAJU DARI TIONGKOK, KINI JAUH TERTINGGAL, APA PRINSIPNYA

BAHASA DAERAH yang UNIK

Perilaku Organisasi